Tentu membaca yang diharapkan benar-benar membaca, bukan sekadar mencari buku yang memuat ringkasan karya sastra. Karena itu, ada batasan bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca analitis. Prof. Mortimer Adler dan Charles Van Doren dalam bukunya How to Read a Book menyusun tingkatan membaca, yaitu tingkat membaca dasar, tingkat membaca cepat dan sistematis, tingkat membaca analitis, dan paling tinggi adalah tingkat membaca sintopikal.
Membaca analitis adalah membaca secara menyeluruh, lengkap, atau membaca dengan baik. Waktu yang diberikan tidak terbatas. Karena itu, ukuran enam tahun membaca enam judul buku bagi siswa SD sangatlah masuk akal. Begitupun ukuran 12 judul untuk siswa SMP dan 18 judul untuk siswa SMA/SMK. Apalagi, mereka dibebaskan memilih bahan bacaannya dari sastra serius hingga sastra populer.
Seperti semboyan literasi yang sangat menghunjam "read the word and the world" sejatinya kemampuan literasi bukan hanya untuk membaca kata-kata dan menangkap maknanya, melainkan juga membaca dunia dengan segala fenomenanya. Kekacauan literasi yang terjadi pada bangsa ini disebabkan buah dari tragedi nol buku sudah menampakkan hasilnya.
Seorang lulusan pascasarjana ataupun yang sedang menempuh pendidikan paling tinggi bisa terkena pasal pidana karena menggunakan kata-kata tidak pantas dalam berkomunikasi. Seorang dosen geram dengan cara mahasiswanya mengirimkan WA, BBM, atau pos elektronik kepadanya secara tidak sopan. Ada beberapa pos-el yang diterima tanpa surat pengantar, tetapi langsung lampiran. Cara menulis sebagian besar dari kita memang sangat buruk dan tidak memedulikan lagi siapa pembaca sasarannya.
Kita tidak lagi membaca secara serius karena membaca sudah diartikan cukup dengan membaca berita ringkas di media daring, tautan yang disampaikan teman lewat Facebook atau Twitter. Begitu pula membaca status-status dari linimasa. Kita enggan membaca buku yang berat-berat dan cukup tahu selintas saja. Alhasil, literasi media kita pun rendah sehingga kerap sebuah tautan informasi tidak dibaca terlebih dahulu dengan teliti, tetapi langsung disebarkan hingga menjadi viral. Tiba-tiba kita kaget dianggap sebagai orang yang menyebarkan berita bohong (hoax), fitnah, dan sejenisnya.
Berbahaya! Tragedi Nol Buku memang telah memakan korban banyak di negeri ini. Semoga tidak terjadi lagi dalam tahun-tahun mendatang. Penyelamatannya yang paling ampuh adalah lewat pendidikan formal.
Bambang Trim, literator | Direktur Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (Alinea) Ikapi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H