Celakanya jika kemudian pengaruh budaya tersebut menyusup di ranah regulasi yang bersembunyi dibalik kepentingan partikulat. Demi mengkolonisasi identitas lewat mesin birokrasi. Berbagai macam cara acap ditengarai berlangsung menegasi meritokrasi, menyamarkan polarisasi fragmentaris secara sporadis. Bagaimana mungkin itu nyata, di tengah otoritas pemangku kepentingan yang lagi getol mengedepankan Reinventing Birokrasi. Menegaskan konsep New Public Management? Adakah yang salah dari sistem tata kelola pengasuhannya paska reformasi (birokrasi)?
Mungkin saja dari sekian kasus yang muncul dipermukaan dan sebagian besarnya tersamarkan. Seolah sebagai keniscayaan demokrasi yang sedang berlangsung dengan berbagai kemungkinannya. Demokratisasi selayaknya menyediakan kebebasan yang bersifat nan tunggal pun di ranah implementasi. Aktor adalah pemeran utama yang serba tidak tunggal. Sosok performanya memang bisa saja personal individual, tapi terhubung oleh hasrat kepentingan yang serba tak terduga. Manakala kepentingan 'ide' bertemu 'naluri' saling erat berjabat.
Tidak ada yang tidak mungkin dikomodikafi. Serupa ideologi untuk menjadikan cita-cita bersama agar harapan tujuannya mewujud. Arena yang penuh beragam ego sektoral. Ketegasan di lokus kebijakan Policy making penting diapresiasi. Bilamana Negara menetapkan tujuan utamanya yang ingin dicapai. Hukum etik profesionalisme nampaknya menjadi salah satu caranya. Tentu bukan untuk mengibiri dus mengubur semua potensi. Di medan aparatur pelayanan publik, Â keterukuran normatif selayaknya dijunjung tinggi.
Bagaimanapun sistem sepatutnya dihormati. Dijaga sebagai kesepakatan konsensus pelayanan agar tetap berlangsung obyektif. Menepis bias tafsir subyektif. Benar, era keterbukaan meniupkan nafas baru, bahwa puncak kompetisi adalah sinergi. Setiap ruang adalah media. Setiap orang adalah pemeran yang saling berkolaborasi.
Hal yang nampaknya tidak perlu sering-sering terjadi lagi dan berlindung atas nama maladministrasi. Semoga ini hanya mimpi pagi. Untuk tidak menyebutkan ilusi, delusi atau halusinasi. Kembali kepada kitahnya saja, bahwasanya negara memang seharusnya hadir di atas kepentingan semua golongan tak terkecuali.
Inilah pentingnya kewaspadaan menuntut kehati-hatian yang sangat dibutuhkan dalam memahami realitas nyata dan realitas maya. Informasi tidak begitu saja bisa menjadi rujukan kebenaran. Seperti ketika memahami sebuah Gelas Setengah Penuh atau Setengah Kosong. Setengah Benar atawa Setengah Salah?! Hoax bagi sebagian netizen bisa diargumentasikan kebenaran yang belum terungkap. Isu pun hanyalah peristiwa yang belum terjadi.
Menjadikan WTS Profesional Sebagai Jurnalisme Watchdog
Eiittt nanti dulu, jangan terlalu cepat berburuk sangka. WTS yang dimaksud bukan Wanita Tuna Susila alias Pekerja Seks Komersial (PSK), sebab saya pria tulen. WTS termaksud adalah Wartawan Tanpa Surat kabar.
Istilah WTS populer pada tahun 80 an. Sebutan yang disandang pada mereka yang menjalani praktek jurnalistik, menjadi wartawan tetapi tidak memiliki media tempat bernaung. Istilah positif lainnya freelancer, namun negatifnya juga banyak. Tapi bukan bodrek, tidak juga amploper, apalagi Markus (Makelar Kasus). Sebab hari ini, profesi itu berangsur punah, berkat hadirnya media baru yang memberikan ruang teramat luas kepada siapapun untuk ambil bagian. Semua Gadget adalah Media, Semua Orang adalah Wartawan.Â
Praktik jurnalisme sekarang memang terbuka. Seperti anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang "serba boleh" alias permisif ini. Konsekuensi dan risikonya sudah pasti, menjadi kurang bisa terkontrol kecuali oleh dirinya sendiri. Meskipun siapapun mereka juga terkadang tidak bisa bertanggung jawab atas perilakunya. Dipahami atau tidak, sengaja atau khilaf, teledor, sembrono bisa menuai dampak yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Fakta terakhir yang baru saja terjadi, adalah kerusuhan yang kembali terulang di Jogja. Kisruh antar supporter pecah tanpa sebab musabab yang jelas. Sungguh mengkoyak kesadaran atas nama ketentraman. Peristiwa tersebut dipicu oleh postingan seorang peserta konvoi. Untung saja bukan dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai jurnalis. Mungkin awalnya hanya candaan atau slengean di medsos. Tapi akibatnya fatal, beberapa menit berselang. Ciutan vlog tersebut seakan menjadi peluit genderang perseteruan.Â