Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog 14: Etika

8 Juni 2021   16:53 Diperbarui: 8 Juni 2021   16:56 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

Monolog 14: Etika

Wahai anakku, Filasafia Marsya Ma'rifat, suatu saat engkau akan tahu dan perlu tahu apa itu yang dinamakan etika ?
Dalam bahasa kasunyatan, realitas jagad kasar ini, engkau, aku, ibumu, dan orang-orang lain itu adalah lensa bagi ruang dan waktu. 

Lensa karena keberadaanmu dibatasi oleh persepsimu, demikian pula keberadaanku dibatasi oleh persepsiku. Hal yang sama pula dirasakan oleh orang-orang lain. Atau menurut ungkapan yang sering dikemukakan oleh almarhumah nenek pekalonganmu adalah sawang sinawang.

Anakku, Fia, dengan lensa itu, atau tepatnya dengan indera kita, kita merasakan sesuatu yang di luar diri kita adalah bukan kita. Dan ketika kita melihat sesuatu yang menakjubkan di luar, diri kita menjadi terperangah, dan mencoba menjadi orang lain. Dan kita tidak melakukan karena orang lain juga tidak melakukannya. 

Demikian pula sebaliknya. Sesuatu dikatakan sopan karena kita menginginkannya. Hal sebaliknya dikatakan tidak sopan karena kita tidak menginginkannya. Dan puncaknya adalah tabu. Tabu karena kita tidak merasakan nyaman ketika orang lain melakukannya. 

Anakku, semua itu adalah semu, jika kita mau menelusuri apa hakekat perbuatan yang etis kita lakukan dan hakekat perbuatan yang tidak etis kita lakukan.

Jika engkau belum bisa membedakan dua jenis hakekat perbuatan tersebut, anakku, janganlah engkau ceroboh menyimpulkannya.

Anakku, Fia, suatu perbuatan tidak bisa kita hentikan dengan hanya memunculkan benteng bawah sadar yang bernama tabu dan etika. Demikian pula suatu perbuatan tidak bisa kita paksakan karena perbuatan itu menuruti kaedah etika. 

Tahukah engkau, anakku, bahwa hakekat perbuatan terletak pada asal dan tujuannya (sangkan-paraning). Hakekat asal adalah tidak ada (suwung), sedangkan hakekat tujuan adalah sunyi. 

Dan sunyi adalah bentuk perbuatannya. Perbuatan dari sang suwung itu berupa sunyi yang mencoba menegaskan kesuwungannya itu. Contoh lain, anakku, apa yang engkau rasakan ketika engkau dahaga ?

Jawabnya: engkau diserang berbagai penjuru oleh ajakan perbuatanmu untuk memenuhi dahagamu. Satu contoh lagi anakku, apa yang engkau rasakan ketika lelah, jawabnya adalah: engkau ingin menghindarkan dari kewajiban perbuatanmu.

Anakku, jika engkau mempertanyakan apa itu etik dan non-etik itu, maka ayah jawab, etik adalah ketika sesuatu perbuatan telah mewakili asal dan tujuannya, asal karena dorongan kejujurannya, dan tujuan karena didorong kebutuhannya. Tanpa itu kita akan melihat realitas kemunafikan. Yaitu perbuatan semu untuk menutupi kejujuran dari hakekat perbuatannya. Lantas apakah tabu itu hakekatnya tidak ada ? Ada, anakku . Yakni ketika kita membohongi kejujuran kita, dan tidak mengakui ketidakberdayaan kita atas hakekat perjumpaan kita.

Anakku, Fia, ketidakberdayaan dan perjumpaan itu adalah hakekat perbuatan yang tidak bisa kita lakukan. Anakku, jika engkau ingin belajar etika, pelajarilah dulu ketidakberdayaanmu, dan perjumpaanmu. Di sisi lain renungilah asal dan tujuan hakekat perbuatanmu itu, anakku. Untuk memahami apa itu hakekat perbuatan, pahamilah, puisi ayahmu di bawah ini:

 

tangan pelukis
 

mulamula adalah titik
yang menuntun tangan pelukis
yang menggoreskan garis
akhirnya adalah titik
tumpahan tangan pelukis
tumpahan batin terkikis
dari perjalanan yang habis.

dunia dua
 
seberkas terang pada sehelai gelap
adalah senyap
sekapas awan pada selembar langit
adalah sunyi
tapi, ketika kita bisa menatapnya
adalah: matahari

 
Fia, anakku, saat-saat engkau berada dalam lingkungan manusia-manusia janganlah engkau kehilangan hakekat kehendakmu. Hakekat kehendakmu itu tujuan dari perbuatanmu, sedangkan hakekat perjumpaanmu itu adalah asal dari perbuatanmu. Kejujuran nuranimu itulah hakekat kehendakmu.

Fia, anakku,  bila engkau telah mampu menghidupi kejujuran nuranimu, maka engkau telah menghidupi hakekat dirimu, dan engkau akan menjadi dirimu sendiri, sekaligus akan menemukan perjumpaan bahwa orang lain dan alam sekelilingmu itu adalah dirimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun