Menyaksikan 'mise en scene' truk sepanjang lebih separo dari durasi film, mengajak penonton untuk membayangkan secara imajinatif bagaimana potret negeri +62, semirip peristiwa yang terjadi dalam truk film tersebut. Penuh mayoritas atribut agamis, tapi nyinyir membincangkan soal yang sebaliknya, profanik. Potret realitas (kita) di ruang sosial yang nyinyir, bawel, ghibah, julid, narsis, dan riya.
Sedangkan yang di luar mainstream, minoritas, harus bersabar ditengah hiruk-pikuknya dominasi relasi komunikasi. Sebutlah sebuah metafora yang gaduh. Menjauhi pendekatan isu perempuan yang termafum di tagline judul filmnya. Selain secara keseluruhan tidak menunjukkan "ide" sensitifitas gender dan gerakan kesetaraan perempuan, kecuali penggambaran stereotipekel. Tentu, sekali lagi ini persepsi di ranah tafsir interpretatif. Sebab apapun karya cipta seni tidak berdiri sendiri diruang kosong, lepas dari habitat sosialnya.
Di tengah hangatnya situasi sosial politik polarisasi yang melahirkan dikotomi diametral sejak satu dasawarsa terakhir ini, Tilik menjadi semacam 'alat' representasi hasrat saling menohok kedua belah pihak: Togog-Kadrun, Cebong-Kampret.
Namun diakui atau tidak, itulah fenomena generasi baru film pendek yang hidup bukan lagi dari pemutaran screening diskusi. Medsos lebih dari pada cukup memberikan mediasi aktualisasi sosialisasi ekspresi. Semuanya sangat tergantung kecakapan mengelola dan memanfaatkannya sebagai "sarana" ataupun "tujuan", dengan indikator yang semakin jelas: subscribers, viewer, followers.
Jika mau ditarik di arena yang lebih lebar lagi, maka Pandemi Covid-19 memiliki kontribusi besar pula, mengapa kemudian publik lebih suka mencari hiburan film di media digital online semacam. Pada perspektif ini pun tak terabaikan bagaimana nasib film sebagai produk industri hiburan yang sangat tergantung pada profil benefitnya dari ticketing. Ketika jaga jarak social distancing, mengurangi mobilitas sosial di rumah saja, menghindari kerumunan dan tempat-tempat tertutup, maka film bioskop bisa menjadi bernasib 'riwayatmu dahulu'. Dan hal serupa pernah terjadi menerpa industri film tahun 50-60 an ketika industri teknologi televisi sedang naik daun.
Dunia film pernah mengalami masa paceklik karena munculnya teknologi tabung gelas televisi. Sampai industri film Hollywood kolaps ditinggalkan penontonnya ketika teknologi televisi berkembang pesat.
Film mereka tidak lagi diincar oleh stasiun-stasiun televisi, yang dulunya berani membayar tinggi, untuk memutarnya pascapemutaran bioskop.
Jumlah penonton bioskop menurun hingga hanya satu miliar orang per tahun (jumlah yang kurang lebih konstan hingga awal 90-an). Mulai tahun 1969, perusahaan-perusahaan film Hollywood menderita kerugian $200 juta tiap tahunnya.
Para produser Hollywood pun berpikir keras putar otak, tidak mau menyerah begitu saja. Salah satu strategi mereka adalah dengan memproduksi film-film yang bertemakan budaya tandingan (counter culture), yang ditujukan bagi generasi muda saat itu. Film sebagai film. Mereka adalah generasi pertama pembuat film Hollywood yang tidak datang melalui sistem atau melalui teater, novel atau televisi. Oleh berbagai kalangan generasi ini kemudian disebut sebagai Generasi Movie Brats Hitchcock (De Palma), Kurosawa (Milius) dan Walt Disney (Spielberg).
Para sutradara-sutradara muda yang dijuluki movie brats ini, adalah mereka yang tidak lahir dari dalam sistem industri Hollywood, namun dari sekolah-sekolah film: NYU (New York University), USC (University of Southern California), dan UCLA (University of California: Los Angeles).
Para movie brats ini tidak hanya menguasai mekanisme produksi sebuah film, tapi juga paham mengenai estetika dan sejarah film. Tidak seperti para sutradara generasi sebelumnya, para movie brats memiliki pengetahuan yang luas mengenai film dan sutradara-sutradara terkenal, termasuk mereka yang belajar di luar sekolah (otodidak).