Adagium menyebut, "Read between the lines", bacalah diantara baris mencari makna sesungguhnya di balik kalimat. Dimaknai sebagai sebuah teks, pastilah memiliki sub teks, makna dibalik makna yang tersurat ada tersirat. Dalam konteks inilah, narasi komunikasi politik dibangun secara semantik yang terhubung dengan hidden agenda politik. Semakin lebar wacana narasi dibangun atas kehendak politik yang bisa jadi 'menghalalkan' segala cara. Namun sebagian besarnya dilakukan sebagai sebuah simbol yang menunjukan luasan distorsi bias (bias konfirmasi) dari gagasan yang tengah diselundupkan secara massif dihadapan khalayak.Â
Antagonis adalah 'ruh' yang menghidupkan sandiwara Politainment. Sebab konflik-lah subtansi dramaturgi sandiwara dan atau lakon teater sesungguhnya. Tanpa kehadiran "konflik", maka tontonan bakal gagal memikat penonton. Hanya Antagonis yang dapat memicu konflik melawan situasi mapan. Diandaikan pranata nilai kebenaran sosial yang landai tenang, aman tentram, stabil dan konstan. Tetapi zona nyaman itu harus tetap digoyah, agar memunculkan Curiosity (Keingintahuan), Suspense (Ketegangan), Surprise (Kejutan), Fun or Tiring (Menyenangkan atau Melelahkan) bagi penontonnya.Â
Mendegradasi berbagai kemungkinan yang menyempal arus, adalah skema gerakan aksi Antagonis untuk melawan status quo. Sekalipun mengabaikan spektrum obyektif dalam memproduksi kejahatan simbolik yang subyektif. Bagaimanapun peran penyakat ini dibutuhkan disetiap momentum, pun dalam perhalatan politik konstitusional pilpres-pileg serentak nantinya.Â
Semacam sandiwara yang menggambarkan pemberontakan atas kemapanan kemanusiaan terhadap situasi ambang sosial itu. Problematiknya segera akan muncul ketika Antagonis mereplikasi model sikap atau kecenderungan Antagonisme untuk mereproduksi populisme. Hasrat yang tak terkendali sebagaimana polarisasi nafsu dan radikalisasi ambisi. Kesemuanya tampak terpapar nyata dalam konteks politik Indonesia masa kini, jelang pemilihan serentak 2024.
Peran aktor Antagonis, memegang kendali atas berlangsungnya sebuah sandiwara Politainment Elektoral. Meski tidak serta merta berwujud sifat ataupun karakter tokoh yang menunjukan fungsi institusi dan faktor genetiknya. Fungsi peran Antagonis di awal akan bersublimasi pada variabel lainnya, sebagai sebuah jalinan intrinsik dan meng-internalisasi-kan modal sosial. Semisal memanfaatkan keterbatasan situasi kondisi masyarakat yang bersifat mendasar eksistensial, yaitu kehausan ekonomi, status sosial, ketakutan akan kematian dan kehendak mendapatkan sorga akerat. Sebagai sebuah tontonan, di balik sandiwara ada tuntunan dan tatanan yang akan menjadi panutan, meski tokoh Antagonis tidak termasuk didalamnya. Namun Antagonisme memiliki daya tekan untuk mengkoyak kesatuan posisi, komposisi, proporsi dan situasi harmonis itu.
Sialnya juga kini, sikap Antagonisme sedang diolah dan dikelola secara masif, sistemastis dan tersetruktur. Apakah dalam bentuk hoaxs, perang hastag, wacana dan narasi politik. Menyuburkan sentimen emosional dan menepiskan subtansi obyektifitas. Selain SARA dan politik identitas misalnya, distingsi klas sosial, jarak kemiskinan, penjajahan tenaga kerja asing, politik uang, politik transaksional dan mahar politik, tengah digeruskan dan disuapkan diranah publik. Ruang refleksi silahturahmi kekerabatan masyarakat, disumbat kepentingan partikular yang bersifat primodialistik, dengan cara mendiskriminasi fakta rasional, keragaman dan kearifan lokal.Â
Merubah mindset masyarakat lewat perspektif diameteral, serta mengabaikan utilitas, adalah langkah strategis untuk melawan dan merebut kekuasaan, bagi Antagonisme. Maka manusia penting berhati-hati terhadap nafsu yang muncul dalam dirinya, sebagaimana  tokoh antagonis yang psikomatik karena ambisi kekuasaannya. Begitulah setidaknya kesan reflektif memahami banyaknya trending topic yang hari-hari ini menghiasi media; televisi, portal berita online beserta virtual lain. Masing-masing media punya spesifikasi tersendiri dalam meramu dramatika. Sebuah selebrasi kebebasan informasi atas nama demokratisasi komunikasi yang pastinya akan bertambah kencang, seru dan panas dikemudian hari. Dari sanalah muara kuasa hiburan itu bermula mendominasi praktek bermedia yang seharusnya lebih mendahulukan kepentingan publik.Â
Bahwa informasi sehat, komunikasi bermartabat, dan konten pesan yang bermanfaat, selayaknya di kedepankan. Betapapun dalih bahwa segalanya sudah disesuaikan dengan dialog, narasi, dan dikemas secara halus dan beradab. Namun kesemuanya hanyalah argumentasi apologis yang seakan tak terbantahkan. Pembelaan multi persepsi tersebut tetap menjadi tercela di ranah etik, ketika harkat etis moral (Utilitiarianisme) yang seharusnya tetap dijunjung tinggi. Kendati bersebrangan dengan lokus kepentingan politik praktis yang terkadang mengabaikan abstraksi kebenaran dan kemanusiaan. Namun bagaimana lagi jika patologi penyakit utama politik yang kerap mengaduk dan mengadu perasaan hati nurani masyarakat penontonnya memang dimaksudkan demikian?! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H