Suasana hati sangat mungkin mendominasi. Bila sedang berada di titik terendah, justru kepekaan menjadi skeptikus meningkat pesat. Bisa jadi, ini perang antara dia dengan dia. Isyarat sekecil apa pun di luaran, seolah-olah wajib diprioritaskan.
Lalu kata-kata yang digunakan adalah kata penuh tekanan terhadap jati diri orang lain. Ucapan dungu, akhirnya berhasil diviralkan.
Para skeptikus sebenarnya sulit untuk diajak berdalih. Apalagi diajak leha-leha mengedepankan masa lalu.
Misalnya, tidak ada orang yang mampu menolak menjadi tua. Tua adalah keadaan. Tidak bisa disikapi dengan skeptisisme.
Paling-paling perselisihannya menyangkut cara pandang saja. Mereka yang telah purna, suka sekali menggunakan kalimat "kalau saja".Â
Kalau saja atasan saya bukan dia, pasti telah mendapatkan posisi lebih tinggi. Kalau saja pandai berinvestasi, kesejahteraan kini dan esok akan nyambung terjamin. Kalau saja isteri tidak konsumtif, anak penurut, tidak ikut-ikutan trend penyesat jalan, dan banyak lagi "kalau saja" yang lain.
Berandai-andai itu sah saja. Tetapi bagi para skeptikus, tidak selalu mencari keberadaan kambing hitam. Kebenaran relatif, Â sejenak mampu ditinggalkan untuk berpaling ke paradigma "lain kali".
Lain kali, tidak akan terjebak lagi untuk berandai-andai. Lebih produktif, jika pola pikirnya difokuskan untuk : mengatasi rintangan kekecewaan, optimis menatap masa depan, berani mengambil keputusan, dan senantiasa siap untuk cepat memulihkan semangat kehidupan.
Skeptis itu bermodalkan kritis. Mereka lebih mudah melihat penampakan kuman di seberang lautan.
Orang yang kritis memiliki kelebihan, yaitu pandai melihat kekurangan. Itu karena setiap saat diasah untuk fokus ke masalah yang berada di luar dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H