di pinggiran lautmu aku mengemis
cintaku tergolek tepar dahaga lapar
memuai di atas bara kering panggangan ikan teri
yang duri durinya sudah engkau tancapkan perih
matahatiku menangisi sirnanya cahayamu
di dalam surah undanganmu
sudah  engkau cantumkan seruan
agarku tak banyak bicara
tak banyak bertanya
tapi
kumasih tak mau
kumasih merindu
kenapa
masihkau  jadikanku abu
memutih bersama buih
dan
kenapa
masihkau sembunyi
di sela sela  igaÂ
ikan teri matiÂ
tapiÂ
masihku  sunyi
tak mengerti siapa engkau ini
yang tlah hidupkan kembali lautan  mati
sambil menari nari di dalam biji kenari
wahai engkau yang menghuni di kota bulan
di dalam surah undanganmu
sudah engkau cantumkan
tentang
takdir sabarku yang tak sabar
menanti kesabaranmu
di pinggiran lautmuÂ
dari kejauhan kumelihatmu
tidur terlentang di atas batu
terkekeh kekeh bergurau bersama
pernak pernik kancing baju galaksi
sambil terlentang kakimu berjingrak riang
tangan kananmu menggambar pelangi
tangan kirimu memetik matahariÂ
kau putar ke kanan ke kiri
bagai memutar
jarum arloji
di pinggiran lautmu
aku menyerahkan kebodohanku
yang berlepotan ingus flu
larut  kedalam keringat debu
hingga engkau mau
nampakkan punggungmu
punggung yang
penuh gemuruh
gemintang rubuh
musnah daya runtuh
berserakan jatuh
karena
tak kuasa
tuk mengitariÂ
orbit terindah wajahmu
pusar segala jagad teduh
duh, kumasih  rindu bersimpuh
tegakah  engkau menyuruhku menjauh
kumasih rindu berkeluh
kusedia tambahkan
lubang lubang perahumu
masuki satu-satu
ke setiap lubang porimu
di pinggiran lautmu
kudigulung punggung lautmu
memuntahkanku ke tengah
hamparan  badai pasir
mencampurku
dengan  desir
deburan ombakÂ
terakhir
dan
akupun  tak henti menangisi
padamnya pelita hatiku
mencari sorot cahaya
di mata langitmu
di pinggiran lautmu yang sama itu
kumenjerit terjepit di kulit
kerang rahasia belantara
diammu
setelah keterusiranku
dari kota bulan punggung laut
di sepanjang jalan pulang
kumengenang  masa laluku
sedu kelu mengintip  bintik  retinamu
gerak getar bibirku gagu mengaji suaramu
dengan mulut  masih dipenuhi kotoran rindu
kumendaki lereng bukit heningmu
lalu
engkau hajar  rinduku
engkau cambuk bicaraku
dengan halilintar ilmumu
karna tak sabarku
memaksa bertemu
maha sabarmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H