Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Literasi Digital Wajib Dimiliki Setiap Anak Bangsa

6 Agustus 2021   19:18 Diperbarui: 7 Agustus 2021   08:37 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi Digital - BIS

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 6  Agustus 2021. Dunia terus berubah, dan semakin cepat perubahannya terjadi. Lawrence mendefinisikannya sebagai kenormalan baru (new normal, 2013). Lingkungan bisnis yang berubah cepat, terdisrupsi oleh kemajuan teknologi informasi atau dikenal dengan sebutan digital disruption’.

Perubahan yang terus bergejolak (volatility), penuh ketidakpastian (uncertainty), sangat rumit (complex), dan membingungkan (ambiguity). Dikenal dengan sebutan VUCA world, istilah yang pertama kali dipakai dalam teori kepemimpinan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus (1987). Namun dipopularkan oleh Navy Seals tentara Amerika Serikat setelah tahun 1990-2000-an.

Sedangkan Oxford memiliki brand sendiri dengan mengganti sebutannya menjadi TUNA world,  yang menukar kata volatility dengan kata turbulence, dan complexity menjadi novelty. TUNA analysis menurunkan pendekatan strategi-strategi yang berbeda. Belakangan Ian C. Woodward menambahkan 2 huruf D, menjadi D-VUCAD world. Huruf D pertama mewakili kata 'disruption' dan D berikutnya mengartikan kata 'diversity'.

Disrupsi digital menimbulkan dampak diversity semakin kompleks, karena semua orang memiliki akses informasi yang sama, selama memiliki gawai (gadget) dan dapat menangkap sinyal, baik berbayar maupun gratis. Terutama di Indonesia, sementara masyarakat memiliki literasi baca dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Ditambah sistem demokrasi yang mengijinkan semua orang mau berbicara dan berkomentar.

Sebenarnya diversity dalam berpikir dan berperilaku merupakan potensi yang positif bila kita cakap mengelolanya dengan baik. Sebaliknya dapat menjadi suatu ancaman yang destruktif, berujung perpecahan. 'Cognitive diversity' bila dimaknai dengan baik, bisa meraih capaian maksimal melalui cognitive collaboration, atau collaborative team yang solid.

Kita harus bersyukur; faktanya pandemi COVID-19 mempercepat bertransformasi digital. Semua pertemuan-pertemuan dilakukan dengan mudah secara virtual, menggunakan berbagai macam aplikasi, seperti: aplikasi zoom, google meet, microsoft teams, cisco webex  dan masih banyak lagi.

Kenapa Literasi Digital Menjadi Penting?

Indonesia merupakan bangsa yang kaya dengan natural resources atau sumber daya alam (SDA). Namun kualitas SDM-nya yang masih sangat perlu ditingkatkan. “Literasi digital telah menjadi kemampuan umum yang perlu dimiliki oleh setiap anak bangsa, namun literasi baca menjadi prasyaratnya” (BIS, Juni 2021). Kekisruhan dan kegaduhan di dunia digital atau di dunia maya lebih banyak disebabkan karena literasi baca yang masih perlu ditingkatkan. Bangsa ini memang telah berhasil memberantas buta huruf, namun apakah pekerjaan rumah literasi baca sudah selesai?

Seperti dialami dan dirasakan oleh Jepang yang pada akhirnya sadar dan memikirkan kembali.  Bagi mereka sekarang, kemajuan teknologi tidak jauh lebih penting daripada kemajuan SDM-nya itu sendiri. Mereka mendefinisikan Society 5.0 sebagai super smart society atau human-centered society. 

Indonesia punya pengalaman pahit; pernah dijajah secara fisik selama 3,5 abad. Waktu yang tidak sebentar. Bagaimana saat ini? Seperti banyak negara berkembang lainnya, yang telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak lama, namun sesungguhnya mereka masih dijajah secara ekonomi (penjajahan tahap 2). Salah satu cirinya masih memiliki hutang dan ketergantungan pada negara-negara maju. Alhamdulillah, bangsa kita lagi giat-giatnya mengejar ketertinggalan ekonomi dan membangun infrastruktur di sana-sini. Namun yang perlu diwaspadai; negara-negara maju tadi telah menyiapkan ke tahap berikutnya, yaitu; jangan sampai terjadi ‘penjajahan pikiran’ (selamat datang di Abad Otak!).

Apakah penjajahan pikiran itu? Pada dasarnya mereka yang ingin menguasai data, memiliki informasi dan pengetahuan, yang semuanya berbasiskan teknologi informasi dan media digital. Karenanya literasi baca menjadi sangat penting. Teknologi informasi (IT) dan manajemen sistem informasi (MIS) tidak lagi menjadi barang mewah korporasi. Akan tetapi itu ‘barang’ telah berpindah menjadi barang personal yang selalu dipegang atau dikantongi kemana-mana. Keterampilan digital bukan lagi miliknya para ‘orang-orang IT, MIS atau Engineering Department’, tapi sudah menjadi kemampuan umum yang wajib dimiliki oleh setiap individu untuk meraih sukses dalam berkarir, berbisnis, berkeluarga, berorganisasi, bernegara, dan bermasyarakat.

Gerakan Literasi Digital Nasional 2021

Pemerintah melalui Departemen Kominfo menyadari perihal di atas tersebut. Menaruh perhatian besar terhadap pentingnya gerakan literasi digital ini disegerakan, untuk kita dapat mengakselerasi kemajuan SDM bangsa. Menyadari bahwa hal ini merupakan pekerjaan besar, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah yang bekerja secara maksimal, namun juga kerterlibatan masyarakat diperlukan di sini. Berkolaborasi dengan beberapa pihak, membuat perencanaan strategis, agar gerakan ini tentunya dapat berhasil dan sukses serta berkelanjutan, namun juga diperlukan realisasinya dalam waktu yang cepat.

Kementrian Kominfo dibantu komunitas Japelidi (jaringan penggiat literasi digital), Siberkreasi, Deloit, Katadata, Mafindo (masyarakat anti hoaks), Bahaso dan masih banyak lagi komponen anak bangsa yang mungkin belum disebut di sini. Agar selaras dengan program pemerintah, keterlibatan masyarakat luas diperlukan dengan basisnya 4 pilar yang telah berhasil dirumuskan. Terdiri dari : 1) Digital Skills, 2) Digital Ethics, 3) Digital Culture, dan 4) Digital Safety. Semuanya saling berkaitan, dan sama pentingnya.

4 Pilar Literasi Digital - BIS
4 Pilar Literasi Digital - BIS

Bila kita menotasikan menjadi sumbu x dan y, di mana sumbu x horizontal mewakili sendiri atau bersama-sama (semakin ke kanan), dan sumbu y vertikal merepresentasikan semakin ke atas semakin formil, maka keterampilan digital atau digital skills merupakan pilar utama. Namun bagi bangsa ini agak lebih berat berlari untuk literasi digital, karena basis utamanya adalah literasi baca. Contoh; sering kali mereka terkesan tidak etis dalam bersosial media bukan karena niatnya mereka tidak baik, namun lebih banyak sumber permasalahannya berakar dari karena kurang terampil dalam mempergunakan media digital tersebut. Mereka tak sadar, bahwa dalam berkomunikasi dan berkomentar di ruang digital itu ternyata ditonton warga netizen sedunia. Sebaliknya, sebagian orang justru karena merasa sudah sangat terampil (digital savvy) dalam bermedia digital, sehingga tanpa disadari dan kurang berhati-hati seringkali juga melakukan sesuatu yang tidak etis (digital ethics).

Demikian dengan pilar lainnya, keamanan dan keselamatan bermedia digital (digital safety) sering kali juga disebabkan karena tidak terampil. Sehingga tanpa disadari atau tidak sengaja membahayakan diri atau membahayakan orang lain saat berkomentar atau memposting sesuatu yang sebenarnya tidak ada urgensinya. Contoh memberikan data pribadi atau detil biodata kita kepada orang lain, yang sebenarnya tidak ada keperluannya.

Pilar terakhir (digital culture)  juga sangat penting diperhatikan, agar meja seimbang berdiri kokoh di atas 4 pilar yang tak pincang tentunya. Tidak terampilnya berdigital, ditambah kurang literasi baca, tanpa filter (ingat saring sebelum ‘sharing’), sehingga bangsa ini yang lama telah dikenal sebagai bangsa yang santun dan ramah tamah, melalui media digital dipersepsikan sebaliknya. Hasil survai yang dilakukan oleh perusahaan Microsoft yang biasa dilakukan di bulan April dan Mei setiap tahunnya, di tahun kelima ini (2021) survai menunjukkan peringkat kita yang turun menerus, bahkan menyandang statusnya sebagai warga netizen yang paling tidak sopan, alias ‘barbar’.

Survai tersebut cukup akurat mengambil dari 16.000 responden di 32 wilayah. Kita tak perlu menyalahkan ataupun menggugat ke Microsoft, justru kita harus berterimakasih karena ada ukuran atau masukan (early warning) untuk kita dapat bertekad memperbaikinya ke depan. Dengan ada temuan ilmiah neurosains, bahwa di dalam konsep neuroplastisitas otak kita sesungguhnya terus menerus berubah sepanjang usia, dan dapat dilatih ke arah kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik (menebalkan neural pathways yang baik), sehingga kita lebih yakin upaya-upaya perbaikan ke depan pun harus dapat dilakukan bersama-sama. Tercatat di Departemen Kominfo selama ini telah ada 4.250 laporan kejahatan siber, dan berdasarkan laporan Kominfo sampai dengan awal Juni 2021 terekam 1.625 hoaks terkait pandemi yang beredar di media digital atau dunia maya ini. Karenanya dikenal juga dengan sebutan ‘infodemik’.

Niatkan Memakai Internet Untuk Hal-Hal Kebaikan

Sebenarnya kekisruhan dan kegaduhan di dunia digital atau di dunia maya tadi, secara sederhana mudah saja untuk diatasi bersama. Nasihatnya adalah; rapihkan dulu perilaku kita sehari-hari di dunia nyata. Karena media digital dalam konteks ini berfungsi sebagai ‘booster’ atau amplifier yang memperkuat atau mem-boosting semua perilaku kita baik yang positif maupun yang negatif. Dengan kemajuan teknologi digital, seakan-akan kita memperluas atau menambah kapasitas kemampuan indera kita. Tidak saja kemampuan pikiran rasional kita yang diperkuat, namun kepekaan perasaan ataupun emosi ikut-ikutan diamplifikasi naik ke permuakaan media digital. Karenanya dalam menyikapi atau merespon semua ‘postingan’ jangan kita buru-buru mengomentarinya. Semua informasi yang hadir dirasakan tidak rasional atau menyakitkan secara emosional, jangan terlalu cepat meresponnya. Kita harus endapkan terlebih dahulu, tahan motorik jari jemari kita ini untuk menekan tombol ‘enter’. Pikirkan lagi berulang kali sebelum memposting. Apakah perlu, apakah bermanfaat untuk orang lain, atau bahkan menyakitkan orang lain. Saring sebelum sharing (S3) merupakan bagian dari keterampilan kita bermedia digital.

Jadi tipsnya dalam bermedia digital yang baik dalam menyikapi informasi yang mengalir sangat deras; kita jangan ‘cuek’ atau acuh tak acuh dengan berita, namun jangan terlalu mendalami, kecuali memang bidang yang sedang digeluti. Karena hanya menghabisi waktu dengan percuma (wasting time) dan sangat menguras energi kita berpikir. Ingat, kita harus selalu eling atau sadar. Tidak larut dengan informasi dan keadaan sekitar kita (contoh pandemi). Selalu mawas diri, terus menerus meningkatkan kesadaran dengan jalan terus berlatih. Mengaktifkan kesadaran pada esensinya meminimalis pikiran-pikiran otomatis dengan cara rajin-rajin memfungsikan atau mengaktifkan otak PFC kita (prefrontal cortex) yang berfungsi sebagai otak eksekutif. Tiga fungsi besar bepikir eksekutif yang terus menerus dilatih, yaitu; 1) working memory, 2) inhibitory control, dan 3) cognitive flexibility.

Mindset atau cara berpikir kita harus diperbarui, bahwa lahirnya ilmu dan teknologi digital pada prinsipnya adalah untuk memudahkan atau menyederhanakan. Konversi analog ke digital. Jadi digital adalah tools atau alat bantu yang mempermudah hidup kita, bukan sebaliknya. Jangan mau dijajah oleh digital, tetapi kita yang mengendalikannya. Contoh sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari; kita akan merasa lebih baik ketinggalan dompet dibanding smartphone saat kita berpergian keluar rumah. Banyak yang sangat gelisah 5 jam (bahkan kurang) karena belum membuka aplikasi facebook, instagram, linkedin, tiktok, whatsapp, youtube, dan aplikasi media sosial lainnya.

Jadi sekali lagi digital adalah tools yang mempermudah hidup kita. Banyak sekali hal-hal positif dengan kita bermedia digital. Namun digital bukanlah segalanya, harus tetap selalu diwaspadai, karena banyak hal negatifnya pula. Senantiasa mawas diri, banyak kejahatan selalu hadir, seperti: scamming, spamming, phishing, hacking, dan lain sebagainya. Di sini kita dituntut untuk terampil menggunakannya. Inilah literasi digital pada intinya; menimba banyak manfaat dan tidak terjebak ke dalam hal-hal yang merugikan kita. Rekam jejak digital (digital footprint) sangatlah kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Sekali kita salah memposting ke media digital atau internet, maka sesungguhnya kita tidak pernah bisa menghapusnya 100%. Setiap orang dengan mudahnya bisa meng-capture-nya dengan fasilitas ‘screen shoot’, walau beberapa platform aplikasi medsos menyediakan tools untuk menghapus atau merevisinya. Bijaklah bersosmed, jari jemari ini menentukan masa depan kita.

Apa Saja yang Perlu Diperhatikan?

Sering kali kita tidak bisa membedakan, atau kurang memaknai istilah-istilah - terminologi karena kurang terlatihnya literasi baca. Digital tidak hanya media digital, pengertiannya bisa sangat luas sekali. Salah satu tipsnya ingat kalimat pertanyaan ini: “Is it Digital?” Ada 2 kata di situ yang bisa menjadi petunjuk (clue). IS mewakili information system dan IT mewakili information technology. Kita tak perlu mendebatkan untuk membedakannya. Mirip dengan pengertian apa bedanya kata ‘sales’ dan ‘marketing’. Untuk mempermudah, IT atau TI (Teknologi Informasi) konteksnya lebih kepada teknologinya. Sedangkan literasi digital dimaksud di sini lebih banyak kepada penggunaan atau pemanfaatan sistem informasinya.

Apa saja cakupannya? Agar mempermudah untuk dapat dipahami dan diingat, penulis mengidentifikasikan ada 5 ‘ware’ yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) softwareperangkat lunak atau aplikasinya, 2) hardware, perangkat kerasnya, 3) netware atau network, jaringannya, 4) dataware-house, atau database yang arahnya ke teknologi big data nantinya, dan terakhir yang sering dilupakan adalah 5) brainware atau user, penggunanya. Lima hal ini menjadi sangat penting. 

Tidak terampil (digital skills) dalam pengenalan dan penggunaan software berujung kita terkesan tidak etis dalam bermedia digital, serta tanpa sadar telah membahayakan keselamatan diri (unsafe), bahkan dipersepsikan berbudaya barbar. Demikian pula, kita harus terampil menggunakan hardware, jaringan, database dan memiliki pengetahuan terkait dengan manusianya (user atau brainware). 

Di zaman now, tidak cukup hanya mempelajari ilmu sumber daya manusia (human resources), psikologi, dan ilmu sosial lainnya. Tapi juga kita mau membuka diri mendalami sedikit pemahaman otak manusia melalui brain science dan neuroscience. Kita tidak perlu menjadi dokter, pakar atau neurosaintis. Tapi kita cukup memahami dan mengaplikasikannya. Menurut penulis, prinsipnya jika ada disiplin ilmu yang baru harus dapat memenuhi 5 syarat, yaitu: 1) menyederhanakan ilmu sebelumnya, 2) menyempurnakan ilmu sebelumnya, 3) mudah dimengerti dan dapat dipahami, 4) bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan 5) hasilnya harus lebih efektif dan efisien.

Pada aspek brainware, tanpa melabelkan kita harus lebih memahami istilah digital natives dan digital immigrants, sehingga kita cakap berkomunikasi dengan seluruh audiens. Para senior mulai hari ini harus lebih ikhlas karena kecepatan listrik otak generasi-generasi baru akan semakin lebih pintar. Para digital natives ini cepat beradaptasi dengan lingkungannya yang mereka dilahirkan sudah serba digital. Sementara yang junior juga harus mengikuti nasihat-nasihat digital immigrants yang lebih bijak karena mereka memiliki jam terbang pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, serta masih mau berempati menggunakan dan berkomunikasi melalui media baru ini (new age, digital age, new media). Ada 5 segmen yang juga harus dilindungi dari kejahatan digital, yaitu: 1) perempuan, 2) anak-anak, 3) lansia, 4) difabel atau disabilitas, dan 5) daerah 3T; terdepan, terluar, tertinggal.

Dari perspektif ilmu neurosains modern, bahwa cara kerja otak itu seperti network circuit yang terumit di dunia. Konsep neuroplastisitas menjelaskan bahwa otak sangat plastis. Jaringan listrik otak yang sangat dinamis, struktur otak kita plastis, berubah-ubah sepanjang usia. Setiap saat ada yang rontok (synaptic pruning) dan ada yang bertumbuh (neurogenesis). Perbedaan komputer dan otak manusia; tidak ada satu pun software di dunia ini yang bisa mengubah fisik komponen hardaware (misal; IC, transistor, kapasitor, resistor menjadi membesar dstnya). Sedangkan pikiran (bila disandingkan sebagai software) dapat merubah struktur otak kita. Karena itu berhati-hatilah dalam berpikir, biasakan memberikan perintah otak (command) dengan hal-hal positif.

Learning atau memintarkan otak pada prinsipnya menyambung-nyambungkan sinap-sinap tadi atau hubungan antar sel-sel otak yang berlistrik dan disebut neurons. Sedangkan mendiskonek atau memutuskan seperti kita memberhentikan kebiasaan-kebiasaan buruk (unlearning). Selanjutnya membangkitkan kembali kebiasaan-kebiasaan positif diartikan dengan menyambungkan-nyambungkan serta menebalkan kembali pathways yang ada (relearning). Keterampilan literasi digital pun dapat dilatih, tidak hanya sesaat, tapi terus menerus berulang kali. Upaya menebalkan neural pathways tidak bisa hanya dilakukan sehari, seminggu atau sebulan saja. Minimal 40 hari, 3 bulan, dan setahun, akhirnya menjadi lihai dan piawai dalam bermedia digital. Neurons that fire together wire together, if we don't use it we lose it.

Kebiasaan membanjiri informasi dengan konten-konten positif, tidak menyebarkan berita-berita hoax, serta selalu santun, efisien dan efektif, hanya memposting yang memiliki makna positif, selalu menebar kebaikan, tidak mengumbar emosi, etis bermedia serta mengikuti peraturan-peraturan yang ada, tunduk kepada hukum, mengerti akan hak dan kewajibannya, mengindahkan nilai-nilai luhur, agama dan seterusnya. Sehingga menjadi kebiasaan baru positif, dan berbudaya digital yang baik, sesuai dengan budaya Indonesia yang telah dikenal sejak dulu selama ini sebagai warga negara yang santun, sopan, ramah tamah, gemar melakukan kebaikan, senantiasa mengamalkan Pancasila layaknya sebagai digital citizenship-nya bangsa ini.

Keterampilan digital atau digital skills tidak terlepas dari masing-masing pengetahuan diperoleh dan pengalaman yang dimiliki (digital experiences). Setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Kajian ilmiah neurosains menunjukkan every connectome (kumpulan dari neural pathways) setiap manusia di dunia ini tidak ada yang sama. Every brain is unique, setiap manusia unik. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kita fokus hanya kepada kekuatan. Sehingga dalam berkomunikasi melalui digital, kita selalu dapat menghargai orang lain. Simpan yang baik, buang yang buruk. Tidak usah kita meneruskan informasi yang tidak perlu. Hanya mengotori pikiran kita saja, serta membuang-buang waktu dan energi. Menambah stres otak kita, dan kalau kebiasaan itu diteruskan kita akan mengalami chronicle stress yang secara tanpa sadar membanjiri otak kita dengan kortisol. Berakibat buruk, tidak hanya bikin bodoh (karena memutus-mutuskan sinap-sinap dan pathways yang ada), namun juga merusak dan melemahkan sistem imun tubuh manusia.

Kita harus bersyukur dengan adanya pandemi, mengurangi mobilitas, setiap orang dipaksa beraktivitas dari rumah, belajar dan bekerja secara online, sehingga mempercepat transformasi digital. Karenanya literasi digital sudah menjadi barang umum yang harus dimiliki oleh setiap individu. Manusia menjadi lebih dekat dengan teknologi. Selain itu dampak pandemi yang juga merubah perilaku manusia lainnya, seperti: lebih higienis, lebih sosial, lebih religius, dan lebih menyintai keasrian alam (back to nature).

Berbagi Pengalaman Pemanfaatan Digital

Manfaatkan digital sebagai alat bantu yang mempermudah kita bekerja, belajar, berkomunikasi, beraktivitas dan lain sebagainya. Selama pandemi ini umumnya masyarakat lebih dekat dengan teknologi. Duduk rapih di depan monitor komputer, atau sambil berleha-leha memegang smartphone atau gadget lainnya tanpa lepas, seakan-akan ada lem perekatnya atau pengaruh magnit yang begitu kuat. Sehingga dengan mempelajari dan mengaplikasikan digital marketing kita dengan lebih mudah dapat memasarkan produk atau jasa kita pribadi maupun milik klien secara lebih efektif dan efisien.

Jauh-jauh hari sebelum tahun 2010 kami telah memperkenalkan kepada klien-klien kantor kami. Lima komponen utama strategic digital marketing solutions yang kami pernah yakinkan sebagai pilihan strategi, yaitu: 1) mobile marketing, 2) social media, 3) search engine marketing, 4) digital advertising atau banner, dan 5) email marketing yang sekarang lebih banyak digantikan oleh aplikasi messaging seperti: whatsapp, telegram dan lain sebagainya. CRM (customer relationship management) saat itu pun sudah mulai diperkenalkan menjadi SCRM yang mempergunakan media sosial sebagai basis hubungannya. Customer intimacy dan customer engagement (misalkan diwakili dengan jumlah viewers, likes, interaction, dll) jauh lebih dalam dibanding sekedar customer relation yang biasa saja. Call center berubah menjadi layanan contact center. Gugus strategis andalannya menjadi customer loyalty program.

Perubahan sangat cepat terjadi. Hanya perbedaan tidak sampai 1 dekade, telah berpindah yang tadinya merupakan barang mewah perusahaan, teknologi digital sekarang menjadi sangat personal. Digital marketing services sudah bisa dilakukan secara individu ataupun perusahaan kecil, yang tidak harus berada dalam satu lokasi kantor yang sama. Pekerjaannya memang benar-benar bisa dilakukan dari rumah. Bukan karena pandemi, tapi memang telah menjadi sangat lazim sekarang akibat kemajuan teknologi digital. Pemahaman media digital sekarang menjadi sangat luas, tidak hanya digital marketing dan media sosial, namun juga pembelajaran jarak jauh (online learning), ewallet dan transaksi digital lainnya, serta software messenger yang berkembang menjadi aplikasi webinar, live streaming, pre-recorded streaming, dan lain-lain menjadi suatu hal biasa. Apalagi nantinya didukung oleh kesiapan infrastruktur teknologi 5G dengan bandwith yang jauh lebih lebar, dan kecepatan transfer data serta data streaming yang semakin cepat. Memungkinkan aplikasi IoT (internet of things) dapat berjalan.

Penggunaan media digital secara masif juga menyebabkan bermunculan komunitas-komunitas sesuai minat dan ketertarikannya. Istilah communal activation menjadi semakin nyata di dunia event management. Tidak hanya itu, industri advertising dan PR agency sangat terbantu memantau rangkaian kegiatan promosi above the line dan below the line. Online media monitoring memudahkan klien, tidak harus menunggu kliping media beberapa minggu atau beberapa bulan lamanya. Media monitoring menjadi seperti live reportase di industri penyiaran (radio & tv broadcasting).

Berbagai macam manfaat digital selama pandemi. Pertama, lebih banyak pertemuan meeting yang bisa dilakukan dalam seharinya. Kedua, komunikasi relatif lebih efektif dan efisien, kalau memang tidak perlu untuk apa ketemuan fisik. Ketiga, justru memungkinkan lebih banyak jumpa orang dan kenalan baru melalui media online, sebut saja new networking model. Keempat, masyarakat secara umum lebih punya waktu banyak untuk belajar menulis dan membaca, atau melalui video-video pembelajaran seperti di youtube maupun melalui free webinar yang banyak sekali diselengarakan, serta online course yang berbayar. Bisa jadi selama pandemi akan banyak bermunculan para pakar baru, yang tidak harus dari Jakarta atau kota-kota besar. Melalui media digital orang memiliki kesataraan yang sama dalam mengakses informasi dan memiliki kesempatan yang sama besar untuk meraih sukses.

Kelima, tidak hanya belajar, namun juga membuka peluang lebih banyak lagi memulai dan membangun bisnis dari rumah. Home industry benar-benar terjadi dan menjamur. Faktanya; UMKM menjadi basis perekonomian kita untuk tetap dapat bertahan selama pandemi ini. Bekerja dan berbisnis tidak hanya dari rumah, menjadi suatu budaya baru bisa dilakukan dari mana saja. Setelah pandemi berakhir pun, hybrid work model akan menjadi standar baru. Kerja sambil liburan, atau liburan sambil bekerja. Ketujuh, semakin banyak komunitas baru bermunculan. Komunitas ramai-ramai bermigrasi, dari beraktivitas secara luring (luar jaringan) ke daring (dalam jaringan). Hampir semua event dilakukan secara virtual. Buat pemilik brand, pandemi merupakan momen yang tepat untuk membangun komunitas pengguna mereknya melalui aktivitas secara online, mengoptimalkan penggunaan media digital. Community building dengan tujuan akhir community engagement, dan tentunya transaksi digital.

Beberapa orang meragukan; apakah perilaku baik termasuk berbudaya digital yang telah terbangun dan terbentuk selama pandemi ini akan terus terjaga seterusnya, walau pandemi telah usai nanti? Memang tidak ada yang dapat menggaransinya. Karena bila manusia akan kembali disibukan dengan kegiatan rutinitasnya sehari-hari, akan lebih banyak didominasi oleh perilaku dari keputusan-keputusan berpikir tanpa sadar, atau dengan kata lain di bawah kendali pikiran-pikiran otomatisnya. Tetapi yakinlah, bahwa sedikitnya pasti ada proses pembelajaran. Katakanlah, contoh di industri bisnis pelatihan saat kembali normal akan dilakukan dengan sistem kombinasi. Sebelum training dilakukan secara fisik misal di gedung-gedung perhotelan atau perkantoran yang tentunya tetap mengindahkan kesehatan. Para peserta training akan diminta melakukan elearning seminggu sebelumnya (misal). Atau pasca pelatihan akan dilakukan bimbingan pendampingan atau coaching secara online. Bentuk-bentuk kombinasi seperti inilah yang menjadi AKB sesungguhnya (adaptasi kenormalan baru).

Melalui kemajuan teknologi digital juga merupakan momen yang baik untuk negeri ini memperkenalkan budaya bangsa kita. Banyak elemen seni budaya kita yang sangat kaya raya menjadi konten-konten digital menarik. Tidak hanya seni tarian, cara berpakaian, kerajinan dan karya-karya budaya lainnya. Tapi juga beragam jenis makanan dan minuman kita. Tidak sekedar kuliner biasa, namun gastronomi dan neurokuliner Indonesia sangat dahsyat mengisi konten diigital. Tidak hanya gambar, tulisan, video di website, medsos, messanger saja. Namun di kanal-kanal yang mengoptimalkan teknologi digital dengan mengunakan teknologi AR (augmented reality), VR (virtual reality), MR (mixed reality), XR (extended reality) dan lain sebagainya. Keindahan alam kita juga bisa memenuhi konten-konten digital tersebut. Seperti destinasi wisata Geopark (Taman Bumi), selama pandemi bisa membangun dan mulai memperkenalkan virtual tour baik secara gratis maupun berbayar.

Belum lagi nanti setelah menggunakan teknologi digital modern, seperti kecerdasan artifisial, deep learning atau machine learning, knowledge growing system yang memungkinkan para robot akan berperasaan. Human connectome project sedang memetakan itu. Mereka akan memiliki emosi seperti layaknya manusia. Mereka bisa menjadi robot yang santun atau kasar, tergantung manusia mendidiknya. Robot-robot itu pun akan beretika, jangan sampai manusia kalah etis dengan mereka. 

Sifat-sifat manusia seperti imajinasi, kreativitas, intuisi, emosi dan etika akan menjadi hal yang lebih penting di masa depan. Literasi digital bangsa ini mulai dari sekarang harus ditingkatkan dan segera dikebut ketertinggalannya. Bayangkan akan menjadi jauh lebih sulit saat otak manusia telah terhubung dengan jaringan komputer kuantum atau pun super brain computer.

Rangkuman Tips Literasi Digital

Tipsnya kita tidak usah takut oleh kemajuan teknologi digital ke depannya. Justru kita harus menyiapkan diri sebaik mungkin. Brain is making machine, bukan mesin yang membuat otak kita. Kembali ke Society 5.0, bukan kemajuan teknologi digital, namun bagaimana menyikapi disrupsi digital ini yang lebih penting. Rangkuman menyikapinya; ingat selalu sifat-sifat dasar mekanisme otak kita bekerja.

Pertama, otak menyukai sesuatu yang baru (novelty), namun terlalu baru pun otak akan stres. Kedua, otak menyukai sesuatu yang dikenal (familiarity), akan tetapi bila terlalu monoton dan statis otak pun stres, dia akan bosan. Ketiga, otak menyukai segala sesuatu yang prediktif sifatnya, dia akan stres manakala tidak dapat diprediksi. Keempat, otak menyukai umpan balik (feedback). Dia akan stres bila tidak ada yang memberikan masukan, komentar, atau respon lainnya dari orang lain. Sedih karena merasa ‘dicuekin’. Namun, lucunya otak juga stres kalau respon yang diperoleh desktruktif sifatnya. Dia hanya menyukai yang konstruktif, itu pun tidak mau di depan orang lain, atau cara penyampaiannya yang harus sesuai.

Kelima, tentunya otak menyukai penghargaan (reward). Dopamine reward pathways, dan goal directed pathways merupakan sirkuit-sirkuit otak yang kuat memotivasi diri. Algoritma coding program-program media sosial telah dipikirkan semua. Tidak hanya berlaku pada permainan (game software) saja. Diwakili dengan fitur ‘like’, love, smile, dan emoticon lainnya, termasuk sticker. Bahkan youtube akan memberikan uang saat video kita telah dilihat oleh ribuan, ratus ribuan, bahkan jutaan viewers. Rupanya kecanduan atau ketagihan digital (digital addiction) terjadi juga di banyak orang dewasa, bukan hanya dikhawatirkan pada anak-anak kita.

Keenam, otak suka meniru. Manusia adalah mahluk sosial. MNS (mirror neurons system) merupakan landasan yang memperkuat teori ‘the social brain’. Dalam bermedia digital, inilah salah satu yang kita harus berhati-hati juga. Karena perilaku kita selain diperkuat oleh digital, juga ditiru oleh netizen lainnya. Zaman now, di teori kepemimpinan yang baru; seni memimpin bukan lagi otoriter yang haus kekuasaan. Namun bagaimana keterampilan kita memengaruhi orang lain (neuroleadership). KOL (key opinion leaders) menjadi kata kunci, yang harus dibentuk ke arah positif dan kuat. Lihat konten-konten di kanal-kanal youtube kita. Berapa top viewers atau subscribers-nya, dan seperti apa kualitas kontennya. Lebih banyak yang mengedukasi, atau malah sebaliknya; lebih banyak memberikan contoh tidak baik? Tentunya tidak perlu dijawab sekarang.

Terakhir, ketujuh, otak aslinya malas dan netral. Malas itu adalah bagian dari efisien listrik otak kita bekerja. Namun sinap-sinap dan pathway-pathway jalan pikiran perlu dibangun, dilatih dan ditebalkan. Kegaduhan di dunia digital, lebih banyak disebabkan karena kita malas membaca. Ini menjadi catatan penting. Banjiri dengan konten-koneten positif. Karena pikiran seseorang sangat tergantung apa yang dia baca, dia lihat dan dia tonton di media digital. Sementara sifat asismetris otak memperlakukan informasi sangat signifikan berbeda. Bisa jadi 95 informasi yang positif luluh lantah dengan 5 informasi negatif.

Kemudian pertanyaannya bagaimana untuk meningkatkan literasi digital? Awalnya mungkin secara otodidak tidak apa-apa. Seperti sub judul di atas; “niatkan memakai internet untuk hal-hal kebaikan”. Persis yang dilakukan oleh penulis, justru kebiasaan menulis di kompasiana ini mulai terbangun saat masa pandemi ini bermula. Ada suatu kebiasaan baru dalam pemanfaatan media digital (hampir seratusan tulisan). Contoh lain; melalui serial webinar penulis ikut melahirkan dan membangun beberapa komunitas baru. Sebut saja; 1) komunitas KUMBA - Kumpul Bahagia Alumni MMUI, 2) komunitas industri perhotelan dan pariwisata bersama Enhaiier Corporation, dan 3) ‘Radio Zoominar’ komunitas industri radio broadcasting. Demikian tulisan ini saya akhiri, semoga dapat bermanfaat bagi banyak orang. Aamiin ya rabbal ‘alamin. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun