Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ternyata Mantan Bisa Dilupakan dengan Neurosains

16 Maret 2020   23:10 Diperbarui: 23 Juli 2020   06:26 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi putus cinta. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 16 Maret 2020. Adam Cole, reporter dan produser untuk ilmu pengetahuan menanyakan apa yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada seseorang, dan kemudian putus hubungan. Namun kita tidak bisa melupakannya selama bertahun-tahun.

Untuk sebagian orang, cerita tersebut adalah suatu yang biasa. Seperti yang terjadi oleh Dessa, artis penyanyi dan seorang rapper terkenal ini. Beliau ingin mencari tahu apa yang terjadi serta di mana letak pusat cinta di dalam otaknya.

Lantas Dessa pergi ke neurosaintis untuk mencari tahu dan mengobati patah hatinya. Dessa melakukan hal ini karena merasa sakit hati yang berkepanjangan, dan dirasakannya sangat tidak rasional, juga seperti terjebak, serta rasa frustasi menghadapi hal itu semua.

Sama halnya seperti yang dialami oleh orang lain; biasanya curhat dan akan mencari nasihat dari teman, membaca majalah, cara bagaimana mengatasi putus cinta. 

Waktu, persahabatan dan jarak, bahkan minum Whisky atau minuman beralkohol. Namun dia merasakan tidak satu pun menjadi solusi yang efektif. Dessa merasakan sangat tidak bahagia.

Suatu hari Dessa mendatangi biological anthropologist - Dr. Helen Fisher, yang telah berhasil melakukan penelitian dengan memeriksa 37 pasien yang sedang jatuh cinta menggunakan pemindai otak; brain scanner fMRI functional magnetic resonance imaging. 

Alat ini bisa melihat langsung ke dalam otak pasien, dan secara tidak langsung mampu mengukur tekanan darah yang bersangkutan.

Neuronesia
Neuronesia
Dari informasi tekanan darah tersebut dapat terdeteksi daerah bagian mana di dalam otak pasien yang terlibat proses romantika rasa cinta. Titik daerah yang berperan utama tersebut bernama VTA ventro tegmental area yang berhubungan dengan "kemauan", dengan motivasi, dengan fokus, dan dengan keinginan keras.

Cinta romantis merupakan suatu obsesi. Kita tidak bisa terus menerus memikirkan orang lain. Seakan-akan orang yang kita pikirkan tersebut sedang berkemah di dalam kepala kita.

Hal ini tidak mudah buat Dessa menerima begitu saja. Dia mebutuhkan bukti evidence secara fisik. Dessa masih penasaran apakah dia dapat nenemukan cintanya di dalam otak. Kemudian, melalui internet dia menawarkan diri menjadi obyek penelitian yang menggunakan alat fMRI.

Akhirnya dia mendapatkan tawaran barter diperiksa dengan fMRI yang ada di University of Minnesota. Pada saat kepalanya sedang di-scan, dipindai dengan fMRI, Dessa diminta melihat gambar sang mantan kekasih di platonic acquintance.

Kemudian dia diminta melihat kembali secara berulang. Terlihat di monitor fMRI bagian VTA Dessa sinyal menyala tanda aktif fungsinya di area tersebut. Berbeda pada saat Dessa diperlihatkan gambar sosok orang lain yang bukan mantannya.

Selanjutnya Dessa mencoba untuk bisa diinterferensi, dengan harapan akan dapat merubah pola perilaku di otaknya. Kemudian dia datang ke Penijean Gracefire, seorang mental health clinician yang menggunakan terapi yang dinamakan: "EEG neurofeedback".

Begini cerita awalnya yang mendasari gagasan dari neurofeedback; jika kita dapat memperoleh insight dari aktivitas dalam otak kita - maka kita akan dapat mempelajari bagaimana caranya untuk merubah hal tadi terjadi.

Di dalam EEG neurofeedback, ada sebuah topi atau tutup kepala yang dilengkapi dengan kabel-kabel yang mampu mendeteksi frekwensi gelombang-gelombang otak kita. Sinyal elektromagnetik yang dihasilkan dari tembakan neuron-neuron.

Hal itu lah yang merupakan salah satu cara bagaimana Dessa dapat melacak aktivitas otaknya. Dia menginginkan untuk dapat merubah aktivitas otak tadi, untuk melupakan fiksasi romantisnya.

Kemudian selama sesi ini ketika aktivitas otaknya bergeser, Dessa akan mendengarkan nada bunyi ping. Dengan memperoleh umpan balik tersebut diharapkan dapat melatih kembali otaknya, untuk keluar dari kebiasaan cinta yang lama ini bisa bekerja dengan baik. Terapi jenis tersebut telah digunakan untuk mencoba dan mengobati semua jenis masalah kesehatan mental.

Tetapi tidak ada banyak penelitian yang ketat untuk mendukungnya. Masih neurofeedback yang mulai membuat penasaran semakin banyak para ilmuwan. Mereka sedang menyelidiki apakah itu dapat digunakan untuk membantu orang-orang yang mengalami depresi kecemasan dan ADHD.

Dr. Hickey tertarik dalam melihat apakah orang mampu belajar untuk memotivasi diri mereka sendiri. Menurutnya orang dengan ADHD sering mengalami kesulitan memotivasi dirinya, terutama untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.

Para peneliti masih bertanya-tanya apakah neurofeedback bisa membantu?

Lalu, mereka menempatkan orang-orang dalam mesin fMRI dimaksud di Duke University dan umpan balik yang ditampilkan sebagai termometer yang menunjukan kepada mereka jika aktivitas di wilayah otak terkait dengan motivasi apakah meningkat atau menurun. Pada akhir pelatihan, para peserta berhasil belajar untuk membangun memetakan wilayah tersebut, bahkan tanpa umpan balik.

Hal tersebut di atas semuanya itu tidak banyak berarti. Mereka akan mampu memotivasi diri mereka sendiri di dunia nyata. Tapi ini adalah merupakan suatu langkah awal, dan Dr. Hickey mengatakan dia melihat hasil lain dari peserta penelitian tersebut akan kecenderungan mengatakan hal-hal seperti itu.

Dia hampir tidak percaya, dia melihat apa yang otak lakukan seperti dia tidak pernah menghubungkan bahwa otak dia semacam terhubung dengan pikirannya tentang perubahan dalam perspektif, memberikannya rasa jarak dan kekuatan atas kesehatan mental mereka.

Hal ini juga terjadi juga pada Dessa. Dessa benar, dia menarik entah bagaimana melihat bukti ini yang ada di luar dia rasakan. Setelah sembilan sesi feedback yang umum. Dia juga mencoba lagi fMRI lainnya, dan ternyata sekarang VTA-nya telah diam.

Sangat menakjubkan kita melihat perubahan dramatis ini. Terjadi cukup cepat di otaknya yang dibuktikan oleh tanda makna yang dirasakan berbeda, berubah subyektifnya.

Dessa benar-benar melupakannya. Namanya pun tak lagi disebut. Setelah dia merasakan fiksasi dan seperti paksaan, sekarang perasaan itu telah menurun. Apakah ini menjadikan bukti bahwa neurofeedback berhasil dapat memperbaiki patah hati?

Jadi menurut Dessa mungkin neurofeedback itu adalah cara yang bagus untuk membantu orang-orang yang benar-benar menderita seperti perasaan romantis yang tak berguna tadi.

Atau, bisa jadi dia menjelaskan proyeknya yang berkali-kali, semacam dia menjalani terapi bicara. Atau mungkin neurofeedback hanya menanamkan gagasan bahwa emosi kita didasarkan pada organ fisik yang dapat kita pengaruhi.

Mungkin juga gagasan itu benar-benar cukup kuat untuk mengubah pikiran kita dan membantu kita menjalani hidup yang lebih bahagia. (BIS)

Sumber Referensi: npr.org. NPR adalah American public broadcast service. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun