Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Neurosains dan Dunia Pendidikan

25 Februari 2020   23:00 Diperbarui: 26 Februari 2020   11:49 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 25 Februari 2020. Salah satu tujuan bangsa ini yang belum tercapai secara optimal adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini menjadi perhatian yang super khusus oleh para pemimpin bangsa kita.

Indonesia sudah unggul dengan kekayaan sumber daya alamnya. Syarat mutlak untuk memajukan bangsa dalam kompetisi global yaitu dengan memajukan mutu kualitas sumber daya manusianya. Harus pintar, namun tetap berahlak mulia. Sehingga dapat diberhentikan perilaku kebiasaan buruk tindak korupsi yang sangat merugikan bangsa dan masih terus sering dilakukan oleh para pejabat kita.

Menyiapkan 'SDM Unggul' tidak terlepas dengan memajukan mutu sistem pendidikannya. Beberapa upaya telah banyak dicoba untuk dilakukan. Mulai dari menempatkan menteri yang berusia relatif muda dibanding dengan menteri-menteri pendidikan sebelumnya, namun diyakini dapat membawa perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.

Kita harus mengapresiasi upaya-upaya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang maupun pemerintah-pemerintah sebelumnya. Namun salah satu fakta di lapangan yang paling menyedihkan dari jaman ke jaman; departemen pendidikan justru masih termasuk salah satu lembaga pemerintahan yang terkorup. Progres perbaikannya terkesan cukup lambat. Hal ini dapat dipastikan terkait juga dengan kualitas dan integritas seluruh tenaga kerja SDM di departemen itu sendiri.

Bagi penulis dan masyarakat pada umumnya yang sedang giat-giatnya menyekolahkan anak banyak perihal pelik yang sebenarnya dihadapi di tengah-tengah kondisi ekonomi yang masih mencekik belum terlalu baik. Biaya pendidikan sekolah anak di Indonesia masih dirasakan sangat mahal. Selain biaya yang tinggi mereka juga dibingungkan untuk memilih sekolah mana yang tepat bagi anak-anaknya. Bagus kualitas dan cocok dengan masing-masing situasi dan kondisinya.

Persepsi mutu prestasi sekolah yang akan dipilih. Kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan. Total biaya yang harus dihitung minimal selama setahun. Lokasi sekolah yang diharapkan tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hubungan sesama orang tua murid maupun dengan para guru dan staf pengajarnya. Kondisi fisik gedung dan fasilitas serta sarananya. Peraturan dan tata tertib sekolah, serta disiplin guru dan murid yang diterapkan. Jumlah lulusan siswanya yang diterima ke perguruan tinggi. Kualitas inteligensi dan moralitas tenaga pengajarnya, dan seterusnya.

Terlalu banyak variabel yang menjadi pertimbangan orang tua. Belum lagi mereka sering mempertimbangkan untuk memberikan kegiatan ekstrakurikuler dan bimbingan belajar tambahan sesuai dengan kebutuhannya. Banyak orang tua akhirnya ragu dengan mutu pendidikan secara keseluruhan di negeri ini. Karenanya jangan disalahkan bila terutama orang tua yang lebih mampu secara finansial dan memiliki akses akhirnya mengirim anaknya untuk melanjutkan sekolahnya ke luar negeri.

Salah satu concern yang menurut penulis diyakini bahwa disiplin ilmu pengetahuan baru seperti neurosains menjadi urgen untuk dapat diterapkan sebagai salah satu upaya mendongkrak mutu pendidikan sekolah. Perlu diberikan juga pencerahan atau sharing session untuk pengantar ilmu neurosains modern dengan durasi cukup sekitar 2 sampai dengan 3 jam kepada para pimpinan yayasan atau pimpinan sekolah dan jajaran manajemennya. Bentuknya memang harus disesuaikan. Penyampaiannya sebaiknya tidak dalam bentuk dengan gaya mengajarkan. Tapi lebih kepada paparan dan diskusi interaktif.

Tahap kedua perlu juga diberikan kursus singkat kepada para guru dan staf pengajarnya. Pelatihan yang diberikan bisa seminggu atau minimal 3 hari. Topik penekanannya lebih memiliki pemahaman ilmu neurosains dan aplikasinya di bidang pengajaran (neuroteaching) dan pengasuhan anak (neuroparenting). Biasanya kami mengadakan dalam bentuk kelas-kelas workshop. Mulai setiap harinya minimal jam 9 pagi sampai dengan jam 5 sore.

Namun supaya anak atau siswa tidak menjadi korban kebingungan karena apa yang disampaikan para guru di sekolah berpeluang berbeda apa yang disampaikan oleh kedua orang tuanya di rumah. Oleh karenanya perlu diberikan penyuluhan atau sosialisasi neuroparenting dan neuroscience for better life kepada semua orang tua murid. Supaya program neurosains apa yang disampaikan oleh guru di sekolah praktiknya akan sinkron dengan yang dilakukan atau dididik sehari-hari di rumah yang diterapkan oleh kedua orang tuanya. Biasanya yang sering telah dilakukan program sosialisasi untuk para orang tua murid tadi dalam bentuk seminar sehari atau seminar setengah hari. Bagi para orang tua yang memiliki kondisi ekonomi yang di atas rata-rata, biasanya seminar diadakan di hotel berbintang. Sering kali juga didukung penuh atau bahkan menjadi program silaturrahim bersama orang tua murid. Jadi penyelenggara acaranya bisa dari pihak sekolah atau oleh komunitas persatuan orang tua murid.

Bagaimana dengan keterlibatan siswa secara langsung? Terutama untuk siswa yang duduk di bangku SMA. Walau di usia remaja ini umumnya fungsi otak pfc (pre-frontal cortex) mereka belum berfungsi sempurna. Terutama pelajar pria yang lebih terlambat dibanding kematangan berpikir rasional pfc pelajar wanitanya. Namun sudah dapat mulai diberikan pencerahan pengenalan mengenai tentang apa itu ilmu neurosains dan aplikasinya dalam kehidupan. Biasanya kami memberikannya roadshow ke SMA-SMA yang mengundang dalam bentuk seminar-seminar kecil. Para siswa dikumpulkan di aula yang cukup menampung jumlah siswa yang akan hadir. Diberikan secara informil, santai tapi tetap serius. Mereka juga harus dalam keadaan nyaman berpikir dengan perasaan hati yang senang. Tujuan diperkenalkan apa itu neurosains adalah; pertama, mereka setidaknya akan mengerti anugrah kemampuan otak cemerlang yang dimilikinya dan belajar mampu mengendalikan pikiran otomatisnya supaya optimal berpikir, bukan sebaliknya pikiran yang mengendalikan dirinya. Kedua, memberikan stimulasi yang menimbulkan keminatan studi mengambil neurosains dan aplikasinya sebagai pilihan subjek ketika mereka melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Sebenarnya akses mempelajari neurosains dan disiplin ilmu lainnya hari ini semakin mudah dan tidak bisa lagi dibatasi dengan kelas atau usia berapa. Generasi muda semakin encer, sinyal frekuensi listrik otaknya semakin cepat beradaptasi dengan teknologi khususnya gadget yang selalu menempel di genggamannya. Mereka sering berselancar, 'googling' membaca tulisan dan menikmati gambar informasi dan pengetahuan yang akan dicari. Memilih, memilah, dan melihat video pengetahuan pilihannya. Mereka mengakses informasi dan pengetahuan langsung dari negara asalnya. Dari negara-negara maju bahkan without saying neuroscience pengaruh ilmu ini di sana pada umumnya sudah diaplikasikan ke semua multidisiplin ilmu terutama yang terkait dengan manusia. Bentuk videonya dari mulai sekedar infografis, film kartun, animasi sampai dengan film riil. Hal ini merupakan dampak positif dari kemajuan teknologi. Bukti nyata disrupsi teknologi digital tidak selalu membawa pengaruh negatif.

Bagaimana dengan dunia kampus. Justru sangat baik diperkenalkan, membuka wawasan mereka. Biasanya sangat pas menjadi salah satu materi mata kuliah 'kapita selekta' dan ceramah terbuka ataupun kuliah umum. Mulai terbuka mengenal ilmu neurosains yang tidak punya kaitan langsung dengan disiplin ilmu yang sedang ditekuni. Namun paling tidak dapat memperkaya bagaimana meregulasi pikirannya. Terutama mengendalikan emosi dan pikiran-pikiran otomatis impulsifnya, serta belajar melatih fokus mengaktifkan otak PFC-nya.  

Kita percayakan pemerintah melalui Dikti dan Kopertis sedang merumuskan dan memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk segera menerbitkan ijin universitas membuka Fakultas Neurosains. Memang sangat disayangkan atas keterlambatan ini. Pembuat kebijakan di instasi-instasi terkait tadi, mungkin beberapa di antaranya masih terjebak dengan pola pikir yang lama. Indonesia lagi giat-giatnya menerapkan sistem linearisasi. Sementara negara-negara maju yang mewariskannya telah meninggalkan di negerinya. Jadi kalau pengambil keputusan kebijakan berlatar belakang kedokteran, mungkin mereka akan meyakini neurosains harus di bawah fakultas kedokteran. Sementara bagi pengambil kebijakan dengan latar belakang psikologi pastinya mereka yakin neurosains di bawah naungan fakultas psikologi karena banyak membahas tentang otak, pikiran dan perilaku manusia. Peluang untuk berdiskusi lintas disiplin atau multidisiplin redup terkalahkan oleh ego keilmuan masing-masing yang dimilikinya.

Demikian pula dengan pembuat kebijakan di dua instasi tersebut di atas bila berlatar belakang biologi mengingat neurosains membahas enzim-enzim neurotransmitter bagian dari metabolisme tubuh. Beda lagi kalau pembuat kebijakannya berlatar belakang teknik elektro, mengingat hubungan antar neuron (sel otak) tidak hanya terjadi transaksaksi kimiawi dan biologis, tapi ada juga perbedaan potensial yang menimbulkan percikan spike dan arus listrik mengalir. Ada listrik, ada medan magnit, ada frekuensi, ada gelombang dan seterusnya. Faktanya memang benar otak kita berlistrik.

Mahasiswa dan mahasiswi, atau mereka yang baru lulus dan akan menikah sangat tepat dibekali ilmu neurosains sebelum menikah. Istilah layanannya yang terkenal di negara asalnya dengan sebutan 'Pre-Marital and Relationship Coaching'. Sehingga akan lebih baik mengenal masing-masing pasangannya. Agar tidak dengan mudah terjadinya kasus perceraian.

Setelah itu pasca menikah, untuk menjadi orang tua muda pun harus membekali diri dengan ilmu pengasuhan anak berbasiskan kinerja otak sehat dan pendidikan yang menyesuaikan dengan tahapan perkembangan otak anak itu sendiri. Termasuk mempelajari apa itu talenta otak sehat. 

Memasuki tahun 2020-an kita dituntut tidak hanya menajamkan kompetensi saja, tetapi juga harus lebih kreatif dan inovatif oleh karena itu solusinya adalah menemukan TD (Talenta Diri) dan dikembangkan dengan Otak Sehat maka akan menjadi manusia yang Kreatif dan Inovatif, serta Cerdas Berahlak Mulia.

Sama seperti sekolah, kampus yang terbaik bukanlah karena status akreditasinya. Ataupun bukanlah karena yang paling banyak menerima penghargaan dan pencitraan jumlah liputan kabar berita aktivitasnya di media konvesional dan media sosial. Pola berpikir dan berperilaku seperti ini sangat keliru. Bila seperti itu yang dipertahankan, sekolah dan kampus sebagai penyelenggara pendidikan secara sadar atau tidak sadar telah membius dan membodohkan konsumennya. Para orang tua yang cerdas akan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Sekolah (SD, SMP, SMA) dan Perguruan Tinggi yang terbaik mutu pendidikannya adalah justru mereka yang berani menerima siswa atau mahasiswa dengan nilai rendah (lower passing grade) namun berhasil meluluskan jumlah pelajarnya terbanyak diterima di perguruan tinggi favorit. Identik, kesalahan terbesar perguruan tinggi pun di negeri kita selama ini lebih banyak jumlah prosentasenya karena meluluskan mahasiswanya untuk siap bekerja ketimbang siap membuka lapangan pekerjaan baru, atau berani terjun langsung ke masyarakat paling bawah yang tidak memiliki kesempatan kuliah seperti mereka serta butuh bimbingan para sarjana-sarjana baru ini.

Sebagai orang tua murid yang baik juga tidak memaksakan kehendaknya untuk memilih subjek fakultas dan jurusan mata kuliah yang akan diambil. Hati-hati dengan menyikapi kata talenta dan bakat. Jangan meng-fixed-mindset-kan pikiran anak, bertentangan dengan konsep neuroplastisitas. Biar bagaimana pun yang terbaik adalah menanyakan langsung kepada anak yang bersangkutan inginnya mengambil kuliah jurusan apa. Orang tua di sini hanya membantu menunjukkan memberikan gambaran apabila mereka lulus seperti apa kenyataan di lapangan tempat riil-nya mereka akan bekerja sesuai dengan bidang dan industrinya. Orang tua wajib bantu menemukan 'gue banget'-nya si anak. Karena motivasi dan hasrat tertinggi  yang akan mereka kerjakan nanti adalah sesuatu bidang yang benar-benar disukai dan dicintai, dengan desired neural pathways di kepalanya.

Otak setiap anak manusia plastis. Artinya dapat berubah sepanjang usia. Ada konsep neuroplasticity. Walau plastis, kecenderungan connectome kumpulan dari jalur pikiran pathways seseorang tidak banyak berubah. Tidak ada satupun connectome di dunia yang sama. Karenanya every brain is unique. Di teori kepribadian dikenal dengan karakter seseorang adalah sifat-sifat kepribadian yang cenderung menetap. Secara bentuk fisiknya karakter ini dianalogikan sebagai connectome otak pikiran tadi. You're your connectome. Mendengar kata connectome paling mudah membayangkan satu pohon besar yang rindang daunnya. Faktanya setiap hari bahkan setiap menit ada daun (analogikan seperti neuron) yang jatuh mati berguguran. Dan setiap saat pula ada dedaunan yang tumbuh baru. Kalau kita amati dari jauh kecenderungan bentuk pohon tersebut tidak berubah. Demikian connectome manusia. Namun apakah bisa berubah? Jawabannya: ya pasti dapat berubah. Kita potong beberapa dahan pohon secara ektsrim, pastinya bentuk tampak pohon itu berubah. Persis seperti connectome otak kita.

Jadi sepakat ya, walau kecenderungan bentuk connectome yang mewakili pola pikir dan pola perilaku seorang siswa atau mahasiswa tidak berubah, namun kabar gembiranya memang benar dapat berubah dan dapat diubah, sesuai konsep neuroplastisitas tadi. Dari hasil-hasil penelitian neurosains dunia ada 3 faktor utama yang bisa berpotensi mengubah connectome seseorang pelajar atau mahasiswa tadi, termasuk diri kita di sepanjang usia, yaitu; pertama, bila terjadi kejadian khusus.

Misal pasangan hidupnya yang dicintai meninggal. Atau anak kesayangannya ditangkap di kantor polisi karena berbuat dan terlibat perbuatan kriminal. Juga contoh lainnya; ayahnya seorang pejabat yang selalu dibangga-banggakan tiba-tiba muncul di televisi dengan memakai rompi orange karena berurusan dengan tindakan korupsi yang dilakukannya. Shock berat tentunya. Bahkan kejadian lainnya yang sering luput juga akibat bencana alam. Banjir bandang, longsor, tsunami, gemba bumi, likuifaksi dan bencana alam lainnya yang menelan korban jiwa seluruh anggota keluarganya tak tersisa kecuali dirinya yang selamat dan masih hidup. Sementara masyarakat cepat tanggap asyik mengumpulkan makanan, minuman, obat-obatan dan pakaian bekas serta selimut dan membangun shelter-nya. Prioritas tidak kalah penting juga adalah mengirim para psikolog praktis yang memberikan atau mendirikan trauma healing center mengatasi secepatnya mencenggah gangguan kejiwaan berkepanjangan yang sesungguhnya secara fisik ilmiah berpotensi merubah connectome tadi.

Faktor penyebab kedua adalah dampak narkoba. Sebenarnya faktor penyebab perubah connectome ini yang terjahat. Kenapa? Karena kebiasaan dan ketagihannya sesungguhnya dapat diberhentikan. Namun dampak chemicals-nya sangat panjang. Selain merontokan sinaps sambungan-sambungan antar neuron sel otak, juga mematikan neuron-neuron di kepala kita. Walau ada konsep neurogenesis, kelahiran neuron yang tumbuh, namun proses recovery-nya sangat lama, bisa tahunan. Selain membuat bodoh, jadi sering sakit-sakitan karena melemahkan sistem daya tahan tubuh pengguna.

Faktor penyebab terakhir, yang ketiga adalah; upaya sungguh-sungguh dengan merancang program perilaku baru yang positif secara berulang dan komit merealisasikannya setiap hari selama 1,5 bulan, 3 bulan, setahun, dan seterusnya. Cara inilah yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan dunia di dalam konsep manajemen bisnis modern yang merubah dan mengembangkan perilaku karyawan-karyawannya. Cara ini pula yang harusnya menjadi tanggung jawab para pendidik di sekolah dan kampus untuk turut membentuk sikap perilaku yang positif sesuai masing-masing agama dan kepercayaan serta nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara kita.

Perkembangan jiwa, menumbuhkan kesadaran diri dan berpikiran logis merupakan menjadi tanggung jawab pendidik tidak hanya di bangku sekolah atau kuliah. Terutama juga kedua orang tuanya. Orang tua yang bijak harus mengetahui ini di zaman now dengan pengaruh perubahan teknologi terutama mencegah anak dari ketagihan game dan pornografi. Adiksi lainnya terutama ketergantungan narkoba harus disetop dan diberantas ramai-ramai. Dukungan lingkungan masyarakat sangat diperlukan di sini. Demikian juga mereka yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus harus diperlakukan dengan tepat. Karena semuanya memiliki hak untuk sukses. Autisme, ADHD, ADD, psychological disorder lainnya pada prinsipnya semua harus bisa ditangani secara baik dan optimal. Sama seperti kehidupan senior yang butuh perhatian khusus juga. Paling terpenting adalah memperhatikan dan menjaga kesehatan inteligensia mereka yang semuanya berasal dari pikiran. Pengetahuan neurosains praktis dapat mencegah penyakit-penyakit demensia, parkinson, alzheimer, dan penyakit neurodegeneratif lainnya. Neurosains penting bagi kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. (BIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun