Semakin gagal berdamai dengan dirinya sendiri, maka yang dicari adalah musuh di luar. Tiap hari yang ditabuh adalah genderang perang. Padahal sejatinya sedang bermusuhan dengan problem pribadi yang sedang melilitnya.
Jika benar dugaan itu, maka harap dimaklumi lupa terhadap makna integritas, tak tahu lagi makna kerendahan hati, apalagi ikhlas untuk berterimakasih.
Pecinta keutuhan berdasar ketulusan menjadi langka. Mereka lupa bahwa hakikat tulus atau sin cero adalah keutuhan. Bukan perpecahan.
Keutuhan bersaudara, keutuhan berumah tangga, keutuhan berbangsa, dan keutuhan bernegara.
Integritas jangan disamakan dengan perilaku "anut grubyug". Jika sedang musim membenci, ikut-ikutan membenci. Jika musim memuja, ikut-ikutan memuja.
Bagi yang sudah kehilangan peran, pencarian panggung justru mengedepan. Mungkin ini dikira masih menyangkut harga dirinya.
Kita semua, tanpa kecuali, membutuhkan figur dengan kriteria baik dan benar. Misal : "tatas titis, tatag, lan tutug".
Tatas titis, itu selalu lengkap kajiannya, tidak memihak golongan tertentu.Â
Tatag, tidak terpancang terhadap kekhawatiran diri maupun orang lain. Tutug, berlega hati karena sudah berhasil menunaikan visi dan misi yang dijanjikan.
Tapi kadangkala ikrar tinggallah ikrar. Mereka yang ingkar, lalu bercuci tangan, agar bebas dari kategori pembohong.
"Mendacem memorem esse oportere". Pembohong itu harus kuat ingatannya. Kalau mudah lupa, ia akan berbohong selamanya.Â