Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Literasi Digital (Digital Worship and Digital Culture): Akankah Ibadah Virtual Menjadi Bagian Budaya Digital Kita?

9 Agustus 2021   13:48 Diperbarui: 10 Agustus 2021   13:39 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Ibadah Virtual", dok. BIS

Kembali ibu Eka Yunita mengomentari, "Memang tetap ada yang tidak bisa virtual. Nanti jangan-jangan suatu saat ada yang menginginkan peristiwa kematiannya juga secara virtual."

Kemudian KDT meneruskan, "Migrasi digital tak dapat terhindari karena sistem menuntut efisiensi. Karena alam memberikan sinyal akan adanya over eksploitasi, maka ekspansi dan mobilisasi akan mengubah suai atau termodulasi menjadi upaya dengan sifat mengendali konsumsi energi dan membangun sirkularitas sehingga utilitas mendekati tanpa batas, yang terjadi karena kita terbatas. Maka mendekati tanpa batas adalah pilihan paling pantas.

Kecerdasan artifisial dengan hibrida yang bisa saja lahir bersama upaya Elon Musk untuk mengintervensi isi otak manusia dengan neuralink-nya. Manusia akan menjelma menjadi makhluk bayangan yang berlindung atau bersembunyi di sosok-sosok virtual yang telah diinstalasi prosesor dengan kemampuan berbasis cognitive artificial intelligence. Imajinasi yang lahir dalam bentuk nyata dari rahim peradaban yang memadukan kecerdasan dan kepentingan serta kebutuhan menjadi sebuah proses prokreasi yang berkesinambungan dan mendelegasikan berbagai fungsi dan kepentingan ke dalam sebuah platform yang relatif dapat dikendalikan."

"Pada akhirnya fungsi penciptaan menjadi selarik proyeksi nilai Ketuhanan yang cahayanya mencerahkan manusia untuk terinspirasi dalam mengonstruksi dunia impian yang diwujudkan dalam algoritma dan pengkodean terstruktur agar dapat menghasilkan sistematika sesuai harapan." KDT meneruskan.

Kemudian Jusuf Sutanto menanggapi, "Dunia terus menerus mengalami masalah di mana tidak ada satu pihak pun yang mempunyai semua resources  atau sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan sendiri kecuali KERJASAMA. Bagaimana bisa disiapkan menyongsong abad 21."

Tanggapan KDT selanjutnya, "Betul Pak Jusuf, pandemi dan upaya untuk mengatasinya banyak mengajarkan kepada kita untuk bersama menjadi bagian dari konstruksi solusi. Ekosistem kerjasama menjadi pilihan bersama untuk menghasilkan obat, vaksin, dan juga berbagai metoda pencegahan.

Bahkan irisan antar disiplin ilmu yang semula dibatasi silo-silo kebanggaan subjektif dan sifat kompetitif yang justru kontra produktif kini dapat terurai dan menghasilkan platform sinergistik untuk menyatukan energi solutif dalam wahana yang ternavigasi menuju tujuan bersama pula. Manusia kembali diingatkan tentang peran kehadiran dan fungsi untuk saling mensubstitusi, mengkomplementasi, dan mengaugmentasi satu sama lain, sehingga dapat menghasilkan sebuah kejernihan baru yang dapat memproyeksikan kesadaran hakiki ke tingkat fungsional secara global."

Ir. Purwiyono Sukrido Pringgohardjoso menambahkan, "Setuju pak Tauhid Nur Azhar. Saya juga memperhatikan; bahwa mulai banyak ilmuwan yang menseriusi prospek 'post-human' dan 'trans-human', karena evolusi manusia kedepan sudah tidak lagi memperbesar ukuran kepala dan volume otak manusia yang sekitar 1200 cc, juga jumlah sel neuronnya sekitar 90 milyaran.

Jadi sudah waktunya berintegrasi dengan platform digital untuk menambah wawasan berpikirnya, termasuk untuk bersosialisasi skala makro dengan sesama 7,8 milyar manusia, practically real time, at anytime. Kelihatannya, kalau kepala manusia terlalu besar, para ibu akan sulit melahirkan, dan konsumsi energi otak akan terlalu besar bagi sistem metabolisme untuk men-support-nya, too expensive tissue, in energy terms.

Nah, akibatnya survival individu di masa post human akan banyak bergantung pada literasi dan kompetensi digital minimum,  dan kemajuan negara bergantung pada stabilitas low-cost bandwidth yang merata di seluruh pelosok. Timbul juga efek negatif surveillance oleh negara, menurunnya privacy. Karena di masa peradaban IOT (internet of things dari mobil hingga lemari es), manusia tidak dapat lagi 'bersembunyi', selalu terlacak, selalu terdengar ucapannya dan selalu terekam perbuatannya.

Sisi baiknya accountability  jadi universal, persaingan lebih fair dan kolaborasi berimbang dengan kompetisi, personal, state dan leaders greed  berkurang banyak, peperangan menjadi fenomena masa lalu. Pandemi COVID-19 ini ternyata sudah mendesak kita untuk lebih lekat dengan 'universal digital platform'. Dengan pengorbanan massal yang begitu besarnya."

KDT menutup pembicaraan, "Betul pak Pur, universal digital platform yang menguak kesejatian jatidiri manusia." (BIS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun