#10
PRABU NIWATAKAWACAÂ yang teramat digdaya sakti mandraguna berhasil membuat Marcapada chaos. Niwatakawaca memiliki kesaktian suara Aji Gineng. Setiap ajian tersebut disuarakan, siapapun akan keder, jatuh mental, tunduk atau terpilut menurut atau musnah.
Para Dewa Khayangan yang adiluhur pun gentar menilik kesaktian Raja Negeri Manikmantaka itu. Apapun kemauan Niwatakawaca selalu dipaksakan dan harus terlaksana. Amarah iri hati melihat majunya pembangunan infrakstruktur negeri Amarta yang dipimpin Prabu Yudhistira. Anak Prabu Kala Pracona ini berambisi menguasai semua negara dibawah kekuasaannya, menggunakan upaya penaklukan, ancaman kekuatan dan kekerasan.
Niwatakawaca bermanuver meminang bidadari Supraba, yang tak lain modus untuk dijadikan istri. Jika keinginannya tidak dipenuhi, maka kayangan akan luluhlantak dihancur leburkan.
Tanpa disadarinya, Prabu Niwatakawaca tengah menandai kehancurannya sendiri.
Setelah deklarasi menaklukan Negeri Jonggring Saloka tempat bermukim Para Dewa. Kabinet Para Dewa melakukan musyawarah mufakat aklamasi dan memutuskan; Arjuna Mintaraga yang tengah gentur bertapabrata, pinilih dimandatkan agar maju berperang.
Prasyaratnya, Arjuna mesti harus lulus melewati tiga tahapan ujian. Pertama, ujian nafsu syahwati dengan melewat godaan tujuh bidadari. Kedua, ujian penguasaan diri, ilmu jiwa, etika, moral, mental dan spiritual. Ketiga, Ujian kemampuan ketrampilan, mengolah raga, kesaktian dan kanuragan.
Singkat cerita, berkat dibantu siasat keelokan rayuan Supraba. Diketahuilah titik kelemahan Aji Gineng Niwatakawaca yang terletak di cethak-centilan mulutnya.Â
Arjuna berstrategi, akan memanahkan Pasopati pada saat Niwatakawaca tertawa menggertak. Anak panah melesat mengenai titik sasaran, Niwatakawaca pun tewas. Pangkal lidahnya tertebas anak panah Pasopati. Sukmanya merenggang nglambrang. Sifatnya menitis reinkarnasi dari waktu ke waktu bagai fenomena niskala sampai pula dicelah jaman ini.
ANOMI LISAN
Kekuatan artikulatif sekaligus kelemahan memproduksi suara, terletak pada fungsionalisasi mulut, semirip pangkal lidah Niwatakawaca, dalam kisah lakon pewayangan Arjuna Wiwaha. Metafor Ajian Geni Niwatakawaca seakan mengaktualisasikan perilaku budaya politik Indonesia masa kini.Â
Situasi ketika seseorang gagal menyesuaiakan diri dengan perubahan sosial dan tidak mampu beradaptasi terhadap dinamika regulasi (Anomi), kemudian menyuarakan kekecewaannya tanpa melihat fakta sebenarnya atau sesalahnya. Media mainstream dan atau medsos menjadi sarana efektif mengumbar berbagai gagasan ataupun sekadar ujaran kebencian yang tak berdasar (Hoaxs).
ZAMAN NIWATAKAWACA merepresentasikan metafor karakter antara kekuasaan dan suara (lisan) menjadi alat destruktif yang konstruktif  (Self Powerfull). Kekuatan liyan dijadikan wilayah berbantah yang bisa saja dipantik oleh sebab tak jelas, antara faktual atau fiksional.Â
Sebagaimana dipertontonkan para elit politikus atau siapapun yang memiliki otoritas untuk menyuarakan hasrat kesukaan atau ketidak senangan terhadap rivalnya. Sebuah model koorientasi kearifan pendidikan komunikasi politik yang sumir. Seolah di dalam koridor politik, berlaku permisivisme, sebuah sikap pandangan yang mengizinkan segalanya untuk diujarkan.
Perilaku budaya menjelekan, pembunuhan karakter, menjatuhkan nama baik, membeberkan kekurangan, menuduh dan berprasangka buruk, menjadi kelaziman seakan wajar alami.Â
Akibatnya, tradisi berdebat menuruti argumentasi subyektif pun membudaya dimasyarakat. Keterbiasaan berselisih lidah dan berujung  tindakan anarkis fisikel pun kerap terjadi pada himpunan manusia.Â
Lalu melupakan domain akar sebab musababnya secara proporsional, rasional dan objektif. Bahwa di balik tontonan atau yang dipertontonkan, selalu tersedia tuntunan yang menggandeng tatanan. Begitulah sejatinya dampak (impact) dari esensi literasi media.
REFLEKSI SPASIAL
Era distruptif berkecenderungan mencampur aduk dan menegasikan antara realitas obyektif dengan realitas subyektif. Zaman carut marut itu dicirikan proses sosial dalam masyarakat yang cenderung menumpang tindihkan antara pelbagai perbedaan kepentingan dalam satu sudut pandang dan ranah.Â
Naluri membenturkan masalah pun tak mungkin dielakan. Saling mencerca, memaki, melihat sisi kelemahan dan saling telikung, sebagai sebuah komodifikasi menjatuhkan kawan atau lawan. Â
Era yang menurut Anthony Giddens, diakibatkan akselerasi modernitas yang memunculkan sikap reflektif atau over reaksioner terhadap suatu kondisi tertentu (reflextive modernity). Sentimentalitas kemudian menjadi arus keutamaan untuk memupuk kecemburuan sosial yang tak terbantahkan.
Lidah adalah otoritas privat yang dimiliki setiap individu yang kerap digunakan untuk melampiaskan nafsu berkuasa atas orang lain. Perwujudan sikap egosentrisme agar tampak "paling" menjadi yang "ter", berbeda dengan yang lain. Semirip Zaman Niwatakawaca sedang mengumbar Aji Geni pada lisan suaranya.Â
Melawan Zaman Niwatakawaca itu barangkali penting, dengan cara menghadirkan kembali sifat Arjuna Mintaraga, sebagai cermin manesfestasi kesimbangan, harmoni dan kematangan pekerti.
TAPABRATA hari ini, pastinya berbeda dengan laku Arjuna Mintaraga yang menghayati keheningan jalan sunyi. Memenangkan ujian suci: wanita, tahta dan harta.Â
Melainkan, berkemauan melakukan refleksi kritis dengan bertapabrata mengikuti proses relasi lingkungan komunal yang asismetris (Spasial Refleksif). Kesadaran mengelola lisan yang submisif (submissiveness), sebagai manesfestasi memaknai semangat Jihad terhadap diri sendiri.
Kritis dan kritik bukan saja kepada orang lain, melainkan melihat kedalam diri sendiri lebih diutamakan. Kemauan disertai semangat untuk menjaga diri sendiri agar terbebas dari cengkraman sifat Niwatakawaca.Â
Di era serba digital ini, pengaruh titisan sifat Zaman Niwatakawaca sudah mengejawantah dalam berbagai rupa dan godaan. Pilihannya tergantung masing-masing, bagaimana menyikapi godaan Zaman Niwatakawaca. Zaman yang menjanjikan hampir semuanya sangat mungkin tak terbatas. Menerima atau menolak godaan yang ada, dikembalikan pada keputusan diri sendiri. Selebihnya terserah saudara?! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H