Kapan lagiii?... mumpung nih...
Tidak pernah terpikirkan betapa nelangsanya Ayah Ibu Kakak Adik korban akan menerima kabar duka ini. Terkadang mereka memang tidak saling mengenal satu sama lain, sehingga empati dalam makna persaudaraan sangatlah tipis.
Miris... saat melihat teman mereka terkapar di jalan bersimbah darah, bukannya ditolong,... tapi reaksi yang terjadi adalah membalas serangan terlebih dahulu!.. balas demi bendera kebangsaan dahulu!. Â Masalah teman mati... ya sudah... dianggap syuhada versi kelompoknya atau ditag sebagai Pahlawan (yang benar benar tanpa tanda jasa) paling tidak untuk beberapa hari ke depan.
Krisis Identitas Diri ?
Satu hal yang sangat mungkin terjadi adalah keberingasan mereka didominasi atas hasrat menunjukkan identitas diri, bukan KTP maksudnya... tapi jati diri sebagai anak muda.
Masa mencari jati diri ini memang masa masa rawan keblinger.
Kebetulan Identitas yang mereka cari dapat diperoleh dari bendera kesebelasan yang mereka kibarkan, seolah bendera itu mewakili kehormatan, eksistensi dan harga diri secara total. Gue nih "Anu"mania relawan kesebelasan "Anu", gitu misalnya. Semakin rela maka semakin pekat derajad kepahlawanan para relawan ini terhadap kelompoknya dan tentu saja akan semakin dihormati.
Peran Manajemen Kesebelasan
Sudah saatnya pihak -- pihak yang memiliki bendera atau identitas ini lebih peka terhadap "jamaahnya".
Saya membayangkan jika mindset manajemen kesebelasan berubah bahwa main bola bukan hanya di dalam lapangan saja, tapi juga di luar lapangan. Keamanan, ketertiban dan keselamatan lingkungan juga menjadi target kinerja kesebelasan, disamping kemenangan tentunya.
Nggak sulit kok memenangkan pertandingan di luar lapangan... Â misalnya silaturahmi berkala antar supporter dan pemain, melakukan aksi sosial bersama, memberi penghargaan kepada anggota supporter yang tertib, mempublikasikan kegiatan positif mereka di media atau sosmed dll. Menumbuhkan kesadaran konstruktif secara bersama sama, itu pointnya.