ZAMAN NIWATAKAWACA merepresentasikan metafor karakter antara kekuasaan dan suara (lisan) menjadi alat destruktif yang konstruktif  (Self Powerfull). Kekuatan liyan dijadikan wilayah berbantah yang bisa saja dipantik oleh sebab tak jelas, antara faktual atau fiksional.Â
Sebagaimana dipertontonkan para elit politikus atau siapapun yang memiliki otoritas untuk menyuarakan hasrat kesukaan atau ketidak senangan terhadap rivalnya. Sebuah model koorientasi kearifan pendidikan komunikasi politik yang sumir. Seolah di dalam koridor politik, berlaku permisivisme, sebuah sikap pandangan yang mengizinkan segalanya untuk diujarkan.
Perilaku budaya menjelekan, pembunuhan karakter, menjatuhkan nama baik, membeberkan kekurangan, menuduh dan berprasangka buruk, menjadi kelaziman seakan wajar alami.Â
Akibatnya, tradisi berdebat menuruti argumentasi subyektif pun membudaya dimasyarakat. Keterbiasaan berselisih lidah dan berujung  tindakan anarkis fisikel pun kerap terjadi pada himpunan manusia.Â
Lalu melupakan domain akar sebab musababnya secara proporsional, rasional dan objektif. Bahwa di balik tontonan atau yang dipertontonkan, selalu tersedia tuntunan yang menggandeng tatanan. Begitulah sejatinya dampak (impact) dari esensi literasi media.
REFLEKSI SPASIAL
Era distruptif berkecenderungan mencampur aduk dan menegasikan antara realitas obyektif dengan realitas subyektif. Zaman carut marut itu dicirikan proses sosial dalam masyarakat yang cenderung menumpang tindihkan antara pelbagai perbedaan kepentingan dalam satu sudut pandang dan ranah.Â
Naluri membenturkan masalah pun tak mungkin dielakan. Saling mencerca, memaki, melihat sisi kelemahan dan saling telikung, sebagai sebuah komodifikasi menjatuhkan kawan atau lawan. Â
Era yang menurut Anthony Giddens, diakibatkan akselerasi modernitas yang memunculkan sikap reflektif atau over reaksioner terhadap suatu kondisi tertentu (reflextive modernity). Sentimentalitas kemudian menjadi arus keutamaan untuk memupuk kecemburuan sosial yang tak terbantahkan.
Lidah adalah otoritas privat yang dimiliki setiap individu yang kerap digunakan untuk melampiaskan nafsu berkuasa atas orang lain. Perwujudan sikap egosentrisme agar tampak "paling" menjadi yang "ter", berbeda dengan yang lain. Semirip Zaman Niwatakawaca sedang mengumbar Aji Geni pada lisan suaranya.Â
Melawan Zaman Niwatakawaca itu barangkali penting, dengan cara menghadirkan kembali sifat Arjuna Mintaraga, sebagai cermin manesfestasi kesimbangan, harmoni dan kematangan pekerti.
TAPABRATA hari ini, pastinya berbeda dengan laku Arjuna Mintaraga yang menghayati keheningan jalan sunyi. Memenangkan ujian suci: wanita, tahta dan harta.Â