Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Manusia-manusia Purba

20 Februari 2019   11:16 Diperbarui: 20 Februari 2019   11:32 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mbah Kakung terperangkap dalam heran dan sepi. Pagi ini, ia mondar-mandir sendiri di rumahnya. Melongok ke semua kamar dan ruang, tapi tak ada siapa-siapa. Ke mana anak, menantu dan dua cucunya? Maka terpaksalah si embah bikin kopi sendiri. Beli sarapan pagi sendiri. Dan santai sendiri di hari libur ini.

"Dari mana saja kamu, Ren?" tanyanya pada Reny, begitu anak perempuannya itu tiba.

"Dari pasar murah, Be!"

"Tumben kamu tertarik. Biasanya khan enggak?"

"Gimana nggak tertarik? Paket yang dijual itu super murah lho, Be. Ini beda jauh ketimbang pasar-pasar murah lain selama ini. Bahkan khusus untuk aku, dapat lebih banyak dan gratis lagi..."

"Kok bisa? Memang siapa yang mengadakan?" tanya si Embah. Terlihat sekali kalau ia cukup penasaran.

"Si Anisa, teman kuliahku dulu, Be. Itu lho, putri tertuanya Pak Arman.."

"Arman pemilik SPBU Jalan Jago dan beberapa toko ritel itu, maksudmu?"

"Iya, Be!"

"Ini dagelan yang naf! Yang bener-bener nggak lucu!"

"Lho, kok gitu, Be?" gantian Reny yang kepo.

Lalu Mbah Kakung pun membeberkan penjelasannya. Menurutnya, ia sama sekali curiga terhadap pasar murah itu. Pasti ada hidden agenda dalam kegiatan sosial itu. Ini pembodohan bahkan pengelabuan publik. Pasar murahnya sendiri memang sangat menolong masyarakat. Tapi karena penyelenggaranya adalah keluarga yang sejak dulu terkenal pelit, asosial dan perusahaannya pernah tersandung kasus pengemplangan pajak; maka Mbahkung minta agar  Reny mewaspadainya.

"Babe sendiri khan selalu mendorong kita-kita untuk mau selalu berbuat baik terhadap sesama. Terutama yang jelata dan menderita. Lantas sekarang, ada pihak yang jelas-jelas menjadi berkat atau memberi maslahat pada orang banyak. Kenapa kok dicurigai? "

"Kamu belum bener-bener tahu rekam jejaknya sih..."

"Katakanlah mereka pernah punya cacatan buruk masa lalu. Tapi mungkin saja sekarang sudah bertobat. Zakheus yang sebelumnya pendosa pun khan bisa bertobat, Be. Dari pemeras menjadi penebar berkat."

"Yah, kita lihat saja nanti kayak apa...." Jawab si Embah dengan wajah yang mengeruh.

                     ***

Sejam kemudian, Reno dan Ranti pun tiba kembali di rumahnya. Mereka adalah cucu Mbahkung. Kakeknya pun bertanya mereka dari mana. Jawabnya, dari melayat teman sekelasnya yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.

"Semuanya sedih dan keluarganya tampak sangat terpukul, Mbah." lapor Ranti.

"Untung ada seorang hero yang ikut melayat sampai ke pemakaman." Tambah Reno.

"Haah, hero? Siapa dia?" tanya si kakek.

"Hero itu betul-betul orang yang baik hati, Mbah. Dia berjanji akan menguruskan Jasa Raharjanya agar keluarga duka itu mendapatkan santunan 50 juta rupiah. Dan dia pribadi akan membantu sebesar 50 juta rupiah juga."

"Baik dong. Tapi siapa yang kamu sebut si hero itu?" kejar kakeknya.

"Dia panggilannya Wan Zono. Kata orang, ia juragan daging sapi di Pasar Besar."

"Dia yang punya ternak sapi gede di desa Sukosuko itu lho, Kek....." Ranti menjelaskan.

"Ahhaaaay.... dia itu 'bajul buntung' yang istrinya ada di mana-mana. Juga ia rentenir yang banyak memiskinkan orang. Jangan pernah bilang lagi, ia itu hero.....!"

"Tapi tindakannya membantu keluarga yang berduka itu khan heroik, Mbah?"

"Heroik apa? Kalau pun disebut pahlawan, dia itu pahlawan kesiangan.!"

                          ***

Sorenya, menantu laki-laki Mbah Kung yang bernama Wondo, pulang juga dari kerja. Wajahnya memerah, berbinar dan bersinar. Lebih cemerlang ketimbang wajah mentari di ambang senja. Ada euforia yang menggelegak di dadanya. Dengan siulan kecil, ia masuk ke rumah. Semua yang di rumah disapanya hangat.

"Mama, sore ini, mama tak usah masak...." ujarnya kepada Reny, istrinya.

"Kalau nggak boleh masak, berarti Papa mau ngajak kita makan malam di luar dong?" tanya Reno.

"Betul makan malam di luar. Pasti enak-enak, dijamin puas, dan yang penting gratis lagi....."

Karena didesak, maka Wondo pun menjelaskannya. Malam ini, mereka diundang oleh Pak Setyo Novandi untuk menghadiri pesta Syukuran Ultahnya. Bertempat di rumahnya yang megah dan mewah di kawasan elit di kota ini.

"Konon kabarnya, setiap keluarga yang diundang akan diberi angpao sebesar masing-masing 5 juta rupiah."

"Berarti Papa dapat angpao juga dong?"

"Lha iyalah..... khan Papa dapat undangan resmi juga," jawab Wondo bangga, "Ini undangannya!"

"Meski aku dapat undangan juga, aku tak mau datang......kalau kalian datang, silahkan! Tapi aku tidak. Aku di rumah saja." Celetuk si Kakek tiba-tiba.

"Kenapa, Mbah...?" tanya mereka serempak.

"Aku nggak mau makan uang haram. Uang hasil korupsi. Dia itu mendekam di penjara selama hampir 5 tahun. Dia itu baru bebas kembali kira-kira 6 bulan ini. Dan yang konyol lagi, dia itu sekarang nyaleg juga. Mantan napi korupsi kok mau maju jadi wakil rakyat. No way!"

Kemudian si Kakek tiba-tiba menanyakan juga tentang Anisa yang baru adakan pasar murah. Juga tanya tentang si Wan Zono yang membantu keluarga duka tadi. Pertanyaannya, apakah mereka menyatakan ingin nyaleg juga?

"Ya benar, Kung. Malah mereka minta agar kita semua mau mencoblosnya April nanti."

"Mengapa kakekmu ini curiga dan sama sekali tak simpati pada mereka? Karena mereka itu sesungguhnya adalah manusia-manusia purba...."

"Manusia purba itu jenis makhluk apa, Kung?" tanya Ranti polos.

"Manusia purba itu adalah manusia yang pura-pura baik agar dipilih dan dicoblos di pemilu nanti. Padahal sebelumnya adalah manusia yang amit-amit........"

                    ==000==

Bambang Suwarno, Palangkaraya -- Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun