Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community.
Jakarta, 13 Maret 2020. Di dalam organisasi bisnis modern, bila kita telah merumuskan, merancang dan menyepakati Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP), serta telah ditandatangani oleh seluruh komisaris, direksi serta jajaran manajemen terkait, disarankan untuk segera meneruskannya ke seluruh tim berserta bawahan masing-masing terkait.
Memang tentunya harus dipilah-pilah terlebih dahulu, mana yang perlu disampaikan dan mana yang tidak. Diseminasi informasi tepatnya. Seperti visi dan misi-misi perusahaan, tujuan perusahaan tahun terkait, termasuk target-target yang telah ditetapkan dan harus dicapai kepada seluruh departemen dan divisi terkait sampai ke level staf paling bawah sesuai kebutuhan perusahaan. Informasi yang menyemangati juga, seperti proyeksi bonus dan isentif yang berupa rupiah atau non rupiah seperti jalan-jalan ke suatu daerah atau keluar negeri seluruh tim satu kantor ataupun hanya sebagian tim, departmen, maupun divisi terkait.
Bagaimana bila itu tidak terjadi segera, atau distribusi informasi yang terlambat, bahkan sebagian "terhambat". Ternyata ini berdampak buruk kepada kinerja individu atau kelompok kerja yang seharusnya mereka menerima sesuai waktu yang ditentukan. Karena otak manusia faktanya lebih suka sesuatu yang prediktif dan senang bila memperoleh feedback atau kritik yang membangun.Â
Mereka akan stres, banjir kortisol, bilamana tidak ada arahan, tidak ada agenda, atau tidak ada target yang harus dicapai. Stres yang kronis tidak hanya membuat bodoh karyawan karena sinap-sinap hubungan antar neurons sel-sel otak listriknya yang rontok bahkan mati, tapi berpotensi juga melemahkan pula sistem imun kekebalan tubuh mereka.
Konyolnya terjadi juga pada masing-masing individu bila tak tahu arah atau tak punya tujuan hidup dan bagimanana caranya memaknai hidup. Menurut motivator Brian Tracy dengan teori platonya, ternyata kita bisa akan alami stres tidak hanya karena tidak mempunyai tujuan. Kita akan stres dalam mengejar tujuan karena belum tercapai, itu hal yang normal.Â
Tapi anehnya manusia juga akan stres bila tujuannya tercapai. Loh kok? Sebagian bagi mereka akan stres manakala tujuannya justru telah tercapai, namun karena tidak mempunyai tujuan barunya, akhirnya bosan dan stres. Tidak ada tantangan baru.
Menurut Profesor Shing, otak pada dasarnya adalah "mesin prediksi" yang terus-menerus sibuk membandingkan input baru dari lingkungan dengan prediksi yang dihasilkan oleh model internal otak. Hanya dengan cara ini otak manusia mampu beradaptasi dengan situasi baru dan memahami lingkungan baru. Sampai saat ini, bagaimanapun, tidak ada peneliti yang meneliti sifat dari model internal yang mendasarinya sendiri atau bagaimana pengalaman baru memengaruhi model tersebut.
Apa yang sejauh ini tidak diketahui adalah bagaimana prinsip yang seharusnya universal itu memanifestasikan dirinya dalam otak yang berbeda - misalnya yang muda atau tua. Long-term memory atau ingatan jangka panjang yang mungkin mendasari model internal otak berpotensi menjadi memori episodik dan semantik.Â
Pengalaman pribadi di satu sisi dan pengetahuan dunia yang dipelajari di sisi lainnya. Sementara anak-anak lebih baik dalam mengingat konteks episodik. Pikirkan betapa tidak terkalahkannya mereka ketika bermain "memory". Orang yang lebih tua dapat lebih mengandalkan memori semantik mereka.
Shing ingin menyelidiki secara empiris interaksi berbagai jenis memori dan pengalaman baru. Menggunakan fasilitas resonansi magnetik yang tersedia di Pusat Pencitraan Otak Goethe University Frankfurt. Beliau ingin belajar lebih banyak tentang interaksi kognitif dan neurons yang terjadi di mana di otak.Â
Pertama-tama dengan bantuan partisipan yang sehat dari berbagai usia. Dalam jangka panjang, pekerjaan penelitiannya dapat membantu menjelaskan kondisi klinis dengan proses prediksi yang menyimpang, seperti autisme dan skizofrenia. European Research Council (ERC) akan mendanai proyek selama lima tahun dengan 1,5 juta (Maret 2018). Mereka akan mendanai dua posisi peneliti doktoral dan dua postdoctoral.
Lahir pada 1980 di Kuala Lumpur (Malaysia), Yee Lee Shing pindah ke Amerika Serikat pada usia 19 tahun untuk belajar psikologi. Dari 2004 hingga 2015 ia bekerja di Institut Max Planck untuk Pembangunan Manusia di Berlin. Dia juga mengadakan Humboldt Fellowship di sana di Humboldt University.
Shing menemukan perspektif luas tentang perkembangan otak manusia sepanjang umur sangat menarik. Selain itu, Sekolah Penelitian Max Planck Internasional yang baru di Life Course (LIFE) menawarkan kepadanya konteks penelitian lintas disiplin dan trans-Atlantik. Keputusannya saat itu untuk datang ke Jerman. Pengawas doktor Shing adalah Profesor Ulman Lindenberger dan Profesor Shu-Chen Li. Shing adalah dosen di Universitas Stirling di Skotlandia sejak 2015 dan seterusnya.
Profesor Shing masih bekerja di Stirling ketika dia mengajukan proposal proyeknya. Keputusannya untuk kembali ke Jerman dan menerima penunjukan di Frankfurt juga sebagian karena Brexit. Suami dan kedua anaknya adalah orang Jerman. Mereka merasa bahwa masa depannya di Inggris tidak pasti. Setelah bertahun-tahun di Eropa, beliau tetap tidak ingin tinggal di luar UE. Sekarang Shing menantikan lingkungan kerja yang produktif di Institut Psikologi di Goethe University Frankfurt. (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H