Bagi insan skeptikus, yang rutin dilakukan dalam kesehariannya adalah beternak ketidakpetcayaan. Mereka sudah terbiasa meragukan segala sesuatu. Atau tidak pernah memiliki kepercayaan terhadap segala sesuatu.
Penganut paham skeptisme memiliki kecenderungan untuk meragukan hal-hal tertentu.
Para skeptikus punya dunia sendiri. Karena segala sesuatu diragukan terlebih dahulu, maka terjadilah penangguhan pengambilan kesimpulan, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang lebih meyakinkan.
Dari sisi pandang orang yang berseberangan pendirian, keraguan itu dianggap tidak produktif. Mencari-cari bukti yang lebih meyakinkan itu termasuk melelahkan.Â
Bagaimana mungkin kebenaran itu semata-mata adalah kenyataan yang wajib dipenuhi dengan lampiran jejak bukti yang meyakinkan.
Jika yang dimintai bukti itu termasuk kategori doktrin, malah bertambah mbulet lagi. Karena itu perlu referensi yang komprehensif agar mampu meyakinkannya. Pengertian konkrit tetap bersilangan selamanya.
Kenyataan bagi skeptikus adalah sesuatu yang telah dibuktikan dengan pengalaman sendiri. Termasuk untuk segala hal yang menyangkut kesan mental.
Intuisi inderawi harus mampu menghadirkan bukti. Dibuat seolah-olah seperti kwitansi. Tanpa kwitansi, dianggap tidak ada proses jual beli.
Tetapi jika menyangkut "jual beli"keyakinan, maka segala sesuatu yang tidak dilampiri bukti, lalu dikategorikan sebagai fiksi.
Objek di dunia ini tidak selalu diawali dengan bukti indrawi. Kebanyakan mereka masuk ke ranah persepsi yang subjektivitasnya tinggi. Malah sebagian percaya bahwa persepsi dan intuisi tersebut termasuk konsep yang nyata pula keberadaannya.
Suasana hati sangat mungkin mendominasi. Bila sedang berada di titik terendah, justru kepekaan menjadi skeptikus meningkat pesat. Bisa jadi, ini perang antara dia dengan dia. Isyarat sekecil apa pun di luaran, seolah-olah wajib diprioritaskan.
Lalu kata-kata yang digunakan adalah kata penuh tekanan terhadap jati diri orang lain. Ucapan dungu, akhirnya berhasil diviralkan.
Para skeptikus sebenarnya sulit untuk diajak berdalih. Apalagi diajak leha-leha mengedepankan masa lalu.
Misalnya, tidak ada orang yang mampu menolak menjadi tua. Tua adalah keadaan. Tidak bisa disikapi dengan skeptisisme.
Paling-paling perselisihannya menyangkut cara pandang saja. Mereka yang telah purna, suka sekali menggunakan kalimat "kalau saja".Â
Kalau saja atasan saya bukan dia, pasti telah mendapatkan posisi lebih tinggi. Kalau saja pandai berinvestasi, kesejahteraan kini dan esok akan nyambung terjamin. Kalau saja isteri tidak konsumtif, anak penurut, tidak ikut-ikutan trend penyesat jalan, dan banyak lagi "kalau saja" yang lain.
Berandai-andai itu sah saja. Tetapi bagi para skeptikus, tidak selalu mencari keberadaan kambing hitam. Kebenaran relatif, Â sejenak mampu ditinggalkan untuk berpaling ke paradigma "lain kali".
Lain kali, tidak akan terjebak lagi untuk berandai-andai. Lebih produktif, jika pola pikirnya difokuskan untuk : mengatasi rintangan kekecewaan, optimis menatap masa depan, berani mengambil keputusan, dan senantiasa siap untuk cepat memulihkan semangat kehidupan.
Skeptis itu bermodalkan kritis. Mereka lebih mudah melihat penampakan kuman di seberang lautan.
Orang yang kritis memiliki kelebihan, yaitu pandai melihat kekurangan. Itu karena setiap saat diasah untuk fokus ke masalah yang berada di luar dirinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI