SEPANJANG bulan Juli ini, perhatian publik tidak saja tersita oleh dua kasus besar yang dikisahkan bak telenovela. Kasus baku tembak antara Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dan Bharada E yang terjadi di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Disambung kasus penembakan Rina Wulandari istri anggota TNI di Kota Semarang yang berhasil diungkap tim gabungan TNI Polri. Lima tersangka diringkus, sedangkan otak pelaku yang tidak lain adalah suami korban, Kopda Muslimin.Â
Kasus pidana di dua institusi negara TNI dan Polri, memang tidak hanya kali ini saja. Ada begitu banyak kasus sebelumnya yang tak kalah besar cakupannya. Termasuk kasus perdata yang kerap terjadi di banyak lembaga pemerintahan lainnya. Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan maladministrasi menempati rangking seakan kelaziman.
Sas-sus desas-desus semakin merebak ramai di masyarakat. Digoreng, dibolak-balik, ditarik diulur diringkas, seperti kisah serial dramkor saja. Bukan saja bobot kasusnya yang menarik karena masih diselimuti misteri. Melainkan media menjadi sarana efektif ikut mengartikulasikan respon partisipatif publik pada setiap kasusnya. Tak kurang media digital dan Warga dunia maya, Netizen, memiliki pengaruh yang tidak sedikit.Â
Gelas Setengah Penuh Setengah Kosong, Setengah Benar Setengah Salah.Â
Bisnis Koran Kuning, benar saat ini sudah gulung tinta, senyampang surutnya media mainstream yang digantikan perannya oleh media baru. Jurnalisme Kuning yang dahulu sangat laku dipasaran tahun 80-90 an pun tak lagi bisa berjaya. Itu sama halnya Jurnalisme Sensasionalisme yang beralih rupa menjadi Semburan Dusta Firehose of Falsehood di era Post Truth yang beranak pinak Hoax.Â
Liberalisasi Media itu kejam. Seperti kecerdasan buatan, kecerdasan entitas, intelegensi artifisial, yang tak bernyawa, maka bisa saja tak bersenyawa dengan kehidupan. Mereka bertemu dalam ruang kepentingan agenda setting yang bisa membunuh siapapun yang terlena kurang waspada.
Media Mainstream yang lebih memiliki akurasi informasi pun pelan tapi pasti, akhirnya juga tumbang oleh progresivitas media digital. Pilihannya mau terkubur atau bertahan hidup dengan cara migrasi agar lebih elegan. Muara muasalnya tak lain ada disini, medsos yang penuh idiom, mau positif ataupun negatif.Â
Medsos bukanlah institusi atau profesi yang memiliki ikatan tanggung jawab kepada penggunaannya. Oleh karenanya tak bisa serta-merta dimintai pertanggungjawaban. Semuanya diserahkan kepada anda sebagai pengguna. Betapapun hakekat jurnalisme bukan hanya ketrampilan atau profesi tapi adalah pilihan sikap.
Pilihan sikap yang dapat ditempuh dari berbagai jalan. Betapapun TIK mengalami pelbagai perubahan kemajuan. Tapi setidaknya masih ada sisa jejak kenangan yang membeku untuk dinikmati: Sikap dan Tanggung Jawab menjalankan Misi Suci (Sacred Mission). Menjadi penyambung lidah kebenaran. Begitulah jurnalisme modern, teori tanggung jawab sosial menjadi madzhab meanstream di berbagai media massa belahan dunia (Sense Of Socials Responsibility).Â
Sedemikian massifnya Rezim Intoleransisme ini, yang tidak saja dalam pemahaman politik identitas ataupun sekadar berkaitan dengan kepentingan primodialisme. Melainkan sudah masuk pada wilayah budaya personal privat partikular. Betapapun jauh dari sikap Radikalisme, Rasialisme, Rasisme, namun tidak menutup kemungkinan menyelundup di celahnya.
Celakanya jika kemudian pengaruh budaya tersebut menyusup di ranah regulasi yang bersembunyi dibalik kepentingan partikulat. Demi mengkolonisasi identitas lewat mesin birokrasi. Berbagai macam cara acap ditengarai berlangsung menegasi meritokrasi, menyamarkan polarisasi fragmentaris secara sporadis. Bagaimana mungkin itu nyata, di tengah otoritas pemangku kepentingan yang lagi getol mengedepankan Reinventing Birokrasi. Menegaskan konsep New Public Management? Adakah yang salah dari sistem tata kelola pengasuhannya paska reformasi (birokrasi)?
Mungkin saja dari sekian kasus yang muncul dipermukaan dan sebagian besarnya tersamarkan. Seolah sebagai keniscayaan demokrasi yang sedang berlangsung dengan berbagai kemungkinannya. Demokratisasi selayaknya menyediakan kebebasan yang bersifat nan tunggal pun di ranah implementasi. Aktor adalah pemeran utama yang serba tidak tunggal. Sosok performanya memang bisa saja personal individual, tapi terhubung oleh hasrat kepentingan yang serba tak terduga. Manakala kepentingan 'ide' bertemu 'naluri' saling erat berjabat.
Tidak ada yang tidak mungkin dikomodikafi. Serupa ideologi untuk menjadikan cita-cita bersama agar harapan tujuannya mewujud. Arena yang penuh beragam ego sektoral. Ketegasan di lokus kebijakan Policy making penting diapresiasi. Bilamana Negara menetapkan tujuan utamanya yang ingin dicapai. Hukum etik profesionalisme nampaknya menjadi salah satu caranya. Tentu bukan untuk mengibiri dus mengubur semua potensi. Di medan aparatur pelayanan publik, Â keterukuran normatif selayaknya dijunjung tinggi.
Bagaimanapun sistem sepatutnya dihormati. Dijaga sebagai kesepakatan konsensus pelayanan agar tetap berlangsung obyektif. Menepis bias tafsir subyektif. Benar, era keterbukaan meniupkan nafas baru, bahwa puncak kompetisi adalah sinergi. Setiap ruang adalah media. Setiap orang adalah pemeran yang saling berkolaborasi.
Hal yang nampaknya tidak perlu sering-sering terjadi lagi dan berlindung atas nama maladministrasi. Semoga ini hanya mimpi pagi. Untuk tidak menyebutkan ilusi, delusi atau halusinasi. Kembali kepada kitahnya saja, bahwasanya negara memang seharusnya hadir di atas kepentingan semua golongan tak terkecuali.
Inilah pentingnya kewaspadaan menuntut kehati-hatian yang sangat dibutuhkan dalam memahami realitas nyata dan realitas maya. Informasi tidak begitu saja bisa menjadi rujukan kebenaran. Seperti ketika memahami sebuah Gelas Setengah Penuh atau Setengah Kosong. Setengah Benar atawa Setengah Salah?! Hoax bagi sebagian netizen bisa diargumentasikan kebenaran yang belum terungkap. Isu pun hanyalah peristiwa yang belum terjadi.
Menjadikan WTS Profesional Sebagai Jurnalisme Watchdog
Eiittt nanti dulu, jangan terlalu cepat berburuk sangka. WTS yang dimaksud bukan Wanita Tuna Susila alias Pekerja Seks Komersial (PSK), sebab saya pria tulen. WTS termaksud adalah Wartawan Tanpa Surat kabar.
Istilah WTS populer pada tahun 80 an. Sebutan yang disandang pada mereka yang menjalani praktek jurnalistik, menjadi wartawan tetapi tidak memiliki media tempat bernaung. Istilah positif lainnya freelancer, namun negatifnya juga banyak. Tapi bukan bodrek, tidak juga amploper, apalagi Markus (Makelar Kasus). Sebab hari ini, profesi itu berangsur punah, berkat hadirnya media baru yang memberikan ruang teramat luas kepada siapapun untuk ambil bagian. Semua Gadget adalah Media, Semua Orang adalah Wartawan.Â
Praktik jurnalisme sekarang memang terbuka. Seperti anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang "serba boleh" alias permisif ini. Konsekuensi dan risikonya sudah pasti, menjadi kurang bisa terkontrol kecuali oleh dirinya sendiri. Meskipun siapapun mereka juga terkadang tidak bisa bertanggung jawab atas perilakunya. Dipahami atau tidak, sengaja atau khilaf, teledor, sembrono bisa menuai dampak yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Fakta terakhir yang baru saja terjadi, adalah kerusuhan yang kembali terulang di Jogja. Kisruh antar supporter pecah tanpa sebab musabab yang jelas. Sungguh mengkoyak kesadaran atas nama ketentraman. Peristiwa tersebut dipicu oleh postingan seorang peserta konvoi. Untung saja bukan dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai jurnalis. Mungkin awalnya hanya candaan atau slengean di medsos. Tapi akibatnya fatal, beberapa menit berselang. Ciutan vlog tersebut seakan menjadi peluit genderang perseteruan.Â
Masih ingat juga kasus yang menimpa Peneliti Komunikasi Politik Effendi Gazali memutuskan untuk mundur sebagai dosen di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Prof Dr Moestopo Beragama. Effendi Gazali juga menyerahkan kembali gelar guru besar bidang ilmu komunikasi kepada negara. Sebab kecewa pemberitaan mengenai dirinya setelah dipanggil sebagai saksi di KPK berlebihan. Merasa gagal 20 tahun mengajar jurnalisme dan komunikasi, hasilnya negatif. Pemberitaan media digital online pun dirasa semacam menjadi bullying bagi dirinya.Â
Lain lagi cerita perseteruan Adam Deni dan Ahmad Sahroni yang berdampak panasnya bui hotel prodeo. Demikian Roy Suryo yang dijerat Polda Metro Jaya sebagai pelaku kasus meme stupa Candi Borobudur yang dimiripkan dengan gambar Presiden Jokowi. Kasus lain lagi misalnya Ade Armando, Asrul, Nuril, Buni Yani, Jonru, sampai pun Luna Maya menyesali hanya karena merekam film aladin.
Pelanggaran ITE Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hakekatnya hanyalah peringatan dini untuk hati-hati bermedia sosial. Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya.
Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Januari hingga Oktober, ada 35 kasus pemidanaan menggunakan pasal-pasal dalam UU yang pertama kali disahkan pada 21 April 2008 itu. Dari 35 kasus itu, pasal yang paling banyak digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) sebanyak 14 kasus, Pasal 28 ayat (1) sebanyak 11 kasus, pasal gabungan sebanyak 6 kasus, dan Pasal 27 ayat (3) sebanyak 4 kasus.
Menurut pasal 33 UU No.40 Tahun 1999 tentang pers, pers merupakan media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial. Salah satu fungsi pers, fungsi wartawan, atau media massa adalah menjadi "anjing penjaga" (Watchdog). Istilah jurnalisme Watchdog pun muncul merujuk pada peran media yang mengawasi atau mengkritisi kinerja pemerintah, pejabat, dan masyakat.
Jurnalisme Watchdog terkait dengan salah satu fungsi pers, media, atau wartawan adalah kontrol sosial. Fungsi kontrol mendorong media massa atau wartawan untuk mengontrol, mengoreksi, mengkritik sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan atau yang semestinya. Praktiknya adalah dengan menulis berita atau memberitakan terjadinya penyimpangan kekuasaan. Dalam melaksanakan fungsi ini, wartawan tetap menaati kode etik jurnalistik. Kaidah jurnalistik seperti disiplin cek dan ricek tetap berlaku untuk menemukan kebenaran faktual: 1. Verifikasi (telaah). 2. Klarifikasi (penyelidikan). 3. Konfirmasi ((kajian). 4. Observasi (pendalaman). 5. Analisis - Â Kesimpulan
Tidak mudah memilah kebenaran informasi di tegah ragam analisis terhadap fakta peristiwa. Tak teterkecuali peristiwa yang memerlukan kecermatan menyampaikan fakta kebenaran. Jurnalisme Media Baru atau Jurnalistik Digital Online, pada akhirnya harus menyesuaikan dengan karakter media dan pembacanya. Maka bukanlah hal mengejutkan jika kemudian mendapati cara penyampaian berita dan informasi pun sangat jauh berbeda dengan media mainstream.
Mengikuti perkembangan Jurnalisme Media Baru Digi Online, serasa menikmati percakapan ruang kecil antar waktu. Ketaatan pada kaidah dan kepatuhan pada etis sedikit banyak dikesampingkan. Catatan pendek ketika memulai dari titik balik darimana semua bermula dan entah kapan harus diakhiri. Sedang disebelah kata hening meniti tepi, ikhlas bukan sekedar cerita. Pada mereka yang dilahirkan di kemudian hari, tak peduli siapa yang pernah meninggalkan pergi. Ini medan peperangan terbesar menabur pikiran menuai tindakan, menabur tindakan menuai kebiasaan, menabur kebiasaan menuai karakter.
HASRAT perihal maksud yang tidak nampak, tetapi akan berdampak pada sikap menunjukkan kepentingan. Baik dari sudut psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, maupun budaya, akan tergambar pada perilakunya. Benarlah quote Gus Kahlil Gibran: "Pahami hati dan pikiran seseorang, jangan melihat apa yang telah dicapainya, tetapi pada apa yang dia cita-citakan". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H