Kucoba untuk duduk di kursi itu, tapi segera dilarangnya. Katanya, “ Duduk saja di
kursi tadi, Nak, . . . tunggulah sebentar lagi Bapak pasti datang.”
Sudah dua jam saya menunggu.
Tiga jam, empat jam, lima jam, tak terasa saya menunggu, Pak Tua belum juga datang.
Ku lihat istri Pak Tua, sudah mulai gelisah: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak. Barangkali ia mengamati diriku demikian juga: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak.
Hari sudah menjadi gelap. Matahari terbenam. Penerangan listrik dunia padam. Gelap dan senyap.
Aku menjadi ingat kata-kata Pak Tua tentang pasar yang butuh penerangan listrik agar keributan-keributan yang sering terjadi di pasar itu dapat segera diselesaikan dengan tuntas.
Sedang menurutku, justru dengan adanya terang, manusia makin buas menuruti
segala nafsu-nafsunya. Karena semua jadi nampak di depan mata, merangsang nafsu manusia untuk meraihnya dengan segala cara yang dimiliki dan selalu dikembangkan daya ampuhnya. Aku jadi yakin dunia akan menjadi damai kalau tidak ada cahaya yang membuat manusia jadi bisa melihat. Atau, kalau tidak ada nafsu yang tersimpan dalam tubuh manusia.
Aku membayangkan wajah yang sudah letih dan tua itu sudah digenangi oleh airmata.
Tak kudengar isak tangisnya, yang terlihat hanyalah goncangan-goncangan dada dan tangannya yang ditangkupkan untuk menutupi wajahnya. Namun lepas juga airmata itu merembes dan mengalir lewat jari-jari tangannya yang gemetar lalu berkumpul di kedua belah sikunya, kemudian satu-satu jatuh ke lantai.