Seorang pecandu juga manusia, mereka adalah seorang warga negara yang memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya. Namun, realita yang ada menunjukkan sebaliknya, pecandu kerap kali mengalami pelanggaran hak apalagi ketika ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Selama ini pendekatan hukum yang diterapkan terhadap pecandu masih menggunakan pendekatan punitif, alih-alih menggunakan pendekatan yang humanis. Padahal seorang pecandu itu ibarat orang yang sedang sakit, mereka butuh untuk dipulihan bukan dipenjara.
Tertuang di dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pecandu mempunyai hak untuk mengakses rehabilitasi untuk mengatasi kecanduannya.
Menurut Peraturan Bersama (Perber) nomor 1 tahun 2014, Pecandu berhak mengajukan untuk dilakukannya assessment oleh Tim Asesment Terpadu (TAT) yang terdiri dari Dokter, Pskiolog/psikiater. Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat keparahan kecanduannya.Â
Hasil assessment nantinya adalah rekomendasi kepada pecandu agar dapat segera mendapatkan akses rehabilitasi. Namun, realita di lapangan berkata sebaliknya, mereka masih sulit untuk mendapatkan assessment-assesment untuk pecandu Narkotika ketika tertangkap masih menjadi mimpi buat pecandu narkotika kelas sandal jepit (baca: miskin).
Beberapa waktu lalu Kemenkumham berencana membuka program Rehabilitasi Narkotika di dalam Lapas, bisa dibilang ini angin segar bagi teman-teman komunitas maupun pecandu yang akan ataupun sedang menjalani proses hukum.
Selama ini ribuan pecandu tiap tahunnya dipenjara karena kasus kepemilikan narkotika. Data Ditjenpas per November 2019 saja mengatakan ada 131.663 narapidana narkotika. Tapi apakah program rehabilitasi di dalam lapas merupakan kabar baik bagi pengguna?
Sulitnya mendapatkan assestment
Batas waktu permohonan assessment yang sangatlah singkat yakni hanya 7x24 jam sejak pengguna ditangkap, menyebabkan sulitnya pengguna untuk melakukan permohonan assesment.Â
Selama ini kewenangan untuk mendapatkan assessment itu berada di tangan penyidik kepolisian maupun BNN. Sayangnya bukannya dipermudah untuk assessment pecandu kerap dipersulit, malah TAT ini dijadikan sebagai peluang untuk melakukan praktik transaksional sejak diterbitkannya Perber 2014.Â
Di Bogor, dampingan Paralegal Bogor, sejak tahun 2016 sampai sekarang, belum ada satu pun yang mendapatkan persetujuan dari penyidik untuk mendapatkan assessment, meskipun kriteria yang diajukan, sesuai dengan SEMA no 4 tahun 2010 tentang " Penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunan Narkotika dan Perber 2014.Â
Rehabilitasi sebagai proses memanusiakan pecandu
Terlepas dari PERBER 2014 yang katanya memanusiakan pecandu, sebenarnya konseling atau pun penanganan secara medis akan lebih optimal apabila Tim Asessment Terpadu (TAT) mempermudah proses persetujuan untuk dilakukan assessment , khususnya ditahap awal kita pecandu tertangkap. Mengapa?Â
Karena banyak pecandu pada saat penangkapan sedang mengalami withdrawl atau kesakitan karena ketagihan zat/napza, secara psikologis mereka sangat tertekan, ketika diproses (pemeriksaan) mereka mengalami stres
Belum lagi pecandu kerap mendapatkan tindakan kekerasan baik secara verbal mau pun non-verbal. Ketika diproses persidangan pun tenaga yang dikeluarkan cukup menguras fisik dan psikis seorang pecandu yang duduk di kursi pesakitan.
Ketika di awal penangkapan mereka harus segera mendapatkan assessment untuk mendapatkan rencana rawatan terkait dengan adiksinya. Dan konseling oleh Konselor Adiksi yang nantinya akan menjadi "benteng" saat mereka di kirim ke rutan/Lapas.Â
Mendapatkan pemahaman tentang adiksi, problem solving, menggali kapasitas yang ada di diri pecandu, relapse prevention dan perubahan prilaku sangatlah penting didapatkan oleh pecandu saat menjalani rehabilitasi di awal saat tertangkap, didukung juga oleh medis tentunya.
Mengingat, peredaran gelap narkotika di dalam lapas adalah hal yang sangat nyata, bahkan mudah untuk ditemui.
Memenjarakan pecandu narkotika adalah sebuah keputusan yang kurang tepat, mengingat kecanduan adalah sebuah penyakit kronis, berkembang dan fatal.Â
Pecandu merupakan seorang yang mengalami Substance-related disorder (gangguan terkait penggunaan bahan tertentu) hal ini termasuk dalam penyakit resmi yang terdaftar dalam DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition) dan DSM ini digunakan oleh dokter spesialis jiwa di seluruh dunia. Sesuai penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan jika pengguna adalah orang yang sedang sakit dan perlu membutuhkan perawatan yang tepat.
Pemenjaraan bukanlah solusi, yang mereka butuhkan adalah perawatan insentif agar bisa pulih untuk kemudian dapat kembali menjalani kembali fungsi sosialnya.Â
Tidak jarang pecandu yang menjadi korban dari "war on drugs" ini adalah tulang punggung keluarga, ketika mereka tertangkap akan menyebabkan domino effect dimana keluarganya akan terbengkalai secara social dan ekonomi, yang akhirnya menyebabkan kemiskinan dan menimbulkan stigma sebagai keluarga seorang narapidana.Â
Ketika di dalam pun masalah akan muncul kembali, mereka akan kesulitan secara ekonomi akhirnya mendorong mereka menjadi operator peredaran gelap narkotika dari dalam penjara, disamping untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di dalam penjara, selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan adiksinya.
Selain itu jika pendekatan punitif tetap saja dipakai ini akan menyebabkan overload penghuni lapas hal ini terbukti dengan data dari Ditjenpas.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembiayaan penghuni lapas, kalo berdasarkan data Ditjenpas saja setiap tahunnya warga binaan pemasyarakatan (WBP) terus bertambah (banyak pecandu yang dipenjarakan dengan durasi waktu yang cukup panjang) dan tentunya akan mengeluarkan biaya yang cukup besar oleh negara untuk membiaya kebutuhan hidup mereka di dalam lapas.
Rehabilitasi adalah hak, tujuan dari UU Narkotika mengaturnya sedemikian rupa dan semangat kebijakan penyerta lainnya. Mendapatkan hak atas rehabilitasinya di awal saat pecandu ditangkap, lebih efisien dan optimal untuk bekal menjalai proses hukum di persidangan dan penempatan di blok khusus yang tidak dijadikan satu oleh pelaku tindak kejahatan umum dan narkotika adalah kebijakan yang mengandung kebajikan untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterlibatan maraknya sel-sel baru peredaran gelap narkotika yang dikendalikan dari dalam Lapas.
#FromBogorWithLove
Bambang Yulistyo Tedjo
(Seorang Pecandu dalam pemulihan, yang mendapatkan pengalaman 3 kali dipenjara karena kasus menguasai narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri dan Penjara tidak pernah membuatnya menjadi jera/jinak)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H