#11
MILENIAL pelan tapi pasti adalah pembunuh berdarah dingin di era distruption (distruptif). Tapi tak perlu dirisau-resah-gelisahkan, mereka adalah masa depan dunia.
Setiap generasi mempunyai caranya sendiri dalam merespons zamannya. Demikian pula setiap generasi baru akan hadir bersamaan kemajuan jamannya, termasuk generasi Milenial. Setiap tesis akan melahirkan anti tesa, tesa, sintesa, yang saling berkaitan terus berlanjut berputar kemana arah peradaban berlangsung. Sejarah telah begitu banyak menuliskan peristiwa transformatif perubahan semacam, dari revolusi sosial sampai teknologi informasi.
Pada tulisan saya terdahulu "Tilik Generasi Baru Film Pendek Indonesia" yang dimuat di jayakartanews.com lebih banyak menyoroti bagaimana ide gagasan dikomodifikasi dan direproduksi ulang dalam olahan yang berbeda. Semisal film pendek Prenjak yang juga cukup fenomenal, karena berani menampilkan adegan relatif vulgar; kelamin wanita.
Akan tetapi bagi yang pernah menyaksikan film dokumenter dan film cerita Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho, menganggap premis Prenjak sebagai repetisi ide gagasan namun beda olahan persoalan dan pendekatan.Â
Ide gagasan penciptaan memang bisa saja otonom, namun tidak menutup kemungkinan simultan maupun overlaping. Sesuatu yang lumrah dalam kajian seni budaya, selama tidak melewati batas epigonik.
Demikian juga artikel ini merupakan revisi reaktualisasi tulisan sebelumnya. Namun di rasa penting untuk ditulis ulang di laman Kompasiana. Tentu, setidaknya melalui penyuntingan dan kontekisasi topik.
Millenial memang progresif. Begitu kesan sebuah komunitas short movie Jogja yang rata-rata beranggotakan millenial militan, para film maker ideologis yang gelisah terhadap wacana penciptaan sinematografi. Topik perbincangannya menyoal, mengapa Tilik masih mengesankan sampai hari ini?
Ditonton lebih dari 27 juta viewers, sejak penayangan perdana di YouTube 17 Agustus 2020, film pendek produksi Ravacana Film yang awalnya mendapatkan fundraising dari Dinas Kebudayaan DIY 2018, memang terkesan mampu memproyeksikan secara baik lokalitas Jogja ke dalam potret negeri +62 termutakhir.
Celakanya ketika memahami bahwa filmnya ternyata booming, trending, viral dan out of the box, maka dibuatlah produksi episode berikutnya yang tak jauh beda dengan film sebelumnya.
Alhasil, baik dari capaian estetis maupun respons publik tidaklah sesignifikan pendahulunya. Ini adalah bagian lain di luar ranah kreatif struktur film yang perbincangkan.