Serat Tripama adalah sebuah karya sastra Jawa di jaman Mangkunagara IV yang sekaligus sebagai pengarangnya. Di kalangan masyarakat Jawa, serat Tripama tidak akan didengar sebagai karya sastra yang asing, karena dalam serat ini mengandung ajaran-ajaran atau petuah-petuah yang dapat dijadikan pedoman sebagai seorang pemimpin. Sama halnya dengan karya-karya pujangga yang lain di bidang sastra Jawa, misalnya Serat Hasthabrata, kedua karya sastra ini mengandung tujuan yang sama yaitu memberikan contoh keteladanan sebagai seorang pemimpin yang baik. Serat Tripama menempatkan tiga tokoh wayang purwa sebagai contoh figur pemimpin yang baik yang dapat dijadikan contoh ataupun keteladanan bagi semua pemimpin di sepanjang masa. Ketiga contoh tokoh wayang tersebut diambil dari kisah Ramayana maupun kisah Mahabarata.
Pembelajaran Serat Tripama di jenjang SMA
Karya sastra Jawa sebenarnya sudah mulai diperkenalkan sejak dini, mulai dari jenjang Sekolah Dasar. Pada waktu SD, anak-anak sudah mengenal Mahabarata, Ramayana, Sotasoma dan sebagainya. Siswa SD juga sering diperkenalkan dengan cerita-cerita fabel yang sebenarnya cerita hewan-hewan ini terhimpun dalam salah satu karya sastra yang terkenal dengan nama Tantri Kamandaka.
Cerita-cerita tokoh legendaris Jawa diperkenalkan di jenjang SMP seperti Panji Asmoro, Sekartaji, Ragil Kuning, Galuh Candra Kirana, Keong Mas, dan sebagainya. Para siswa mengenal tokoh-tokoh Jawa yang terkenal dan melegenda ini akan dapat memupuk rasa cinta tanah air, cinta nusa dan bangsa, melestarikan budaya maupun kerifan lokal yang tumbuh seiring lajunya jaman.
Serat Tripama yang menggambarkan tiga tokoh wayang yang heroik dijaman Ramayana maupun Mahabarata diperkenalkan pada generasi muda jenjang SMA tingkat/kelas 3 (XII). Para siswa akan termotivasi untuk berlaku santun, bijaksana, mengetahui hal yang baik dan buruk yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Satu hal yang tak dapat dipisahkan dari kisah tersebut adalah contoh keteladanan. Jika tidak ditanamkan, dipupuk, nilai-nilai keteladanan, sopan santun, mawas diri dan sejenisnya lambat laun akan dikesampingkan seiring kemajuan jaman. Hal ini kadang dapat kita jumpai dalam lingkungan sehari-hari misalkan : anak muda berjalan melewati orang tua yang sedang duduk, jalannya tidak bungkuk, makan sambil bicara, bersiul di ruangan tertutup, dan sebagainya.
Siapakah tokoh Tripama itu ?
Tripama terdiri dari gabungan dua kata yaitu tri dan pama, tri artinya tiga dan pama artinya teladan. Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Tiga Suri Tauladan mengartikan Tripama artinya tiga suri tauladan. Tiga tokoh pewayangan yang dapat dijadikan contoh atau tauladan.
Siapakah ketiga tokoh pewayangan tersebut? Adalah Bambang Sumantri, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna. Bambang Sumantri adalah tokoh wayang kulit purwa dari cerita Ramayana. Raden Kumbakarna adalah tokoh wayang kulit purwa dari cerita Ramayana, sedangkan adipati Karna adalah tokoh wayang kulit purwa dari cerita Mahabarata.
Asal usul atau silsilah/genelogi dari ketiga tokoh tripama tersebut tidak akan diperinci disini, atau mungkin di kesempatan yang lain akan disajikan dalam artikel yang lain. Disini hanya menerangkan bahwa boneka wayang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang menarik daripada hanya dengan metode ceramah dan mendengarkan.Pemuda jaman sekarang sudah banyak yang melupakan atau bahkan tidak tau tentang budaya Jawa. Banyak sekali budaya Jawa yang ada sebagai kasanah budaya dan kearifan lokal, namun semua itu jika tidak terpelihara akan terkikis dan lama-lama punah atau hilang. Maka dari itu, generasi muda kita pahamkan, kita beri pengertian bahwa meskipun benda kuna, benda itu tradisi atau konvensional, jika dikemas menarik, benda tersebut akan tetap memiliki daya tarik dan nilai estetis yang tinggi.
Sejauh mana pemahaman Generasi Muda tentang Wayang ?
      Di era milenial yang serba digital dan berbasis IT ini, generasi muda tidak lepas dari dua buah benda yang sering disanding yakni laptop dan gawai. Fitur-fitur maupun berbagai aplikasi yang disediakan sangat lengkap dan beragam serta menarik. Teknologi informasi yang serba maju ini sangat disukai generasi muda terbukti mereka hampir setiap saat selalu memegang gawainya. Mereka banyak yang melupakan budaya tradisi warisan leluhurnya. Meskipun masih ada beberapa yang tau, ingat, paham ataupun menyukai, apabila diprosentasikan akan lebih banyak yang tidak mengetahui atau melupakan.
      Generasi muda lebih suka video maupun audio yang bercorak kekinian begitu juga dalam hal budaya wayang. Banyak yang suka film atau video wayang animasi (contoh yutube : Ari Poncowolo dan Agung Kayon), wayang kampung sebelah dan sebagainya. Banyak yang tidak hafal wujud dan karakteristik maupun kisah singkat tentang tokoh-tokoh pewayangan tersebut. Jangankan kisah singkat, menyebutkan nama dari gambar yang disajikan saja kadang keliru.
Menumbuh-kembangkan kembali minat Siswa pada Dunia Wayang
Berpijak pada paradigma generasi muda di atas, penulis berupaya untuk menyadarkan dan mengingatkan kepada mereka untuk dapat memahami terlebih dahulu tentang keteladanan tiga tokoh wayang kulit. Â Setelah memahami, diharapkan nanti mampu mengambil contoh nilai-nilai keteladanan dari cerita tersebut.
Para siswa menceritakan salah satu dari ketiga tokoh Tripama di depan kelas sambil memegang wayangnya. Satu persatu menceritakan kisah dari salah satu tokoh tersebut memakai ragam bahasa krama maupun ngoko dengan rangkaian bahasa yang disusun dan dikembangkan sendiri menurut kemampuan masing-masing individu. Kegiatan Belajar Mengajar ini menggunakan media wayang kulit purwa dengan tokoh Bambang Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna. Penggunaan media ini diharap para siswa lebih tertarik dan antusias untuk menceritakan, karena mereka tidak hanya melihat gambar, video rekaman ataupun tiruan wayang saja, tetapi betul-betul memegang wayang kulit asli sesuai dengan tokoh yang dimaksud.
Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai penilaian praktik bercerita dengan ragam bahasa Jawa sebagai tindak lanjut penilaian praktik pada sebuah materi yang telah dipelajarinya.
Kendala Siswa dalam penguasaan kosa kata
      Siswa-siswi yang bercerita dengan tingkat kemampuannya masing-masing tersebut kadang kala mengalami kendala dalam pengucapan kosa katanya. Hal ini maklum dan dapat kita mengerti karena di jaman sekarang sudah jarang anak muda yang mendengar atau mengetahui bahasa bahasa Jawa tersebut terlebih banyak yang menggunakan bahasa sastra misalnya bahasa rinengga, bahasa kawi, maupun bahasa kiasan yang lain.
      Kosa kata yang sering salah ucapan tersebut diantaranya : baratayuda menjadi batharayuda, Sukasrana menjadi sukarsana, Ngalengka yang pakai le adalah la dipepet diucapkan memakai taling dan masih banyak lagi
Generasi Muda sebagai Estafet Pelestari Budaya
      Semua ini penulis lakukan agar seni budaya tradisi yang adi luhung tetap lestari, tetap utuh, tetap eksis tidak tergerus lajunya jaman. Tidak kehilangan warisan budaya leluhur, padahal di sisi negara lain telah hiruk pikuk mempelajarinya. Siapa yang akan meneruskan warisan leluhur kita kalau bukan generasi muda.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H