Inkonsistensi, plintat-plintut dan mencla-mencle! Transaksional, pragmatis dan dagang sapi! Istilah-istilah seperti itulah, yang hari-hari ini terlontar dari mulut para emak milenial.Â
Cara pelontarannya pun penuh dengan nada gemas dan geram. Ada yang sambil meneteskan air mata. Tapi ada juga yang sampai menangis sesenggukan. Bahkan ada yang sampai seperti meratap, mengerang dan meradang.
Siapa mereka itu? Dan apa pula yang menyebabkannya? Mereka itu adalah kelima emak milenial yang tergabung dalam Grup Mamimumemo. Kelimanya sama-sama menangisi manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para pemimpin partai negeri ini. Padahal silaturahmi antar para tokoh bangsa tersebut, sejatinya adalah sesuatu yang positif dan lumrah-lumrah saja.
Misalnya Jokowi ngobrol empat mata dengan Prabowo. Prabowo dengan Megawati. Prabowo dengan Surya Paloh. Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Jokowi dengan Zulkifli Hasan. Prabowo dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar. Selanjutnya Prabowo dengan Airlangga Hartarto. Juga Jokowi dengan Surya Paloh.
"Ngapain para bos partai itu kok seperti menjilat ludahnya sendiri. Baru saja mereka berkompetisi dengan amat keras dan tajam. Tapi lihatlah mereka sekarang, seperti anak kecil saja. Baru saja habis berantem, tapi dengan cepat sudah berangkulan kembali. Bercipika cipiki dan bermain bersama kembali." Neng Ma nyatakan keheranannya pada acara meeting rutin grupnya, siang ini.
"Kok bisa seperti itu, ya?" ujar Mbak Mi. "Mirip bunglon, ya? Gampang sekali berubah pendiriannya..."
"Itu namanya politikus yang piawai. Punya fleksibilitas yang tinggi." Imbuh Mpok Mu.
"Bagiku, itu sangat ambigu dan membingungkan." Tutur Kak Me.
"Betul, itu yang bisa bikin bingung. Dan bisa kecewakan yang di bawahnya......"
"Yang di bawahnya itu, maksudnya siapa?"
"Ya para pengagum dan pendukungnya dong! Para relawan dan jutaan konstituennya..."
" Safari politiknya beliau-beliau itu, menurutku, sah-sah saja!" sela Zus Mo mencoba bersikap netral. "Mereka itu kan sedang bersilaturahmi. Apanya yang salah dengan kegiatan seperti itu? Justru yang keliru ya sikap para pendukung fanatiknya sendiri...."
"Lho, kok malah para pendukung fanatiknya yang dianggap keliru. Kelirunya itu di mana? Bukankah mereka itu yang justru tetap konsisten dan kekeh dengan posisinya?" kejar Kak Me.
"Kelirunya, karena mereka itu sampai sekarang belum bisa, atau belum mau move on. Padahal bos besarnya kan sudah bisa ke mana-mana tanpa beban...." Jelas Zus Mo. "Ngapain harus terus memelihara rivalitas dan memperpanjang ketegangan? Apalagi sampai terus memupuk kebencian?"
Karena masing-masing tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri, maka diskusi Grup Mamimumemo siang ini tidak melahirkan kesimpulan apa pun. Sehingga suasanya menjadi amat kaku dan buntu.
"Begini saja," Mbak Mi yang janda muda itu memecah kebekuan."Gimana kalau kita sekarang ini rame-rame silaturahmi saja ke Bung Arief....?"
"Bung Arief itu siapa?"
"Bung Arief mantan dosen kita yang dulu itu, lho....!"
"Oh..... Bung Arief yang sosiolog itu.......?"
"Mantan dosen kita yang paling ganteng itu, kan.....?" celetuk Kak Me dengan sumringah.
"Beliau itu, sudah setahun ini, membuka usaha kafe yang dikelola oleh istrinya. Sedang kunjungan kita ke sana ini, pertama untuk makan siang. Kedua, untuk menyambung silaturahmi. Dan yang paling penting, untuk kita mintai pandangannya tentang manuver dan akrobat politik yang dilakukan oleh para bos parpol itu...." itulah usulan yang dilontarkan oleh Mbak Mi.
Karena dianggap cukup menarik, maka secara aklamasi usulan itu langsung disetujui para emak milenial itu. Dan langsung saja, meluncurlah mereka bersama-sama ke kafe milik sang sosiolog. Yang lokasinya bisa ditempuh hanya 20 -- 30 menit pakai mobil atau motor.
Sesampai di kafenya, pada reunian yang spontan itu, terciptalah suasana kangen-kangenan yang cukup heboh. Acara Kunjung Dadakan oleh para mantan mahasiswi dengan mantan dosen favoritnya itu, sangat menyenangkan kedua belah pihak. Penuh celotehan kocak, juga nakal, Â tapi tetap berbobot.
Disebut berbobot, karena kelima emak-emak muda itu seperti mendapatkan kuliah umum kembali dari sang sosiolog idolanya. Khususnya tentang topik aktual yang tadi baru saja mereka bahas.
Menurut sosiolog Arief Budhiarto, silaturahmi dan safari politik yang dilakukan oleh para pemimpin politik sekarang ini, sangat positif dan bermaslahat. Memang tempo hari mereka telah 'berantem' dalam kontestasi politik yang sangat keras dan panas.Â
Di Pilpres tempo hari, bangsa ini seolah telah terbelah menjadi dua. Tetapi, itu kan sudah lewat. Hasilnya pun sudah jelas. Dan akhirnya bisa juga diterima secara resmi oleh kedua belah pihak.
Itu artinya, segala macam pertentangan dan persengketaan sudah harus dihentikan. Bangsa ini tak boleh terus menerus terpolarisasi dan terpecah belah. Karena situasi seperti itu, akan sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh para pembajak demokrasi, atau para 'setan gundul' untuk mencapai kepentingan politik mereka sendiri.
Kalau sekarang ini, para pemimpinnya sudah bisa move on dan sudah bisa saling berangkulan. Itu adalah sesuatu yang sangat patut untuk disyukuri dan didukung. Bukan malah dicurigai apalagi dinyinyiri. Dan semua pendukungnya, mestinya ya harus menuruti teladan para pemimpinnya.  Â
Jika para petinggi partai sudah sadar, bahwa kesatuan dan persatuan bangsa harus dinomorsatukan, maka mereka sejatinya sudah berkembang dari sekadar politisi menjadi seorang negarawan. Cinta kepada bangsa dan tanah air, harus berada jauh di atas cinta mereka terhadap partai dan kelompoknya.
"Tapi merapatnya mereka ke presiden itu, apa bukan hanya untuk mendapatkan kursi menteri saja, Bung?" tanya Mpok Mu.
"Kalau presiden memang memerlukan kontribusi dan memilih mereka, why not? Bukankah mereka sudah berjanji akan memberikan kader terbaiknya jika memang diperlukan? Jadi apakah nanti mereka akan di dalam atau di luar pemerintahan, kupikir sama-sama mulianya."
"Terima kasih banyak Bang Arief, atas penjelasan yang sangat mencerahkan kami. Tapi ngomong-ngomong mana istri Abang? Kami semua kan belum kenal. Dari tadi kami kok belum melihatnya...."
Kemudian Arief Budhiarto menjelaskan kepada mereka, bahwa istrinya sudah meninggal hampir setahun yang lalu. Tepatnya 2 bulan setelah membuka usaha kafenya.
"Yang terpenting yang harus kalian ingat," tambah Arief. "Semua bentuk silaturahmi itu sangat baik dan produktif. Baik silaturahmi politik, atau silaturahmi apa pun. Jadi nggak perlu lagi mencurigai atau meratapi silaturahmi para ketum partai itu..."
"Kalau silaturahmi pribadi, apa juga perlu dibudayakan, Bang?" celetuk Mpok Mu.
"Lho, ya perlu banget dong!" jawab Arief mantap.
"Kalau gitu, saya usul bagaimana kalau Bang Arief mau menjalin silaturahmi pribadi dengan Mbak Mi? Menurut saya, akan sangat pas. Karena Mbak Mi janda cantik, sedang Bang Arief adalah duda keren...." Ujar Mpok Mu cengengesan.
Maka meledaklah tawa mereka semuanya.
==000==
Bambang Suwarno-Palangkaraya, 18 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H