#01
Mengikuti secara imajinatif produksi lima episode SINEDUKSI (Sinema Edukasi) yang lagi dikerjakan anak-cucu eyang Heru Sutopo ini, secara samar mengingatkan pada kredo almarhum:
"Tancapkan Pedang Ke Batu Karang, Sekali Tancap Namamu Terangkat".
Menancapkan pedang ke batu karang, bukanlah soal mudah. Membutuhkan daya upaya, proses, belajar, latihan, usaha yang kuat. Tidak saja tenaga dan pikiran, melainkan juga kesabaran, ketekunan, keikhlasan dan pengorbanan. Begitulah kira-kira makna pesan yang dimaksudkan belionya. Jikalau kemudian ditarik hubungkan secara diametral, akan menyerupai salah satu tafsir interpretasi dari Sembilan Prinsip Jalan Pedang Samurai Musashi:
"Alasan utama engkau berlatih dan belajar, serta bekerja keras menguasai sebuah profesi, adalah agar engkau mampu melahirkan maha karya, produk unggulan yang mampu memenangkan persaingan dan membuatmu bangga".
Dikancah pergaulan seni budaya Jogja, 'nasehat normatif' semacam bukanlah ungkapan baru. Bahkan sudah menjadi sesuatu yang mentradisi sebagaimana budaya lisan pitutur luhur. Pesan semacam lazim dituturkan oleh para sepuh seniman-budayawan. Secara terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi.
"Ojo kesusu golek jenang utowo sego, nanging golekono ndisik jeneng opo nomo" atau dalam ungkapan yang sama "Jangan terburu-buru mencari bubur-nasi-materi, namun carilah dahulu nama-karya-prestasi".
Begitulah legacy yang tidak saja berhenti diucapkan, melainkan juga telah dibuktikan secara nyata, kongkrit. "Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian". Contoh perbuatan yang secara konsisten dihayati sebagai sebuah sikap hidup para seniman-budayawan senior.Â
Mungkin, secara iseng atau sedikit serampangan, dapat pula disepadankan dengan ungkapan "Victory Loves Preparation" --Keberhasilan membutuhkan persiapan matang-- ungkap Jason Statham ketika berperan sebagai Arthur Bishop, tokoh utama film Mechanic: Resurrection, besutan sutradara Dennis Gansel. Tagline quote itu kemudian menjadi kalimat motivasi yang begitu populer dan menginspirasi banyak kalangan.Â
Dikarenakan kemiripannya, kerap pula disandingkan dengan ungkapan kisah:
"Seorang prajurit hebat punya kecakapan yang sama dalam mengayunkan pedang dan menorehkan pena".
Tulis Eiji Yoshikawa pada novelnya Musashi (1935) yang kemudian diadaptasi oleh Hiroshi Inagaki untuk filmnya "Samurai I: Musashi Miyamoto" (1954). Bukan berhenti disitu saja,  belakangan cerita Musashi banyak di-remake menjadi beberapa serial TV Play, TV Movie dan Film Bioskop  berbasis storyline Samurai.
Namun, harap dimafumi, perubahan jaman adalah keniscayaan. Apakah kemudian transformasi makna nilai pesan semacam masih dapat diterima? Entahlah. Pastinya industrialisasi teknologi  bisa jadi menjungkalkan nilai-nilai lama. Akselerasi komunikasi informasi seakan mengharuskan semuanya serba cepat, praktis, pragmatis, mekanis, dan serba instan.Â
Terkadang berkencederungan oportunis dan kompromistis. Semirip latar cerita Samurai Miyamoto Musashi, ketika akan menempuh dan menghayati Jalan Pedang-nya. Peradaban manusia selalu berada dalam gerusan arus ambiguitas juga paradoksal.Â
Realitas semacam itulah yang kemudian dituangkan dalam dialog antara Miyamoto Musashi dengan Otsu di jembatan Hanada atau Haneda diwilayah Edo (kota yang kemudian berubah nama menjadi Tokyo). Diera transisi Restorasi Meiji, menjelang kekuasaan Shogun Tokugawa diruntuhkan, pembaharuan menjadi gerakan keharusan.
"Lupakan masa lalu. Kau orang baru yang seakan baru lahir. Lepaskan masa lalumu. Kita manusia baru."
Modernitas yang pada awalnya membawa berbagai konflik sosiokultural, meskipun dikemudian hari mampu diselaraskan dan diharmonisasikan.
Hiroshi Inagaki pun berusaha keras menghadirkan latar setting jembatan untuk scene ending filmnya "Samurai I: Musashi Miyamoto". Mungkin, jembatan dimaksudkan mewakili simbol gagasannya tentang perubahan itu sendiri. Jembatan merupakan sarana menyambungkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari suatu masa ke masa yang berbeda.Â
Setidaknya begitulah kesan para film maker muda ini. Ketika mereka tengah menyebrangi jembatan harapan, sembari mengkunyah-kunyah hasrat. Terkadang dijumpakan dalam percakapan malam dan menemukan tematik topik tentang para jawara Jidaigeki Chanbara: Ozu, Kurosawa, Mizoguchi, Kobayashi, atau Kenshin Himura.Â
Sebuah moda garis imajiner yang teramat sangat terbuka, inklusif, bagi siapa saja yang ingin mendulang ulang puncak tertinggi Jalan Pedang Samurai Musashi:
"Kekuatan utama bagi seorang samurai bukanlah pada senjata pedang, melainkan kemauan, semangat, spirit, atau taksu". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H