Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Adaptasi Kebiasaan Baru untuk Kehidupan Lebih Baik

19 Juni 2020   19:45 Diperbarui: 19 Juni 2020   21:04 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Toughness, 23 Aug 2019 | Dokpri

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 18 Juni 2020. Menanggapi tulisan seorang sahabat dengan judul "GRIT to Great" membuat saya terinspirasi untuk menulis kembali. Semoga saja dapat memenuhi harapan para pembaca. Sesuai minat pembaca pada umumnya menginginkan bacaan ringan namun penuh makna dan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

GRIT di dalam konsep pemaknaan 'ketangguhan mental' juga merupakan bagian kecakapan kita bagaimana mengelola pikiran secara baik. Khususnya me-manage stres kecil-kecil menjadi sesuatu hal-hal yang positif dalam meningkatkan daya resiliensi, atau daya juang. Stres kecil-kecil yang mampu kita kelola ini menjadi sesuatu hal positif dikenal juga dengan sebutan 'eustress', atau stres yang baik.

Jadi ternyata otak memerlukan stres juga. Kortisol memang diperlukan otak. Tapi tidak boleh kebanyakan, sehingga menjadi berlebihan dan berdampak buruk. Selanjutnya menjadi stres yang jelek atau disebut juga dengan istilah 'distress'. Seperti halnya yang penulis sering sampaikan kepada audiens di dalam kesempatan mengisi seminar-seminar, memberikan kuliah umum, megadakan workshop dan pelatihan-pelatihan. Baik berbentuk public training maupun in-house training. 

Sebenarnya, lebih berbahaya lagi bila stres jelek tersebut itu menetap sifatnya, dan berakumulasi menjadi 'chronicle stress' atau stres kronis yang menahun. Banyak dari kita, di tengah rutinitas sehari-hari tanpa disadari telah berpura-pura merasa tidak stres. Padahal secara diam-diam sedang menumpuk tuh kadar stres kita. Stres kronis berdampak buruk dan berbahaya karena tidak hanya memutus-mutuskan sinaps atau hubungan-hubungan antar sel-sel neuron otak listrik kita. Namun juga merontokan dan mematikan sel-sel otak kita tersebut.

Para pembaca yang baik, mungkin masih mengingat tulisan saya yang sebelumnya terkait bahasan 'HPA Axis'. Sehingga stres kronis ini tidak hanya membuat bodoh, akan tetapi juga berpotensi merusak dan melemahkan sistem imun tubuh kita. Untuk mengetahui lebih detil para pembaca budiman juga bisa googling atau browsing di internet dengan memasukan kata kunci; 'PNI'. Kependekan dari psychoneuroimmunology atau dibahasa-Indonesia-kan menjadi psikoneuroimunologi.

"So... it's good to know something on how to manage GRIT effectively !"

Di dalam pembinaan mental yang tangguh, GRIT adalah kutub yang menyeberangi engagement. Atau dengan kata lain upaya meningkatkan daya resiliensi. Baik itu menjadi kekuatan diri individu yang tangguh; yaitu kemampuan mengendalikan diri, maupun orientasi keluar diri, yaitu; kemampuan otak untuk melatih membangun komitmen.

Kecakapan mengendalikan diri adalah bagian dari efikasi diri. Di dalam executive brain atau fungsi eksekutif otak manusia termasuk ke dalam kelihaian kita dalam hal 'inhibitory control'. Bagaimana otak PFC kita mampu mengatur, meregulasi dan mengendalikan emosi yang diproduksi dalam sistem limbik otak manusia. Mengendalikan pikiran emosi, mengendalikan keinginan dan 'kengototan' atau 'kekekeuhan' dalam melampiaskan nafsu emosional kita. Di dalam pelajaran otak sehat, ada tips ringan untuk sukses; yaitu 'belajar menunda kenikmatan'.

Prinsip kerja interaksi neurons secara umum dalam proses synapses hanya ada dua; eksitasi dan inhibisi. Mirip cara kerja switching di telekomunikasi, juga coding 1 dan 0 dalam komunikasi data. Eksitasi neurotransmitter seperti; asetilkolin, norefinefrin atau noradrenalin, dopamin dan serotonin. Sedangkan contoh inhibisi neurotransmitter seperti asam gamma aminobutirat (GABA) dan glisin. Kemampuan menginhibisi ini lah yang perlu dilatih.

Kemudian yang kedua di dalam peningkatan efikasi diri adalah kemampuan mengendalikan gaya hidup seseorang atau life control. Faktanya di kehidupan sehari-hari sering dialami khususnya oleh para pekerja senior jelita (jelang 50 tahun) dan lolita (lolos 50 tahun).

Sebenarnya bukan PPS (post power syndrome) yang ditakuti mereka saat masuk masa pensiun. Tetapi karena mereka kurang cakap mengendalikan gaya hidup yang terlanjur telah tinggi. Di jabatan puncak di ujung masa baktinya, mereka sudah terbentuk kebiasaan lifestyle atau gaya hidup yang tinggi dengan dikelilingi fasilitas yang serba cukup dan serba wah. Gemerlapan bahasa 'gaolnya'. Bahkan turun dari kendaraan pintu mobilnya pun selalu dibukakan oleh Security, dan sampai menuju ruang kantor tasnya dibantu dibawakan oleh OB atau Office Boy, dan seterusnya.

Lagian pemahaman kata 'pensiun' inilah yang terlanjur salah dimaknai. Kenyataan di kehidupan kita sehari-hari, kan tak ada yang benar-benar bisa membatasi waktu kita untuk tetap beraktivitas yang produktif, berprestasi, bahkan berpotensi menghasilkan dan mengumpulkan uang lebih banyak (jangan lupa juga mengumpulkan amal kebaikan untuk bekal kehidupan akhirat nanti ya). Kenapa? Karena di rentang usia ini lah justru lagi puncak-puncaknya produktivitas, inovatif, dan kreativitas.

Selanjutnya kemampuan mengelola GRIT yang beorientasi keluar diri dalam meningkatkan komitmen juga dibagi dua. Yaitu komitmen yang berorientasi dalam kemampuan membuat dan menetapkan tujuan-tujuan atau goals, dan komitmen yang beorientasi dalam upaya pencapaian-pencapaiannya.

Di dalam otak eksekutif atau fungsi eksekutif di prefrontal cortex di dalam neo cortex atau new brain, atau human brain, atau upper brain ini adalah kemampuan yang sering disebut dengan istilah 'goal-directed persistence'. Yaitu kemampuan membuat tujuan dan berusaha untuk mencapainya. Dan sangat terkait dengan kemampuan 'planning and prioritizing' atau kemampuan memilih mana yang penting dan yang tidak, juga tetap fokus.

Serta terlibat dengan kehandalan kita dalam hal 'time management' yang merupakan kemampuan menghitung waktu yang diperlukan. Juga kecakapan kita terkait dengan 'task initiation',  kemampuan memulai tugas tepat waktu tanpa prokrastinasi. Terakhir di dalam 'executive function' kemahiran terhadap 'sustained attention' atau kemampuan untuk tetap fokus meski ada gangguan, kelelahan, dan kebosanan.

GRIT dalam ketangguhan mental di sini juga pernah dibahas pada aplikasi neurosains yang diterapkan oleh Navy Seal. Dipakai bukan hanya untuk mendidik tentara saja, namun juga untuk membentuk dan melatih kedisiplinan warga sipil serta profesional bisnis dan manajemen.

Selain mental maraton dalam penetapan tujuan, kegigihan, ketekunan, ketahanan, ketangguhan, ketabahan yang memang benar-benar dibutuhkan. Melalui membuat target-target sasaran antara, yang kedua bagaimana mengasah ketrampilan teknik 'memakan dan menghabisi seluruh daging gajah' secara utuh, yang ketiga saran untuk latihan mental dan visualisasi, yang keempat arousal dalam mengendalikan emosi tadi, dan yang terakhir termasuk positive talks.

Demikian seperti paparan saya sebagai narasumber berduet bersama George Ubbelohde CHA, CHE, CHT, Executive Director ICBET yang datang dari Belgia, pada seminar yang berjudul  "Mental Toughness" yang diselenggarakan oleh HELIC - Hotel Executive Learning Center, di GH Universal Hotel Bandung, pada tanggal 23 Agustus 2019 yang lalu.

Terus bagaimana mempraktikannya agar berhasil mewujudkan di dalam kehidupan sehari-hari? Terutama masih di tengah-tengah suasana pandemi COVID-19 yang belum juga usai.

Di dalam kesempatan pelatihan-pelatihan yang disebut di atas seringkali saya lebih menyukai memakai kata 'continuous improvement' daripada sekedar 'changes' atau perubahan. Karena berubah itu bisa lebih baik tapi juga bisa sebaliknya. Hal ini sering saya sampaikan di kesempatan pelatihan-pelatihan untuk perusahaan swasta maupun instasi pemerintah misalkan; PNRI, kantor pusat pelayanan pajak, bank sentral - Bank Indonesia, PT INKA, grup pegadaian, maupun lembaga pendidikan berupa workshop, kuliah umum dan seminar atau webinar, serta diskusi dalam forum-forum alumni seperti STAN, Universitas Pancasila, Universitas Surapati, STIA LAN, ITB, SGU, MM-FEB-UI, juga di komunitas-komunitas seperti Forum HRD Indonesia, One HR Community, Bettermind Indonesia, HIPPI, komunitas sepeda, serta komunitas-komunitas lainnya.

Perlu dicatatat, kesimpulannya; agar sukses menjalankan kenormalan baru seperti yang telah diuraikan di atas ada 2 kata kunci; 1) selalu eling, aktifkan fungsi PFC, minimalis pikiran-pikiran otomatis, atau terus meningkatkan kesadaran agar tidak larut dalam suasana, dan 2) disiplin, disiplin, dan disiplin. Istiqomah dalam membentuk dan repetisi menebalkan neural pathways kebiasaan-kebiasaan baru.

Jadi tidak bisa dipisahkan antara proses berpikir dan kapasitas mental secara menyeluruh. Meningkatkan level of thinking seseorang pada prinsipnya adalah memperbesar kapasitas mentalnya. Neurosains bisa menjembataninya secara saintifik.

Di dalam keilmuan otak atau brain science, selain ada HPA Axis ada dikenal juga BGM Axis atau kepanjangannya; Brain, Gut Brain dan Microbiome. Artinya dalam menghadapi perubahan kita harus senantiasa siap, open mind, memiliki growth mindset, fleksibel dan agile, serta memiliki ketangguhan mental yang kuat.

Tidak ada yang bisa menjamin bila kita telah berhasil melewati masa pandemi ini, lalu di masa-masa yang akan datang tak ada bencana lagi yang lebih besar dari COVID-19 ini. Walau memang tidak kita harapkan, namun kemungkinan selalu ada. Ingat, perubahan semakin cepat dan terus terjadi. Diperlukan keberanian (gut brain) untuk mengarunginya.

Agar memiliki mental toughness atau ketangguhan mental yang kuat, sering diistilahkan sebagai mental baja yang terus digembleng, selain harus meningkatkan daya resliensi juga harus memiliki positivity dalam cara berpikir kita. Baik ke dalam maupun keluar diri. Ke dalam diri agar memiliki kekuatan batin (inner strengths), dan keluar diri supaya mempunyai orientasi keluar. Dalam artian justru tidak hanya mementingkan diri sendiri. Upaya mengasah positivity atau engagement ke dalam diri agar memiliki kepercayaan diri yang kuat.

Percaya diri oleh kemampuan diri kita sendiri, dan percaya diri dalam berkomunikasi inter-personal. Catatannya; confidence level memang diperlukan, namun jangan juga terlalu over confidence, terutama dalam berinteraksi dengan orang lain atau kelompok masyarakat. Seperti yang diajarkan agama; sesuatu yang berlebih adalah tidak baik.

Akhirnya sampai pada pembahasan upaya terakhir, yaitu; positivity keluar diri dalam bentuk selalu berani 'menerima tantangan'. Berani mengambil resiko terburuk. Paling tidak semua rintangan dilihat sebagai peluang yang menantang, berorientasi selalu suka mempelajari hal-hal yang baru.

Ingat neurons that fire together, wire together. If we don't use it, we will lose it. Jadi memang belajar itu tiada henti, sepanjang usia, dan merupakan bagian upaya memelihara kesehatan inteligensia manusia. Menghindari kepikunan dini, dan agar tidak terkena penyakit parkinson, alzheimer, serta penyakit-penyakit demensia lainnya. Access neuroplasticity, change your brain and change your life to make continuous improvement. Akhirnya; always to make better world. Aamiin. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun