Tanteku memang malaikatku. Dialah yang berjasa besar menyiapkan masa depanku. Sejak masuk SMP, sejak aku berstatus yatim piatu, aku tinggal bersamanya. Artinya, dialah yang menghidupiku sampai sekarang ini. Bukan hanya sekadar menghidupiku saja. Tapi beliaulah yang membiayai penuh sekolahku dan kuliahku. Bahkan beliaulah sendiri yang mendampingiku dalam wisudaku sebagai Sarjana Hukum, bulan yang lalu. Pendeknya, beliau sudah menganggapku sebagai putri kandungnya sendiri.
Maka wajiblah aku menghormati dan mematuhinya. Maka wajarlah, kalau kemudian aku menjadi sangat mengagumi, mempercayai  dan membanggakannya. Maka sudah seharusnya, jika aku akan membelanya mati-matian terhadap setiap upaya yang akan mencemarkan nama baiknya. Apalagi yang akan melakukan  character assassination terhadapnya. Akulah orang pertama yang akan melawan upaya-upaya seperti itu.
Masak tanteku dicurigai telah membajak tunanganku sendiri? Masak malaikatku yang cantik dan cerdas itu tega menghancur-leburkan cintaku? Masak pahlawan hidupku itu kini disinyalir sedang dalam proses merontokkan mimpi dan masa depanku? Â Akh, tidak, tidak dan tidak mungkin!
"Yang menuduh tantemu seperti itu siapa?" tanya Tanty setelah kucurhati soal itu di rumahnya. Tanty adalah teman kuliah yang selama ini paling dekat denganku.
"Kakak sepupuku sendiri, Maya..."
"Apa dia punya bukti-bukti valid yang mendukung tuduhannya itu?"
"Tidak punya bukti satu pun...."
"Lantas apa dasarnya....?"
"Dasarnya ya cuma feeling dia saja..."
"Ya nggak bisa seperti itu dong!" sahut Tanti seperti tak terima. "Itu soal trust dan soal harga diri. Itu soal yang sangat sensitif. Jadi ya tak boleh cuma main feeling saja!"
"Sesungguhnya Kak Maya sampaikan feeling-nya itu sudah yang ketiga kalinya." Tambahku, sambil nyeruput kopi panas yang dihidangkannya padaku. "Pertama,enam bulan yang lalu. Kedua, tiga bulan berikutnya. Dan yang ketiga, tadi pagi via chat di WA-nya."