Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kota Bulan Punggung Laut

15 Maret 2021   19:19 Diperbarui: 15 April 2021   22:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

di pinggiran lautmu aku mengemis

cintaku tergolek tepar dahaga lapar

memuai di atas bara kering panggangan ikan teri

yang duri durinya sudah engkau tancapkan perih

matahatiku menangisi sirnanya cahayamu

di dalam surah undanganmu

sudah  engkau cantumkan seruan

agarku tak banyak bicara

tak banyak bertanya

tapi

kumasih tak mau

kumasih merindu

kenapa

masihkau  jadikanku abu

memutih bersama buih

dan

kenapa

masihkau sembunyi

di sela sela  iga 

ikan teri mati 

tapi 

masihku  sunyi

tak mengerti siapa engkau ini

yang tlah hidupkan kembali lautan  mati

sambil menari nari di dalam biji kenari

wahai engkau yang menghuni di kota bulan

di dalam surah undanganmu

sudah engkau cantumkan

tentang

takdir sabarku yang tak sabar

menanti kesabaranmu

di pinggiran lautmu 

dari kejauhan kumelihatmu

tidur terlentang di atas batu

terkekeh kekeh bergurau bersama

pernak pernik kancing baju galaksi

sambil terlentang kakimu berjingrak riang

tangan kananmu menggambar pelangi

tangan kirimu memetik matahari 

kau putar ke kanan ke kiri

bagai memutar

jarum arloji

di pinggiran lautmu

aku menyerahkan kebodohanku

yang berlepotan ingus flu

larut  kedalam keringat debu

hingga engkau mau

nampakkan punggungmu

punggung yang

penuh gemuruh

gemintang rubuh

musnah daya runtuh

berserakan jatuh

karena

tak kuasa

tuk mengitari 

orbit terindah wajahmu

pusar segala jagad teduh

duh, kumasih  rindu bersimpuh

tegakah  engkau menyuruhku menjauh

kumasih rindu berkeluh

kusedia tambahkan

lubang lubang perahumu

masuki satu-satu

ke setiap lubang porimu

di pinggiran lautmu

kudigulung punggung lautmu

memuntahkanku ke tengah

hamparan  badai pasir

mencampurku

dengan  desir

deburan ombak 

terakhir

dan

akupun  tak henti menangisi

padamnya pelita hatiku

mencari sorot cahaya

di mata langitmu

di pinggiran lautmu yang sama itu

kumenjerit terjepit di kulit

kerang rahasia belantara

diammu

setelah keterusiranku

dari kota bulan punggung laut

di sepanjang jalan pulang

kumengenang  masa laluku

sedu kelu mengintip  bintik  retinamu

gerak getar bibirku gagu mengaji suaramu

dengan mulut  masih dipenuhi kotoran rindu

kumendaki lereng bukit heningmu

lalu

engkau hajar  rinduku

engkau cambuk bicaraku

dengan halilintar ilmumu

karna tak sabarku

memaksa bertemu

maha sabarmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun