Kisah muram yang banyak memakan "korban" pernah diutarakan sastrawan kawakan, Taufiq Ismail. Indonesia mengalami tragedi nol buku. Di dalam kurikulum tidak lagi tersurat kewajiban membaca buku dalam jumlah tertentu.
Tragedi itu digambarkan sangat dramatis. Terjadi berpuluh tahun sehingga membuat sebagian besar lulusan sekolah (dasar dan menengah) tidak memiliki kepekaan keberaksaraan, termasuk lulusan perguruan tinggi.
Bahasa keren keberaksaraan adalah literasi meskipun kata ini tidak menjadi lema di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Literasi sejatinya bukan hanya soal baca-tulis. Hasan Alwi, mantan kepala Pusat Bahasa, menjelaskan bahwa "Dalam pengertian luas, keberaksaraan mengacu pada tingkat kecendekiaan seseorang dalam memahami, mengolah, dan mengembangkan sejumlah konsep dasar yang dihadapinya dalam kehidupan" ("Sastra dan Tingkat Keberaksaraan" dalam Sarumpaet, 2002, Sastra Masuk Sekolah).
Dalam Deklarasi Praha tahun 2003 yang diikuti oleh 23 negara (minus Indonesia) tercetus pentingnya Literasi Informasi yang terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, literasi media, dan literasi visual. Literasi dasar yang dianggap paling penting terdiri atas kemampuan/keterampilan membaca-menulis, menyimak-berbicara, berhitung-menghitung, dan mengamati-menggambar.
Terkait literasi, kadar kecendekiaan seseorang memang dapat diukur dari tingkat literasi dasarnya yang terus berkembang mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebuah tragedi dapat terjadi memang ketika perkembangan literasi dasar itu dihentikan dengan cara tidak mewajibkan para peserta didik membaca--dalam hal ini yang diharapkan adalah membaca karya sastra.
Ilustrasi - anak-anak rajin membaca buku (Shutterstock)
Sastra makin terpinggirkan di sekolah-sekolah. Ilmunya hanya disinggung sedikit pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang tidak lebih penting dari pengajaran berbagai rumus linguistik. Namun, yang paling gawat adalah karya sastra tidak lagi menjadi bahasan untuk merangsang kecendekiaan tadi.
Rupanya tragedi ini menjadi perhatian kementerian yang dianggap paling bertanggung jawab dan kini dikepalai seorang Anies Baswedan. Muncul kabar dari revisi Kurikulum 2013 (K-13). Kewajiban membaca buku sastra dimasukkan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dengan kuantitas 6 judul untuk SD, 12 judul untuk SMP, dan 18 judul untuk SMA/SMK. Artinya, sepanjang mengikuti pendidikan dasar, peserta didik akan membaca 36 judul buku sastra.
Buku sastra yang disarankan untuk dibaca pun tidak terbatas pada buku sastra "kelas berat" atau disebut "sastra kanon", melainkan juga sastra populer, termasuk sastra daerah. Buku sastra memang diharapkan menjadi jalan pertama dan utama membangkitkan minat membaca siswa.
Informasi revisi K-13 tentang kewajiban membaca ini tentu menggembirakan dan menjawab penghentian Tragedi Nol Buku. Negara ini selalu dibanding-bandingkan dengan negara lain yang memang mewajibkan siswanya membaca buku dalam jumlah kuantitas judul tertentu.
Tentu membaca yang diharapkan benar-benar membaca, bukan sekadar mencari buku yang memuat ringkasan karya sastra. Karena itu, ada batasan bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca analitis. Prof. Mortimer Adler dan Charles Van Doren dalam bukunya How to Read a Book menyusun tingkatan membaca, yaitu tingkat membaca dasar, tingkat membaca cepat dan sistematis, tingkat membaca analitis, dan paling tinggi adalah tingkat membaca sintopikal.
Membaca analitis adalah membaca secara menyeluruh, lengkap, atau membaca dengan baik. Waktu yang diberikan tidak terbatas. Karena itu, ukuran enam tahun membaca enam judul buku bagi siswa SD sangatlah masuk akal. Begitupun ukuran 12 judul untuk siswa SMP dan 18 judul untuk siswa SMA/SMK. Apalagi, mereka dibebaskan memilih bahan bacaannya dari sastra serius hingga sastra populer.
Seperti semboyan literasi yang sangat menghunjam "read the word and the world" sejatinya kemampuan literasi bukan hanya untuk membaca kata-kata dan menangkap maknanya, melainkan juga membaca dunia dengan segala fenomenanya. Kekacauan literasi yang terjadi pada bangsa ini disebabkan buah dari tragedi nol buku sudah menampakkan hasilnya.
Seorang lulusan pascasarjana ataupun yang sedang menempuh pendidikan paling tinggi bisa terkena pasal pidana karena menggunakan kata-kata tidak pantas dalam berkomunikasi. Seorang dosen geram dengan cara mahasiswanya mengirimkan WA, BBM, atau pos elektronik kepadanya secara tidak sopan. Ada beberapa pos-el yang diterima tanpa surat pengantar, tetapi langsung lampiran. Cara menulis sebagian besar dari kita memang sangat buruk dan tidak memedulikan lagi siapa pembaca sasarannya.
Kita tidak lagi membaca secara serius karena membaca sudah diartikan cukup dengan membaca berita ringkas di media daring, tautan yang disampaikan teman lewat Facebook atau Twitter. Begitu pula membaca status-status dari linimasa. Kita enggan membaca buku yang berat-berat dan cukup tahu selintas saja. Alhasil, literasi media kita pun rendah sehingga kerap sebuah tautan informasi tidak dibaca terlebih dahulu dengan teliti, tetapi langsung disebarkan hingga menjadi viral. Tiba-tiba kita kaget dianggap sebagai orang yang menyebarkan berita bohong (hoax), fitnah, dan sejenisnya.
Berbahaya! Tragedi Nol Buku memang telah memakan korban banyak di negeri ini. Semoga tidak terjadi lagi dalam tahun-tahun mendatang. Penyelamatannya yang paling ampuh adalah lewat pendidikan formal.
Bambang Trim, literator | Direktur Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (Alinea) Ikapi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI