Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Neurosains dan Sistem Navigasi Pesawat Terbang

10 Maret 2020   08:29 Diperbarui: 10 Maret 2020   08:31 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haynes dan Records segera memeriksa seluruh instrumen dan untuk mencari indikasi kerusakan. Awalnya tak terbaca. Akhirnya diketemukan sumber masalah pada mesin nomor dua, yaitu mesin tengah di belakang pesawat rusak tak berfungsi. Sangat berbahaya, dan jarang terjadi pada pesawat jenis DC-10 yang mempunyai 2 mesin lagi yang berada di sayap-sayapnya.

Pada saat Records menoleh ke Haynes dan mengatakan sesuatu yang tak pernah ingin didengar pilot: "Al, saya tak dapat mengendalikan pesawat". Walau Haynes sudah menekan penuh kemudi guling kirinya dan mendorong yoke-nya jauh ke depan sehingga tombol-tombol kontrolnya tertekan ke batas kokpit. Dalam keadaan normal, manuver seperti ini akan menyebabkan pesawat turun dan berbelok ke kiri. Namun, kini pesawatnya malah naik terjal dan berbelok tajam ke kanan. Kalau diteruskan pesawatnya akan terbalik.

Kapten Haynes berpikir keras, dan mencoba mengunakan panggilan radio yang menghubungi ke United Airlines' System Aircraft Management (SAM). Sistem hidroliknya bermasalah. Dia segera membuka manualnya, tapi tak ada membahasnya. Akhirnya Haynes sadar bahwa mereka (Haynes & Records) harus berusaha sendiri. Tak ada orang lain yang dapat membantu mereka mendaratkan pesawatnya.

Haynes mencatat satu-satunya alat yang masih dapat bekerja, yaitu thrust lever, yang mengontrol kecepatan dan tenaga dua mesin yang ada. Akhirnya Haynes mendapat ide. Pada mulanya, pikirannya kacau. Tetapi makin keras berpikir, makin jelas solusinya. Idenya adalah menggunakan thrust lever untuk memgemudikan pesawatnya. Kuncinya pada gardan differential thrust. Dia mematikan satu mesinnya ketika mesin lain mendapat tenaga tambahan, pesawatnya akan berbelok ke arah mesin yang dimatikan (prinsip fisika sederhana).

Pada saat kritis Haynes menekan throttle-nya ke depan untuk mengoptimalkan mesin kanan dan mematikan mesin kiri. Pesawat tidak jadi terbalik dan jatuh.

Sewaktu kepercayaan diri para crew sedikit pulih, pesawat bergerak naik turun dengan kasar. Ini dikenal dengan phugoid pattern yang susah dikendalikan pada saat sistem hidroliknya rusak. Bila panik, mereka bisa mengulangi tragedi Japan Airlines 123. Saat pilot melihat indikator kecepatan udaranya, reaksi alamiahnya adalah berusaha menyeimbangkan pesawatnya. Namun, reaksi instingtif ini justru berkebalikan 180 derajat dengan apa yang semestinya dikakukan. Aerodinamika pesawat berlawanan akal sehat. Menurut Haynes bila menuruti impuls alamiahnya, dia akan kehilangan kendali. Pesawat akan menukik terjun bebas.

"Saya memang butuh waktu beberapa saat untuk berpikir jernih, tapi itulah yang menghindarkan saya dari kesalahan besar." begitu pengakuannya. Haynes harus menambah kecepatan saat pesawat meluncur ke bawah dan mengurangi kecepatan saat pesawat naik ke atas. Hal ini merupakan ide kontraintuitif yang sangat jarang dia lakukan. Bagian yang paling sulit, menurutnya.

Singkat cerita, pesawat berhasil mendarat di Sioux City dengan kecepatan tinggi 215 knots (normalnya 140 knots saat mendarat). Walau pesawat terpecah menjadi beberapa bagian dan menewaskan 112 penumpang, namun berhasil menyelamatkan 184 nyawa. National Transportation Safety Board memyimpulkan: "Kinerja yang patut mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya dan melampui harapan-harapan rasional." Metode flight control yang digunakan Haynes dan Records sekarang menjadi salah satu standar pelatihan pilot.

Satu hal yang luar biasa dari kinerja para pilot tersebut adalah bahwa mereka berusaha menguasai emosi mereka. Tak gampang untuk bersikap tenang ketika kita sepenuhnya kehilangan kendali pesawat. Di bawah tekanan yang sangat berat, Haynes menggunakan prefrontal cortex (PFC)-nya untuk mengatur emosinya.

Emosi-emosi manusia sebenarnya piawai dalam menemukan pola-pola tertentu berdasarkan pengalamannya. Sehinnga kita dapat mendeteksi masalah yang terjadi. Tetapi ketika berhadapan dengan masalah yang belum pernah kita alami sebelumnya, ketika neuron-neuron dopamin kita tak tahu apa yang mesti dilakukan, seharusnya kita abaikan perasaan-perasaan kita. Langkah pertama untuk mengontrol emosi adalah tidak boleh panik!

Steven Predmore, manajer analis faktor manusia di Delta Airlines, telah sangat melakukan penelitian terkait proses pengambilan keputusan dalam United Airlines 232. Dia menganalisis percakapan selama 30 menit yang terekam oleh cockpit voice recorder ke dalam sejumlah topik pembicaraan atau potongan-potongan informasi. Hasil penelitian Pedmore ini menggambarkan heroisme dan kerja tim yang sungguh menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun