Singkat cerita dengan sukses kampanye iklannya 'Pepsi Challenge' tersebut membuat market share Coca Cola turun terus, dan menggoyangkan keyakinan mereka. Pada akhirnya, berdasarkan hasil kerja departemen research  and development yang mereka lakukan, perusahaan Coca Cola ini sempat menerbitkan produk Cola dengan citra rasa baru yang lebih enak (lebih manis) dibandingkan Pepsi Cola, dan menjanjikan lebih sehat, dengan merek barunya New Coke, bahkan belakangan juga meluncurkan Diet Coke, namun respon pasar ternyata berbeda dan tidak sukses hasil penjualannya (1985). Para pelanggan loyal Coca Cola ini protes keras, karena menurut mereka itu bukan Coca Cola aslinya. Sehingga akhirnya Coke mengeluarkan kembali versi originalnya dengan tambahan atribut sebagai Coca Cola 'Classic'.
Dari penelitian ini dapat dipetik pelajaran; khusus merek kuat yang telah hadir di benak kepala konsumen untuk produk kuliner, konteksnya dalam kasus ini adalah produk minuman, menjadi tidak penting lagi citra rasa, yang tentunya berhubungan langsung dengan kualitas produk (product-related associations). Karena itu sangat krusial membangun merek melalui pilihan-pilihan saluran media untuk mencapai target konsumen yang diinginkan. Melalui kajian-kajian neurosains, menyatakan proses pengambilan keputusan di otak ternyata 95% didominasi oleh keputusan-keputusan tak sadar, yang proses listrik otaknya lebih banyak di bagian sistem limbik (sub cortical cortex) menjadikan semacam 'short circuits of automatic thinking'.
Karenanya dikenal juga dengan otak emosional, otak limbik, middle brain atau mamalian brain. Konsumen Coca Cola yang sudah terlanjur loyal, di dalam memorinya telah membekas brand ini sebagai merek yang menyenangkan dan membahagiakan. Hubungan emosional merek ini telah kuat (strong neural pathways). Kemarahan para pelanggan ini memicu respon pasar yang terus drop dan kehilangan pangsa pasar.
Hari ini, walau tetap diperhitungkan pilihan media konvensional, media digital mungkin menjadi salah satu media yang paling efektif, khususnya bagi para kaum milenial yang lebih akrab menggunakannya (social media engagement and intimacy).Â
Mereka tidak lagi harus mencari dan mendatangkan media-media konvesional layaknya pemasaran tradisionil seperti di masa lampau. Karena melalui media digital ini, media receiver sekaligus berfungsi sebagai media transceiver yang paling mendominasi seperti mobile gadget (smartphone dan lain-lain) justru dipegang terus oleh konsumen, selalu berada dalam genggaman mereka, atau mengantonginya ke mana-mana.
Perilaku konsumen dan lingkungan bisnis terus menerus berubah dan semakin cepat dirasakan perubahannya. Sama halnya dalam pemasaran bisnis kuliner, untuk membuka suatu restoran, lokasi bukan lagi menjadi faktor yang paling utama. Dengan perilaku konsumen sekarang ini yang gemar sekali mengabadikan rekaman gambar foto-foto makanan, minuman, interior, dan atribut lainnya yang 'instagrammable', serta tentunya penampilan dirinya agar selalu 'eksis' membagikan ke teman-temannya melalui media sosial yang mereka miliki, berikut lokasi dan nama restoran tersebut, dengan sendirinya mereka - teman-temannya sebagai calon konsumen lainnya akan mencari tahu, hunting mendatangi untuk segera mencobanya.
Mengacu buku Strategic Brand Management yang dituliskan oleh Professor Kevin Lane Keller, dijelaskan bagaimana pentingnya membangun brand secara strategik. Melibatkan resources yang besar, berjangka panjang, dan memilih strategi pilihan yang paling sesuai dengan kondisi internal dan eksternal perusahaan.Â
Tugas manajemen dibagi menjadi 3 langkah besar, yaitu; a) membangun merek yang kuat, b) senantiasa melakukan pengukuran merek secara berkala, dan c) mengelola merek secara efisien dan efektif sesuai dengan visi misi perusahaan. Pengetahuan merek konsumen menjadi penting. Ekuitas merek diukur dari apa yang ada di benak pikiran dan dirasakan di memori kepala konsumen, bukan berdasarkan maunya rumusan brand owner atau marketer (customer based brand equity). Pengetahuan merek konsumen terdiri dari 2 bagian besar; 1) kesadaran merek yang berdasarkan recognition dan recall, dan 2) citra merek yang didasarkan asosiasi-asosiasi merek yang tersimpan di kepala pelanggan, baik yang berhubungan secara langsung dengan produk maupun yang tidak (product-related dan non-product related associations).
Studi menguji efek isyarat merek atau brand cue ke pemrosesan gustatory minuman yang sama ini menjadi penting dilakukan dan sangat bermanfaat bagi para marketer, khususnya di industri kuliner dan gastronomi. Di penelitian tersebut, ditemukan preferensi yang jelas untuk minuman yang sama (jenis cola) ketika diyakini Coca Cola dan Pepsi Cola sebagai strong brands dibandingkan dengan River Cola dan T-Cola sebagai weak brands dalam penilaian kesenangan yang dilaporkan sendiri. Dalam data fMRI, ditemukan sinyal yang lebih kuat di mOFC dikaitkan dengan kesenangan yang lemah dibandingkan dengan isyarat merek yang kuat. Sehingga berpotensi menunjukkan ketergantungan yang lebih kuat pada pemrosesan nilai stimulus ketika isyarat merek kurang informatif.Â
Aktivitas di amigdala kanan ditemukan untuk isyarat Coca Cola dibandingkan Pepsi Cola. Rasa minuman ringan (softdrinks) yang sama menimbulkan aktivasi yang lebih kuat di striatum ventral kiri ketika sebelumnya diberitahukan merek kuat atau merek lemah. Beperngaruh pada responden yang sangat jarang minum jenis Cola ini dan ketergantungan pada isyarat merek. Secara keseluruhan, hasilnya saat itu menunjukkan efek kuat dari isyarat merek pada kesenangan yang dilaporkan sendiri serta pada respons neurons yang menandakan penghargaan di otak.
Sebagai penutup, strategi pembangunan merek menjadi sangat penting. Walaupun advertising bukan segalanya (b to c strategy), banyak perusahaan yang juga berhasil karena misal strategi aliansi atau kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak merchant khusunya di food and beverage atau dengan strategi distribusinya yang telah kuat membangun jaringan distribusi retailnya ke outlet-outlet (b to b strategy).Â