Bersaing itu boleh-boleh saja. Asal tidak lupa untuk tetap berprestasi. Berprestasi bukanlah menurut diri sendiri atau pendukung fanatiknya. Tapi berazas manfaat untuk semuanya.
Berprestasi itu melihat jejak. Bukan jejak di pasir pantai. Jika tertiup angin hilang tak bersisa. Atau seperti buih. Tak mampu mempertahankan warna putihnya. Siapa pun yang akan terpilih nanti, diharapkan harum aroma reputasinya.
Pertangjawabannya juga jelas. Diuji oleh siapa pun tetap terang benderang. Transparan, terbebas dari gaya-gayaan.
Kriteria berprestasi, bersaing, dan bertanggung jawab itulah sebenarnya mampu menyeleksi calon yang dapat dijadikan idola semua golongan.
Tetapi untuk kasus kandidat pemimpin bangsa, tarik ulurnya bukan lagi prestasi atau reputasi. Mereka mencari tumpangan kendaraan yang berbasis massa.
Bisa jadi, terjadi tarik ulur antara calon yang dicalonkan parpol, dengan calon yang didukung massa. Pertarungan antara pemuja dengan pembenci malah menjadi-jadi.
Perasaan lalu menjadi dominan. Karena bersifat melekat yang dibalut dengan subjektivitas tinggi, maka akan menyentuh kesadaran.
Emosi berkobar menjadi-jadi manakala ada yang mengintervensi. Itu bisa dimaklumi, karena memuja atau membenci itu benar-benar produk emosi.
Tingkat kepekaan indrawi (saat sebagai pemuja atau pembenci) seakan berhenti dari modus substansi berpikir. Sulit rasanya kembali ke titik dasar, sumber dari segala kehendak.
Emosi, sangat mungkin berubah fungsi dari afeksi menjadi sentimen. Afeksi dan sentimen bertolak belakang.Â
Jika yang dikembangkan sentimen, maka outputnya bisa jadi ujaran kebencian. Walau sudah ada regulasinya, tiap saat masih bersliweran.
Semakin gagal berdamai dengan dirinya sendiri, maka yang dicari adalah musuh di luar. Tiap hari yang ditabuh adalah genderang perang. Padahal sejatinya sedang bermusuhan dengan problem pribadi yang sedang melilitnya.
Jika benar dugaan itu, maka harap dimaklumi lupa terhadap makna integritas, tak tahu lagi makna kerendahan hati, apalagi ikhlas untuk berterimakasih.
Pecinta keutuhan berdasar ketulusan menjadi langka. Mereka lupa bahwa hakikat tulus atau sin cero adalah keutuhan. Bukan perpecahan.
Keutuhan bersaudara, keutuhan berumah tangga, keutuhan berbangsa, dan keutuhan bernegara.
Integritas jangan disamakan dengan perilaku "anut grubyug". Jika sedang musim membenci, ikut-ikutan membenci. Jika musim memuja, ikut-ikutan memuja.
Bagi yang sudah kehilangan peran, pencarian panggung justru mengedepan. Mungkin ini dikira masih menyangkut harga dirinya.
Kita semua, tanpa kecuali, membutuhkan figur dengan kriteria baik dan benar. Misal : "tatas titis, tatag, lan tutug".
Tatas titis, itu selalu lengkap kajiannya, tidak memihak golongan tertentu.Â
Tatag, tidak terpancang terhadap kekhawatiran diri maupun orang lain. Tutug, berlega hati karena sudah berhasil menunaikan visi dan misi yang dijanjikan.
Tapi kadangkala ikrar tinggallah ikrar. Mereka yang ingkar, lalu bercuci tangan, agar bebas dari kategori pembohong.
"Mendacem memorem esse oportere". Pembohong itu harus kuat ingatannya. Kalau mudah lupa, ia akan berbohong selamanya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI