Anak
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah anak kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat dirimu, tetapi bukan darimu.
Mereka tinggal denganmu, tetapi mereka bukan milikmu.
Kau dapat memberikan kasih sayang, tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat tinggal bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya.
Karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Rumah yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Kau boleh berusaha keras untuk menyerupai mereka, tetapi jangan mencoba untuk membuat mereka menyerupaimu.
Karena kehidupan tidak berjalan mundur, dan juga tidak tinggal di masa lalu.
Kau adalah busur dan mereka adalah anak panah yang melesat ke depan.
Sang Pemanah telah membidik sasaran keabadian.
Dia merentangkanmu dengan kekuatanNya, hingga anak panah melesat cepat dan jauh.
Gembiralah dengan tarikan tangan Sang Pemanah, karena Ia mencintai anak-anak panah yang terbang, dan Ia juga menyukai busur yang mantap.
Puisi Khalil Gibran tersebut seakan menguji setiap hati orang tua. Bagaimana mendudukkan anak berada jauh ke dalam dirinya sendiri yang geniun otentik orisinal dan atau murni. Terbebas dari pengaruh lingkungannya, masyarakat, keluarga apalagi orang tua. Sesuatu yang muskhil bin mustahil sejatinya. Namun sebagai 'ide' memang begitulah senyatanya pandangan filosofis. Tergantung bagaimana manusia dewasa mengambil maknanya sebagai kisi-kisi referensi.Â
Selain Khalil Gibran, ada teks lain, kalau boleh disebut sebagai tesis dari Dorothy Law Nolte yang tak kalah menariknya.