Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Selasa, 11 Mei 2022. Merek atau brand merupakan sebuah nama, istilah, desain, simbol, atau fitur lain apa pun yang mengidentifikasikan suatu barang atau jasa penjual sebagai pembeda dari yang lain. Merek merupakan semua asosiasi mental yang dimiliki orang di sekitarnya. Merek memengaruhi persepsi dan mengubah pengalaman menggunakan produk.Â
Dalam percobaan double-blind, peserta menganggap pembunuh rasa sakit analgesik bermerek lebih efektif daripada yang tidak. Merek sangat memengaruhi keputusan ekonomi masyarakat. Penelitian neurosaintifik menunjukkan nilai subjektif dalam pengambilan keputusan diwakili oleh otak mPFC (medial prefrontal cortex) kita, terutama; vmPFC (ventro medial prefrontal cortex) dan mOFC (medial orbito frontal cortex).Â
Begitu pula dalam memiilih makanan atau minuman yang akan kita beli. Budaya kuliner dikendalikan oleh otak kita dalam mengkonsumsi yang ternyata sangat dipengaruhi oleh kehadiran merek di dalam kepala konsumen.
Suatu penelitian dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, yang dilakukan oleh Simone Kuhn dan Jurgen Gallinat mengeksplorasi bagaimana merek diproses di otak (April 2013). Memperlihatkan bagaimana aktivasi di area otak yang mewakili reward. Perubahan dari proses antisipatif serta gustatory di daerah otak yang telah dikaitkan dengan nilai subjektif seperti mOFC dan ventral striatum. Partisipan responden dituntun untuk percaya bahwa merek yang mengumumkan pemberian campuran Cola memberikan informasi yang benar tentang minuman yang akan datang.
Mereka menemukan sinyal fMRI yang lebih kuat di mOFC kanan selama lemah dibandingkan dengan isyarat merek yang kuat dalam kontras modulasi parametrik dengan kesukaan subjektif. Ketika secara langsung membandingkan 2 strong brand cues, lebih banyak aktivasi di amygdala kanan ditemukan untuk isyarat Coca Cola dibandingkan dengan isyarat Pepsi Cola. Selama fase rasa minuman yang sama menimbulkan aktivasi yang lebih kuat di striatum ventral kiri ketika sebelumnya diumumkan oleh merek yang kuat (Coca Cola dan Pepsi Cola) dibandingkan dengan merek yang lemah (River Cola dan T-Cola, yang diperkenalkan sebagai minuman uji yang dicampur oleh laboratorium ilmu makanan). Efek ini lebih kuat pada peserta yang jarang minum Cola dan karena itu mungkin menunjukkan ketergantungan yang lebih kuat pada isyarat merek pada konsumen yang kurang berpengalaman. Hasil saat itu mengungkapkan efek kuat dari label merek pada respons neurons yang menandakan reward.
Terlepas kita lebih menyukai Pepsi atau Coke (Coca Cola), telah menjadi debat klasik mana yang lebih enak rasanya dan sangatlah subyektif. Setidaknya produk Coke terdaftar sebagai salah satu merek yang paling berharga di dunia, dan telah di puncak 'Perang Cola' sejak itu dimulai pada tahun 1886. Rata-rata posisi Coca-Cola selalu lebih unggul dibanding Pepsi. Namun melalui blind sip test, membuktikan sementara Pepsi ternyata selalu lebih disukai. Dari data beberapa penelitian menunjukkan rata-rata 57% responden lebih menyukai Pepsi ketimbang Coca-Cola.Â
Pada tahun 1975 Pepsi sukses besar dalam melakukan kampanye pemasarannya yang dikenal dengan sebutan 'Pepsi Challenges', atau di kalangan marketer dan ilmuwan juga sering dikenal dengan sebutan 'Pepsi Paradox'. Melalui blind test tadi, Pepsi menantang konsumen meminum, merasakan, dan memilih mana merek Cola yang disukai. Pepsi selalu unggul.Â
Coke curiga dengan kampanye iklan tersebut, dan memutuskan untuk melakukan riset internal. Inti dari penelitian yang mereka lakukan, seperti dalam bukunya Malcolm Gladwell dijelaskan bahwa Pepsi lebih manis dari Coke (Coca Cola). Pepsi berhasil 'lebih enak' rasanya karena lebih manis dengan hanya menambahkan gula sudah cukup. Merupakan sumber yang sangat baik untuk energi otak kita melepaskan dopamin. Berbeda upaya khusus untuk mengelabui otak kita (melalui iklan) agar berpikir bahwa seseorang merasakan lebih enak daripada Pepsi.