Sebenarnya bukan PPS (post power syndrome) yang ditakuti mereka saat masuk masa pensiun. Tetapi karena mereka kurang cakap mengendalikan gaya hidup yang terlanjur telah tinggi. Di jabatan puncak di ujung masa baktinya, mereka sudah terbentuk kebiasaan lifestyle atau gaya hidup yang tinggi dengan dikelilingi fasilitas yang serba cukup dan serba wah. Gemerlapan bahasa 'gaolnya'. Bahkan turun dari kendaraan pintu mobilnya pun selalu dibukakan oleh Security, dan sampai menuju ruang kantor tasnya dibantu dibawakan oleh OB atau Office Boy, dan seterusnya.
Lagian pemahaman kata 'pensiun' inilah yang terlanjur salah dimaknai. Kenyataan di kehidupan kita sehari-hari, kan tak ada yang benar-benar bisa membatasi waktu kita untuk tetap beraktivitas yang produktif, berprestasi, bahkan berpotensi menghasilkan dan mengumpulkan uang lebih banyak (jangan lupa juga mengumpulkan amal kebaikan untuk bekal kehidupan akhirat nanti ya). Kenapa? Karena di rentang usia ini lah justru lagi puncak-puncaknya produktivitas, inovatif, dan kreativitas.
Selanjutnya kemampuan mengelola GRIT yang beorientasi keluar diri dalam meningkatkan komitmen juga dibagi dua. Yaitu komitmen yang berorientasi dalam kemampuan membuat dan menetapkan tujuan-tujuan atau goals, dan komitmen yang beorientasi dalam upaya pencapaian-pencapaiannya.
Di dalam otak eksekutif atau fungsi eksekutif di prefrontal cortex di dalam neo cortex atau new brain, atau human brain, atau upper brain ini adalah kemampuan yang sering disebut dengan istilah 'goal-directed persistence'. Yaitu kemampuan membuat tujuan dan berusaha untuk mencapainya. Dan sangat terkait dengan kemampuan 'planning and prioritizing' atau kemampuan memilih mana yang penting dan yang tidak, juga tetap fokus.
Serta terlibat dengan kehandalan kita dalam hal 'time management' yang merupakan kemampuan menghitung waktu yang diperlukan. Juga kecakapan kita terkait dengan 'task initiation', Â kemampuan memulai tugas tepat waktu tanpa prokrastinasi. Terakhir di dalam 'executive function' kemahiran terhadap 'sustained attention' atau kemampuan untuk tetap fokus meski ada gangguan, kelelahan, dan kebosanan.
GRIT dalam ketangguhan mental di sini juga pernah dibahas pada aplikasi neurosains yang diterapkan oleh Navy Seal. Dipakai bukan hanya untuk mendidik tentara saja, namun juga untuk membentuk dan melatih kedisiplinan warga sipil serta profesional bisnis dan manajemen.
Selain mental maraton dalam penetapan tujuan, kegigihan, ketekunan, ketahanan, ketangguhan, ketabahan yang memang benar-benar dibutuhkan. Melalui membuat target-target sasaran antara, yang kedua bagaimana mengasah ketrampilan teknik 'memakan dan menghabisi seluruh daging gajah' secara utuh, yang ketiga saran untuk latihan mental dan visualisasi, yang keempat arousal dalam mengendalikan emosi tadi, dan yang terakhir termasuk positive talks.
Demikian seperti paparan saya sebagai narasumber berduet bersama George Ubbelohde CHA, CHE, CHT, Executive Director ICBET yang datang dari Belgia, pada seminar yang berjudul  "Mental Toughness" yang diselenggarakan oleh HELIC - Hotel Executive Learning Center, di GH Universal Hotel Bandung, pada tanggal 23 Agustus 2019 yang lalu.
Terus bagaimana mempraktikannya agar berhasil mewujudkan di dalam kehidupan sehari-hari? Terutama masih di tengah-tengah suasana pandemi COVID-19 yang belum juga usai.
Di dalam kesempatan pelatihan-pelatihan yang disebut di atas seringkali saya lebih menyukai memakai kata 'continuous improvement' daripada sekedar 'changes' atau perubahan. Karena berubah itu bisa lebih baik tapi juga bisa sebaliknya. Hal ini sering saya sampaikan di kesempatan pelatihan-pelatihan untuk perusahaan swasta maupun instasi pemerintah misalkan; PNRI, kantor pusat pelayanan pajak, bank sentral - Bank Indonesia, PT INKA, grup pegadaian, maupun lembaga pendidikan berupa workshop, kuliah umum dan seminar atau webinar, serta diskusi dalam forum-forum alumni seperti STAN, Universitas Pancasila, Universitas Surapati, STIA LAN, ITB, SGU, MM-FEB-UI, juga di komunitas-komunitas seperti Forum HRD Indonesia, One HR Community, Bettermind Indonesia, HIPPI, komunitas sepeda, serta komunitas-komunitas lainnya.
Perlu dicatatat, kesimpulannya; agar sukses menjalankan kenormalan baru seperti yang telah diuraikan di atas ada 2 kata kunci; 1) selalu eling, aktifkan fungsi PFC, minimalis pikiran-pikiran otomatis, atau terus meningkatkan kesadaran agar tidak larut dalam suasana, dan 2) disiplin, disiplin, dan disiplin. Istiqomah dalam membentuk dan repetisi menebalkan neural pathways kebiasaan-kebiasaan baru.