Di tengah rasa syukur kepada Tuhan atas segala rahmat-Nya bagi Indonesia, mendadak kita diterjang kabar kelam. Belum usai memperingati kemerdekaannya yang ke 74 tahun, bangsa ini kembali tersentak.Â
Ya, kita tersentak dalam keprihatinan yang mendalam. Karena secara tak terduga, tiba-tiba Papua meradang dan murka. Di beberapa tempat muncullah aksi unjuk rasa sejumlah mahasiswa. Yang puncaknya di Manokwari diwarnai kericuhan, blokade, pembakaran dan pengrusakan beberapa fasilitas umum penting.
Mengapa sebagian warga Papua marah? Kemarahannya diberitakan sebagai reaksi emosional atas perlakuan diskriminasi dan rasis yang menimpa sekelompok mahasiswa Papua di berbagai daerah.Â
Mereka murka, karena merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Bahkan ultimatum pengusiran terhadap keberadaannya, mereka alami juga. Semuanya itu sangat amat melukai hati mereka.
Sejatinya saudara-saudari kita dari Papua itu bukanlah tipe komunitas pemarah. Bukanlah pribadi-pribadi yang beringas dan garang. Bukanlah sebuah kelompok sosial yang siap menerkam kelompok sosial yang lainnya. Itu sama sekali bukan watak dan gaya mereka.
Sebaliknya, mereka adalah masyarakat yang penuh toleransi. Jauh dari niatan mendiskriminasi atau mengintimidasi pihak lain. Bukankah selama ini, mereka selalu welcome terhadap para pendatang yang tinggal di daerahnya? Bukankah selama ini tak pernah terjadi aksi pengusiran terhadap pendatang dari tanah mereka?
Untuk lebih memahami sauadara-saudari kita dari Bumi Cenderawasih itu, mari kita simak sebuah puisi tentang mereka. Penulisnya adalah Respiratori Saddam Al Jihad, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Supaya lebih jelas, inilah teks lengkap puisi tersebut :
Indonesia adalah Papua
Kenapa saya tidak sebut Papua adalah Indonesia? Tapi Indonesia adalah Papua
Bung Karno mengambil simbol negara dari Papua. Yaitu Burung Garuda.
Pancasila belajar dari Papua. Maka aku sebut Indonesia adalah Papua.