Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Dilema Cahaya

13 Mei 2021   06:00 Diperbarui: 13 Mei 2021   06:02 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

Kucoba untuk duduk di kursi itu, tapi segera dilarangnya. Katanya, “ Duduk saja di

kursi tadi, Nak, . . . tunggulah sebentar lagi Bapak pasti datang.”

Sudah dua jam saya menunggu.

Tiga jam, empat jam, lima jam, tak terasa saya menunggu, Pak Tua belum juga datang.

Ku lihat istri Pak Tua, sudah mulai gelisah: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak. Barangkali ia mengamati diriku demikian juga: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak.

Hari sudah menjadi gelap. Matahari terbenam. Penerangan listrik dunia padam. Gelap dan senyap.

Aku menjadi ingat kata-kata Pak Tua tentang pasar yang butuh penerangan listrik agar keributan-keributan yang sering terjadi di pasar itu dapat segera diselesaikan dengan tuntas. 

Sedang menurutku, justru dengan adanya terang, manusia makin buas menuruti

segala nafsu-nafsunya. Karena semua jadi nampak di depan mata, merangsang nafsu manusia untuk meraihnya dengan segala cara yang dimiliki dan selalu dikembangkan daya ampuhnya. Aku jadi yakin dunia akan menjadi damai kalau tidak ada cahaya yang membuat manusia jadi bisa melihat. Atau, kalau tidak ada nafsu yang tersimpan dalam tubuh manusia.

Aku membayangkan wajah yang sudah letih dan tua itu sudah digenangi oleh airmata.

Tak kudengar isak tangisnya, yang terlihat hanyalah goncangan-goncangan dada dan tangannya yang ditangkupkan untuk menutupi wajahnya. Namun lepas juga airmata itu merembes dan mengalir lewat jari-jari tangannya yang gemetar lalu berkumpul di kedua belah sikunya, kemudian satu-satu jatuh ke lantai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun