Meski pun begitu, saya masih sangat meragukan kemampuan Badelul untuk bisa jadi seorang walikota. Pertama, setahu saya, dia bukan kader dari partai mana pun. Kedua, profesinya pun cuma pedagang kuliner kelas menengah di kota ini. Yaitu pemilik tiga buah Depot Makan Sate Kambing.Â
Ketiga, tingkat intelektualitasnya pun sangat pas-pasan. Bayangkan, untuk lulus S1 saja ia harus menempuhnya sampai 6 tahun. Keempat, dugaan kuat saya, Badelul tidak punya cukup modal. Padahal political cost untuk kontestasi pilwali saat ini sangatlah besar.Â
Kelima, dia bukan artis beken, olahragawan handal atau pun aktifis vokal. Artinya, dia tak punya keterkenalan apa pun di tengah masyarakatnya. Maka sudah pasti elektabilitasnya akan sangat rendah.......
"Oooo, Abang jangan salah! Jangan keburu under estimate dulu terhadapnya!" potong istri saya, "Badelul itu sekarang ini sudah bergelar doktor, Bang..."
" Haah, sudah doktor? Doktor apaan? Kapan dan di mana kuliahnya?" sergah saya hampir seratus persen tak percaya. Dalam hati, mendadak saya berburuk sangka padanya. Jangan-jangan doktornya abal-abal?
"Abang  nggak akrab dengannya, sih! Jadi Abang tak tahu perkembangan Badelul tahun-tahun belakangan ini." Tukas istri saya.
"....................." saya hanya simak saja omongan istri saya, sambil membayangkan wajah Badelul dengan asap rokoknya yang selalu mengepul.
"Ayah mertuanya beserta semua saudaranya, itu kan termasuk keluarga yang tajir-tajir. Hampir semua mereka adalah para saudagar lumayan. Yang punya ratusan karyawan..."
"Oke, tapi apa urusannya dengan Badelul?" sahut saya.
"Merekalah justru yang mendorong Badelul untuk nyalon walikota. Artinya, mereka siap menjadi penyandang dananya. Juga mereka akan mewajibkan sekian ratus orang karyawan perkebunan sawitnya beserta keluarganya -- untuk mencoblos Badelul.Â
Dan jangan lupa, bahwa teman kita itu, di kota ini punya banyak pelanggan setia yang fanatik. Â Yaitu para konsumen sate dan gulai kambingnya. Merekalah yang akan digarap menjadi calon pemilih potensialnya." Tambah istri saya.