Monolog 14: Etika
Wahai anakku, Filasafia Marsya Ma'rifat, suatu saat engkau akan tahu dan perlu tahu apa itu yang dinamakan etika ?
Dalam bahasa kasunyatan, realitas jagad kasar ini, engkau, aku, ibumu, dan orang-orang lain itu adalah lensa bagi ruang dan waktu.Â
Lensa karena keberadaanmu dibatasi oleh persepsimu, demikian pula keberadaanku dibatasi oleh persepsiku. Hal yang sama pula dirasakan oleh orang-orang lain. Atau menurut ungkapan yang sering dikemukakan oleh almarhumah nenek pekalonganmu adalah sawang sinawang.
Anakku, Fia, dengan lensa itu, atau tepatnya dengan indera kita, kita merasakan sesuatu yang di luar diri kita adalah bukan kita. Dan ketika kita melihat sesuatu yang menakjubkan di luar, diri kita menjadi terperangah, dan mencoba menjadi orang lain. Dan kita tidak melakukan karena orang lain juga tidak melakukannya.Â
Demikian pula sebaliknya. Sesuatu dikatakan sopan karena kita menginginkannya. Hal sebaliknya dikatakan tidak sopan karena kita tidak menginginkannya. Dan puncaknya adalah tabu. Tabu karena kita tidak merasakan nyaman ketika orang lain melakukannya.Â
Anakku, semua itu adalah semu, jika kita mau menelusuri apa hakekat perbuatan yang etis kita lakukan dan hakekat perbuatan yang tidak etis kita lakukan.
Jika engkau belum bisa membedakan dua jenis hakekat perbuatan tersebut, anakku, janganlah engkau ceroboh menyimpulkannya.
Anakku, Fia, suatu perbuatan tidak bisa kita hentikan dengan hanya memunculkan benteng bawah sadar yang bernama tabu dan etika. Demikian pula suatu perbuatan tidak bisa kita paksakan karena perbuatan itu menuruti kaedah etika.Â
Tahukah engkau, anakku, bahwa hakekat perbuatan terletak pada asal dan tujuannya (sangkan-paraning). Hakekat asal adalah tidak ada (suwung), sedangkan hakekat tujuan adalah sunyi.Â
Dan sunyi adalah bentuk perbuatannya. Perbuatan dari sang suwung itu berupa sunyi yang mencoba menegaskan kesuwungannya itu. Contoh lain, anakku, apa yang engkau rasakan ketika engkau dahaga ?
Jawabnya: engkau diserang berbagai penjuru oleh ajakan perbuatanmu untuk memenuhi dahagamu. Satu contoh lagi anakku, apa yang engkau rasakan ketika lelah, jawabnya adalah: engkau ingin menghindarkan dari kewajiban perbuatanmu.