Sebenarnya cermin itu berada di mana-mana. Di kisah nyata, maupun di dalam cerita.
Di dalam pewayangan pun kita dapat menemukan cermin budaya. Misalnya tentang kesetiaan cinta sejati.
Di dalam lakon "Sembodro Larung", Burisrowo tergila-gila berat kepada Sembodro yang telah telah bersuami. Ketika ditakut-takuti dengan keris, ia malah dengan sengaja menubruknya. Sembodro tewas seketika.
Ketika jenazahnya dilarung dengan perahu di sungai Silugonggo, ditemukanlah oleh Ontorejo. Lalu dihidupkan jenazah itu dengan kesaktiannya. Ia kembali berbahagia bersama suami dan mengasuh anaknya Ongkowijoyo.
Cerita tentang pertanggung jawaban pribadi juga begitu. Betapa banyak contoh, ketika sedang mengaca, yang terlihat malah wajah orang lain.
Pencarian kambing hitam pun dimulai. Konon inilah salah satu ekspedisi yang paling banyak dilakukan orang. Bekalnya hanya berupa praduga bersalah saja. Jika tidak ditemukan, dampak yang ditinggalkan berupa luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Hingga di suatu saat, berjumpalah dengan syair titik balik : "Bersuaralah dan bernyanyilah. Hingga dunia kembali berdering nyaring, seirama dengan kembalinya kebebasan yang menggema".
Memang susah menemukan hikmah. Tindakan yang paling mudah, yaitu buruk muka cermin dibelah.
Biasanya mengaca itu dilakukan di saat sedang merias diri. Sekecil apa pun, kekurangan itu pasti ditutupi dengan jeli.
Namun demikian, setelah selesai merias diri, lalu kembali ke kebiasaan lama. Mengecilkan atau membesar-besarkan masalah yang ada.
Refleksi itu penting, siapa tahu nantinya akan menjumpai kekuatan dan keajaiban yang tak terduga-duga.