Anakku, jika engkau mempertanyakan apa itu etik dan non-etik itu, maka ayah jawab, etik adalah ketika sesuatu perbuatan telah mewakili asal dan tujuannya, asal karena dorongan kejujurannya, dan tujuan karena didorong kebutuhannya. Tanpa itu kita akan melihat realitas kemunafikan. Yaitu perbuatan semu untuk menutupi kejujuran dari hakekat perbuatannya. Lantas apakah tabu itu hakekatnya tidak ada ? Ada, anakku . Yakni ketika kita membohongi kejujuran kita, dan tidak mengakui ketidakberdayaan kita atas hakekat perjumpaan kita.
Anakku, Fia, ketidakberdayaan dan perjumpaan itu adalah hakekat perbuatan yang tidak bisa kita lakukan. Anakku, jika engkau ingin belajar etika, pelajarilah dulu ketidakberdayaanmu, dan perjumpaanmu. Di sisi lain renungilah asal dan tujuan hakekat perbuatanmu itu, anakku. Untuk memahami apa itu hakekat perbuatan, pahamilah, puisi ayahmu di bawah ini:
Â
tangan pelukis
Â
mulamula adalah titik
yang menuntun tangan pelukis
yang menggoreskan garis
akhirnya adalah titik
tumpahan tangan pelukis
tumpahan batin terkikis
dari perjalanan yang habis.
dunia dua
Â
seberkas terang pada sehelai gelap
adalah senyap
sekapas awan pada selembar langit
adalah sunyi
tapi, ketika kita bisa menatapnya
adalah: matahari
Â
Fia, anakku, saat-saat engkau berada dalam lingkungan manusia-manusia janganlah engkau kehilangan hakekat kehendakmu. Hakekat kehendakmu itu tujuan dari perbuatanmu, sedangkan hakekat perjumpaanmu itu adalah asal dari perbuatanmu. Kejujuran nuranimu itulah hakekat kehendakmu.
Fia, anakku, Â bila engkau telah mampu menghidupi kejujuran nuranimu, maka engkau telah menghidupi hakekat dirimu, dan engkau akan menjadi dirimu sendiri, sekaligus akan menemukan perjumpaan bahwa orang lain dan alam sekelilingmu itu adalah dirimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H