Keseluruhan sub sistem otak ini berfungsi secara garis besar adalah untuk mengelola early warning system keadaan darurat, dengan output dorongan lebih merespon stimulan yang mengancam dengan keputusan hadapi (fight) atau hindari-kabur (flight). Karenanya bagian otak tadi sering disebut juga dengan istilah 'survival brain' yang memaksa untuk mengkondisikan kedua respon tersebut agar dapat menghindari langkah freeze atau tidak mengambil tindakan sama sekali.
Namun dalam praktik di lapangan kesehariannya lower brain ini sering disatukan dengan middle brain atau fugsi sistem limbik kita yang di dalamnya terutama ada amygdala pusat emosi, hippocampus memori pusat jangka panjang, hypothalamus yang berfungsi merilis hormon, serta thalamus sebagai traffic manager mengatur semua lalu lintas sinyal informasi di otak pikiran kita. Sehingga bila disederhanakan menjadi dua bagian besar otak kita, yaitu: cortical dan subcortical brain yang berfungsi slow thinking dan fast thinking.
Menurut Tim Robertson, penulis buku "Lean Content Marketing: How to Get Enterprise Customers Faster" (2019); tindakan kita lebih banyak didorong oleh otak emosi kita, yang merupakan salah satu alasan mengapa suatu desain adalah semua hal tentang bagaimana meningkatkan indera dan melibatkan rasa ingin tahu serta imajinasi. Sebagai cara untuk agar menjadi lebih berpengaruh dan diharapkan, menyampaikan makna dan menciptakan koneksi.
Croc brain yang mendorong otak emosional ini, di satu sisi merupakan sistem pengolahan informasi otak kita pada tingkat yang paling rendah. Bahaya kalau kita tidak bijak menggunakannya, terutama dalam aplikasi di kehidupan sehari-hari. Sepeti di bisnis, marketing, politik, komunikasi, leadership, pengasuhan dan pendidikan, dan lain sebagainya hingga bagaimana memengaruhi dan menghipnotis orang lain.
Sampai dengan brainwashing atau mencuci otak dengan tujuan merusak dan menghancurkan belief system seseorang. Digantikan dengan keyakinan yang berbeda.
Bila kita membeli atau membaca buku-buku neuromarketing handbook, biasanya bab yang paling tebal adalah bab yang lebih membahas masalah etika dalam pengimplementasian ilmu neurosains.
Sebelum intim dengan strategi kolaborasi, di dunia kompetisi bisnis dan persaingan pemasaran brand suatu produk, ada istilah 'kill or to be killed'. Bahkan kadang-kadang terjadi pesaingan kanibalisme antar produk-produk yang sengaja diperlakukan di bawah pengelolaan suatu perusahaan korporasi yang sama.
Tujuannya untuk mengembangkan dan melebarkan segmentasi pasar. Repetisi pengulangan iklan, frekuensi pemunculan suatu pesan komersiil, audio sublimal gelombang otak dan frekuensi-frekuensi tertentu, sensasi warna dan bebauan harum aroma tertentu, visualization dan display digitalization, hingga memunculkan atau mendekatkan dengan asosiasi sexual arousal dan lain sebagainya. Atau menguras emosi kesedihan ataupun memancing menimbulkan rasa empati yang paling dalam.
Karenanya ke depan juga diterapkan di dunia industri pendidikan dan pelatihan. Bahkan bukan hanya itu, mereka sudah mulai menggunakan dan mengembangkan program-program yang menggunakan kemajuan teknologi, seperti: VR (virtual reality) dan AR (augmented reality), serta kombinasinya MR (mixed reality) dan XR (extended reality) yang menggabungkan dengan pengaruh-pengaruh kesadaran lingkungannya.
Mungkin kita masih ingat dengan suhu politik yang memuncak menjelang pilpres kemarin. Dua kali periode disajikan dengan dua pilihan yang sama, antara pilihan nomor satu atau dua. Banyak orang di tengah-tengah suasana pesta demokrasi tersebut sudah merasa sampai ke titik terjenuh dan sangat tertekan serta mencekam.
Kampanye-kampanye yang dilakukan melalui media-media konvensional maupun media sosial dan digital lainnya, serta kampanye mengerahkan masa, dirasakan sudah tak elok dan tak etis. Bahkan banyak yang merasakannya jijik dan eneg, bosan serta tak ada yang edukatif lagi. Kira-kira kenapa hal ini dapat terjadi?