Terkadang berkencederungan oportunis dan kompromistis. Semirip latar cerita Samurai Miyamoto Musashi, ketika akan menempuh dan menghayati Jalan Pedang-nya. Peradaban manusia selalu berada dalam gerusan arus ambiguitas juga paradoksal.Â
Realitas semacam itulah yang kemudian dituangkan dalam dialog antara Miyamoto Musashi dengan Otsu di jembatan Hanada atau Haneda diwilayah Edo (kota yang kemudian berubah nama menjadi Tokyo). Diera transisi Restorasi Meiji, menjelang kekuasaan Shogun Tokugawa diruntuhkan, pembaharuan menjadi gerakan keharusan.
"Lupakan masa lalu. Kau orang baru yang seakan baru lahir. Lepaskan masa lalumu. Kita manusia baru."
Modernitas yang pada awalnya membawa berbagai konflik sosiokultural, meskipun dikemudian hari mampu diselaraskan dan diharmonisasikan.
Hiroshi Inagaki pun berusaha keras menghadirkan latar setting jembatan untuk scene ending filmnya "Samurai I: Musashi Miyamoto". Mungkin, jembatan dimaksudkan mewakili simbol gagasannya tentang perubahan itu sendiri. Jembatan merupakan sarana menyambungkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari suatu masa ke masa yang berbeda.Â
Setidaknya begitulah kesan para film maker muda ini. Ketika mereka tengah menyebrangi jembatan harapan, sembari mengkunyah-kunyah hasrat. Terkadang dijumpakan dalam percakapan malam dan menemukan tematik topik tentang para jawara Jidaigeki Chanbara: Ozu, Kurosawa, Mizoguchi, Kobayashi, atau Kenshin Himura.Â
Sebuah moda garis imajiner yang teramat sangat terbuka, inklusif, bagi siapa saja yang ingin mendulang ulang puncak tertinggi Jalan Pedang Samurai Musashi:
"Kekuatan utama bagi seorang samurai bukanlah pada senjata pedang, melainkan kemauan, semangat, spirit, atau taksu". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H