ANAK-ANAK INDONESIA boleh merasakan ketersanjungan dan istimewa pada setiap bulan Juli tiba. Berbagai jamuan perayaan sudah disediakan untuk menandai keberadaannya. Perhelatan yang tak terkira luar biasa penting: Hari Anak Nasional (HAN) setiap tanggal 23 Juli 2022.
Betapa anak-anak adalah keniscayaan bagi proses kelangsungan estafet regenerasi. Inilah momentum untuk sejenak memaknai kembali, bagaimana anak-anak merupakan aset masa depan yang teramat penting. Agenda kegiatan yang telah dirancang untuk merayakannya tidak bisa begitu saja diabaikan signifikansinya. Namun lebih daripada itu, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak-hak Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu setiap saat direnungkan kembali.Â
Setiap orang tua atau dewasa, pasti memiliki cara tersendiri dalam merefleksikan peran fungsinya terhadap anak-anak. Bagaimana  anak-anak agar mampu menempa diri menjadi seperti yang dikehendaki dirinya sendiri. Bukan menjadikannya miniatur orang tua atau manusia dewasa lainnya. Mengingat kenyataannya masih banyak anak-anak yang diperlakukan dan mengalami kekerasan, trafficking, ketimpangan, perlakuan represif dan pelecehan.Â
Pemerintah kali ini mengusung Tema Hari Anak Nasional (HAN) 2022: Anak Terlindungi Indonesia Maju. Tema tersebut secara jelas menunjukkan bahwa perlindungan bagi anak masih menjadi masalah yang relatif krusial di Republik ini.Â
Relasi Narasi Normatif Filosofis
Posisi anak-anak pada galibnya masih dalam masa yang belum sepenuhnya mandiri dan memiliki ketergantungan sangat tinggi. Untuk menjauhkan eksploitasi dari lingkungan sekitarnya, PBB secara normatif telah mengeluarkan konvensi tentang 10 Hak-hak Anak. Sebagai platform rujukan bagaimana anak-anak didudukan selayaknya manusia yang otonom otentik secara pribadi di tengah relasi dengan lingkungannya, baik orang tua, keluarga dan negara.Â
Sepuluh Hak-hak Anak yang wajib dipenuhi orang tua tersebut: 1. Hak Mendapatkan Nama atau Identitas. 2. Hak Memiliki Kewarganegaraan. 3. Hak Memperoleh Perlindungan. 4. Hak Memperoleh Makanan. 5. Hak Atas Kesehatan Tubuh yang Sehat. 6. Hak Rekreasi. 7. Hak Mendapatkan Pendidikan. 8. Hak Bermain. 9. Hak untuk Berperan dalam Pembangunan. 10. Hak untuk Mendapatkan Kesamaan.
Dengan demikian Resolusi PBB ini setidaknya menjadi proteksi dini untuk kemudian diteruskan menjadi kebijakan oleh masing-masing negara dalam bentuk perundangan yang mengikat.Â
Di luar ranah kebijakan yang bersifat struktural formal negara-pemerintah tersebut --sebagai orang tua yang gemar menulis dan member kompasianer--, ada banyak cara lain untuk merenungi dan merefleksikan Hari Anak Nasional (HAN).
Setiap pilihan pasti bersifat subyektif, namun bukan berarti tidak bisa dibagi sebagai sarana mengkomunikasikan kepada siapapun yang berempati kepada anak-anak. Dan begitulah setiap kali membaca ulang puisi Kahlil Gibran dari buku Sang Nabi. Seakan dihadapkan pada kaca cermin filosofi yang mengajak berdialog dengan diri sendiri. Sesuatu yang tidak mudah tapi pasti.Â
Anak
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat dirimu, tetapi bukan darimu.
Mereka tinggal denganmu, tetapi mereka bukan milikmu.
Kau dapat memberikan kasih sayang, tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat tinggal bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya.
Karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Rumah yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Kau boleh berusaha keras untuk menyerupai mereka, tetapi jangan mencoba untuk membuat mereka menyerupaimu.
Karena kehidupan tidak berjalan mundur, dan juga tidak tinggal di masa lalu.
Kau adalah busur dan mereka adalah anak panah yang melesat ke depan.
Sang Pemanah telah membidik sasaran keabadian.
Dia merentangkanmu dengan kekuatanNya, hingga anak panah melesat cepat dan jauh.
Gembiralah dengan tarikan tangan Sang Pemanah, karena Ia mencintai anak-anak panah yang terbang, dan Ia juga menyukai busur yang mantap.
Puisi Khalil Gibran tersebut seakan menguji setiap hati orang tua. Bagaimana mendudukkan anak berada jauh ke dalam dirinya sendiri yang geniun otentik orisinal dan atau murni. Terbebas dari pengaruh lingkungannya, masyarakat, keluarga apalagi orang tua. Sesuatu yang muskhil bin mustahil sejatinya. Namun sebagai 'ide' memang begitulah senyatanya pandangan filosofis. Tergantung bagaimana manusia dewasa mengambil maknanya sebagai kisi-kisi referensi.Â
Selain Khalil Gibran, ada teks lain, kalau boleh disebut sebagai tesis dari Dorothy Law Nolte yang tak kalah menariknya.
Anak-anak Belajar dari Kehidupannya
Jika anak hidup dengan kecaman, mereka belajar untuk mengutuk.Â
Jika anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan.Â
Jika anak hidup dengan ketakutan, mereka belajar untuk menjadi memprihatinkan.Â
Jika anak-anak hidup dengan belas kasihan, mereka belajar untuk mengasihani diri sendiri.Â
Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar untuk merasa malu.Â
Jika anak hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri.Â
Jika anak hidup dengan rasa malu, mereka belajar untuk merasa bersalah.Â
Jika anak hidup dengan dorongan, mereka belajar percaya diri.Â
Jika anak-anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran.Â
Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi.Â
Jika anak-anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai.Â
Jika anak hidup dengan persetujuan, mereka belajar untuk menyukai diri mereka sendiri.
Jika anak-anak hidup dengan pengakuan, mereka belajar itu baik untuk memiliki tujuan.Â
Jika anak hidup dengan berbagi, mereka belajar kemurahan hati.Â
Jika anak hidup dengan kejujuran, mereka belajar kejujuran.Â
Jika anak hidup dengan keadilan, mereka belajar keadilan.Â
Jika anak-anak hidup dengan kebaikan dan pertimbangan, mereka belajar menghormati.Â
Jika anak hidup dengan keamanan, mereka belajar untuk memiliki iman dalam diri mereka dan orang-orang tentang mereka.Â
Jika anak-anak hidup dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.Â
Dorothy Law Nolte, Kahlil Gibran dan Konvensi Hak-hak Anak PBB, menjadi suara langit dari alam gaib. Yang berbeda dari yang lain. Suara lembut berbisik di relung hati. Jauh dari hingar bingar protokoler perayaan penyambutan. Seperti klausa mimpi yang terus bekerja menekuni seloka doa, mengetuk rumah hati untuk segera terjaga. Menghadapi situasi serba waspada di zaman yang menawarkan bermacam kemungkinan.Â
Semua pilihan sudah tersedia hari ini. Beragam metode pendidikan anak pun bertebaran tak kalah sengitnya. Dari yang lokal, global, internasional, religius agamis, saintifik, mekanis pragmatis dan humanistik sekalipun. Nilai-nilai sosial pun bergerak cepat  menyertai perubahan big data digital. Kesemuanya menawarkan prospek beserta konsekuensinya yang tak kurang menariknya.
Anak-anak pun seolah berada di tengah gelombang pita spektrum frekuensi. Tanpa bekal kemandirian untuk bersikap dan menentukan pilihannya. Sama saja membiarkan anak-anak berada dalam badai yang mengepung dan siap menggulungnya. Sebuah masa yang mengajak semua orang dewasa dan orang tua untuk lebih hati-hati. Bagaimana memahamkan realitas dan memberlakukan aset investasi masa depan anak-anak di celah situasi yang semakin tidak mudah.
Selamat Merayakan Hari Anak Nasional (HAN) 2022. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H