Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Kulineran Jogja Jadul

18 September 2021   07:35 Diperbarui: 18 September 2021   07:43 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kos pertama kali di Jogja, tidak jauh dari Malioboro. Berdampingan dengan Asrama Mahasiswa Banuhampu. Termasuk wilayah Pringgokusuman atau Jlagran. Di depan rumah, melintas rel kereta api jurusan Bantul.

Jika ke Malioboro berjalan kaki. Melewati satu perempatan sudah sampai di Sosrowijayan. Tak lama, Maloboro sudah kelihatan terbentang.

Berjalan kaki di malam hari sungguh menyenangkan. Mengamati keadaan di kanan kiri, mata pun dicuci. Rute rutin yang dijalani Pringgokusuman - Seni Sono, lalu pulang lagi.

Kalau mau kulineran ya pilih yang tleseran. Di depan rumah kos-kosan ada penjual hik. Mahasiswa Banuhampu meramaikannya. Konsumsi sehari-hari cukup dipenuhi dari sini.

Kalau bosan, berjalan sebentar ke warung di ujung jalan. Ngambil dahulu, bayar belakangan.

Kuliner Sosrowijayan, padat dengan bule backpakers. Mirip Kuta, bertumbuhan hotel Melati. Di sini dapat ditemui Warung Bistik Bu Sis. Lokasinya nylempit, tapi masuk ke buku panduan backpakers dunia. Walau sering lewat, belum pernah mampir ke sana.

Begitu ketemu jalan Malioboro, terlihat Garden Restaurant Legian. Sekitar tahun 1970an ramainya bukan main. Persis suasana Kuta. Penuh bule.

Sebelum terbakar ludes, beberapa kali pernah ke sana. Sambil mengenang anak lelaki saya yang lahir di Jogja. Namanya mirip, yaitu Legian Salasa. Ia lahir di hari Selasa Legi.

Memang nyaman duduk di lantai 2. Lalu lalang di Malioboro maupun di jalan Perwakilan terlihat nyata. Apalagi ditemani es krim Banana Split dan steak.

Berjalan terus, lalu ingat Bakmi Ketandan. Ada aroma mi goreng dan nasi goreng melintas. Terbayangkan kembali, sinar api arang yang menari-nari di sekitar anglo. Semakin dikipasi, semakin merah mengangah. Sega goreng uritan, dulu jadi andalan. Tapi ya itu, harus sabar menunggu antrian lama.

Sebenarnya kangen juga makan gudheg lesehan di Malioboro seperti waktu masih menjadi pejalan kaki dulu. Semisal varian gudheg basah di emperan Toko Liman. Aromanya khas, sepertinya bumbunya ditambahi sedikit trasi.

Begitu gudheg jadi hidangan turis lokal, kok malah tidak tertarik.  Gudheg lesehan Malioboro semakin aneh-aneh. Ditambah ayam goreng tepung, ayam bakar, pecel lele, burung dara goreng. Tentu saja ketidak aslian ini menjadi penyebab harganya terkerek naik.

Kalau makan gudheg penuh kenangan pribadi, cukup ke Gudheg Campur Sari. Lebih dikenal dengan gudheg batas kota. Tahun terakhir sebelum total pindah dari Jogja, pernah tinggal di jalan Papringan, berdampingan dengan rumah tinggal pelukis Affandi. Lokasi gudheg kenangan, tak jauh dari situ.

Pandemi hampir melenyapkan memori. Kuliner Jogja jadul mulai banyak terhapus, karena memang terlalu lawas dan tidak pernah ditelusuri lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun