Indonesia punya pengalaman pahit; pernah dijajah secara fisik selama 3,5 abad. Waktu yang tidak sebentar. Bagaimana saat ini? Seperti banyak negara berkembang lainnya, yang telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak lama, namun sesungguhnya mereka masih dijajah secara ekonomi (penjajahan tahap 2). Salah satu cirinya masih memiliki hutang dan ketergantungan pada negara-negara maju. Alhamdulillah, bangsa kita lagi giat-giatnya mengejar ketertinggalan ekonomi dan membangun infrastruktur di sana-sini. Namun yang perlu diwaspadai; negara-negara maju tadi telah menyiapkan ke tahap berikutnya, yaitu; jangan sampai terjadi ‘penjajahan pikiran’ (selamat datang di Abad Otak!).
Apakah penjajahan pikiran itu? Pada dasarnya mereka yang ingin menguasai data, memiliki informasi dan pengetahuan, yang semuanya berbasiskan teknologi informasi dan media digital. Karenanya literasi baca menjadi sangat penting. Teknologi informasi (IT) dan manajemen sistem informasi (MIS) tidak lagi menjadi barang mewah korporasi. Akan tetapi itu ‘barang’ telah berpindah menjadi barang personal yang selalu dipegang atau dikantongi kemana-mana. Keterampilan digital bukan lagi miliknya para ‘orang-orang IT, MIS atau Engineering Department’, tapi sudah menjadi kemampuan umum yang wajib dimiliki oleh setiap individu untuk meraih sukses dalam berkarir, berbisnis, berkeluarga, berorganisasi, bernegara, dan bermasyarakat.
Gerakan Literasi Digital Nasional 2021
Pemerintah melalui Departemen Kominfo menyadari perihal di atas tersebut. Menaruh perhatian besar terhadap pentingnya gerakan literasi digital ini disegerakan, untuk kita dapat mengakselerasi kemajuan SDM bangsa. Menyadari bahwa hal ini merupakan pekerjaan besar, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah yang bekerja secara maksimal, namun juga kerterlibatan masyarakat diperlukan di sini. Berkolaborasi dengan beberapa pihak, membuat perencanaan strategis, agar gerakan ini tentunya dapat berhasil dan sukses serta berkelanjutan, namun juga diperlukan realisasinya dalam waktu yang cepat.
Kementrian Kominfo dibantu komunitas Japelidi (jaringan penggiat literasi digital), Siberkreasi, Deloit, Katadata, Mafindo (masyarakat anti hoaks), Bahaso dan masih banyak lagi komponen anak bangsa yang mungkin belum disebut di sini. Agar selaras dengan program pemerintah, keterlibatan masyarakat luas diperlukan dengan basisnya 4 pilar yang telah berhasil dirumuskan. Terdiri dari : 1) Digital Skills, 2) Digital Ethics, 3) Digital Culture, dan 4) Digital Safety. Semuanya saling berkaitan, dan sama pentingnya.
Bila kita menotasikan menjadi sumbu x dan y, di mana sumbu x horizontal mewakili sendiri atau bersama-sama (semakin ke kanan), dan sumbu y vertikal merepresentasikan semakin ke atas semakin formil, maka keterampilan digital atau digital skills merupakan pilar utama. Namun bagi bangsa ini agak lebih berat berlari untuk literasi digital, karena basis utamanya adalah literasi baca. Contoh; sering kali mereka terkesan tidak etis dalam bersosial media bukan karena niatnya mereka tidak baik, namun lebih banyak sumber permasalahannya berakar dari karena kurang terampil dalam mempergunakan media digital tersebut. Mereka tak sadar, bahwa dalam berkomunikasi dan berkomentar di ruang digital itu ternyata ditonton warga netizen sedunia. Sebaliknya, sebagian orang justru karena merasa sudah sangat terampil (digital savvy) dalam bermedia digital, sehingga tanpa disadari dan kurang berhati-hati seringkali juga melakukan sesuatu yang tidak etis (digital ethics).
Demikian dengan pilar lainnya, keamanan dan keselamatan bermedia digital (digital safety)Â sering kali juga disebabkan karena tidak terampil. Sehingga tanpa disadari atau tidak sengaja membahayakan diri atau membahayakan orang lain saat berkomentar atau memposting sesuatu yang sebenarnya tidak ada urgensinya. Contoh memberikan data pribadi atau detil biodata kita kepada orang lain, yang sebenarnya tidak ada keperluannya.
Pilar terakhir (digital culture) juga sangat penting diperhatikan, agar meja seimbang berdiri kokoh di atas 4 pilar yang tak pincang tentunya. Tidak terampilnya berdigital, ditambah kurang literasi baca, tanpa filter (ingat saring sebelum ‘sharing’), sehingga bangsa ini yang lama telah dikenal sebagai bangsa yang santun dan ramah tamah, melalui media digital dipersepsikan sebaliknya. Hasil survai yang dilakukan oleh perusahaan Microsoft yang biasa dilakukan di bulan April dan Mei setiap tahunnya, di tahun kelima ini (2021) survai menunjukkan peringkat kita yang turun menerus, bahkan menyandang statusnya sebagai warga netizen yang paling tidak sopan, alias ‘barbar’.
Survai tersebut cukup akurat mengambil dari 16.000 responden di 32 wilayah. Kita tak perlu menyalahkan ataupun menggugat ke Microsoft, justru kita harus berterimakasih karena ada ukuran atau masukan (early warning) untuk kita dapat bertekad memperbaikinya ke depan. Dengan ada temuan ilmiah neurosains, bahwa di dalam konsep neuroplastisitas otak kita sesungguhnya terus menerus berubah sepanjang usia, dan dapat dilatih ke arah kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik (menebalkan neural pathways yang baik), sehingga kita lebih yakin upaya-upaya perbaikan ke depan pun harus dapat dilakukan bersama-sama. Tercatat di Departemen Kominfo selama ini telah ada 4.250 laporan kejahatan siber, dan berdasarkan laporan Kominfo sampai dengan awal Juni 2021 terekam 1.625 hoaks terkait pandemi yang beredar di media digital atau dunia maya ini. Karenanya dikenal juga dengan sebutan ‘infodemik’.
Niatkan Memakai Internet Untuk Hal-Hal Kebaikan