Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana Alam Berpotensi Mengubah Connectome Seseorang

19 Februari 2020   12:30 Diperbarui: 19 Februari 2020   12:31 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community.

Jakarta, 19 Februari 2020. Pengalaman merupakan guru terbaik dalam kehidupan seseorang. Kalimat ini sering kita dengar ataupun kita temukan dalam bahan bacaan. Rekaman peristiwa yang ekstrim bahkan menjadikan pengetahuan seseorang yang paling dalam membentuk jalur-jalur pikiran otomatis yang tebal. 

Banyak kejadian-kejadian khusus tidak hanya ditinggal kekasih, korban pemerkosaan, akibat tindakan kriminal, ataupun kecelakaan yang menelan banyak maut anggota-angota keluarganya. Terutama pada bencana alam yang sering dan tak dapat dihindari terus terjadi di negeri kita tercinta ini secara acak. Gempa bumi, banjir tsunami, likuifaksi, gunung meletus, badai, banjir bandang, longsor, dan  lain-lain. 

Dampak peristiwa bencana alam ini akan berbeda-beda disikapi oleh setiap induvidu korban yang menyaksikan langsung sesuai dengan ketahanan mental (mental toughness) dan kapasitas mental (mental capacity) seseorang. Bagaimana mereka merespon dan menyikapinya. Kejadiannya (event) bencana tersebut tidak dapat dirubah, sudah terjadi. 

Akibat dari peristiwanya yang bisa kita minimalis, dan bisa dirubah, bahkan diperbaiki. Hal yang paling penting untuk menjadi prioritas bukan saja bantuan makanan-minuman, pakain bekas dan kebutuhan penampungan tempat tinggal sementara (shelter). Luka pun dapat diobati, tapi luka non-fiksi yang tidak kasat mata ini juga paling terpenting memperoleh penanganan secepatnya. Agar tidak mengguncang kejiwaan dan pikirannya. Berpotensi merubah connectome otaknya, merusak pola berpikir dan berperilakunya, agar tidak menjadi traumatik yang berkepanjangan.

Masih ingatkah peristiwa bencana alam yang menelan korban di Sulawasi Tengah, Jumat (28/9/2018) lalu? Daerah yang terkena gempa di antaranya: Palu, Donggala, Sigi, Parigi Muotong, Petobo, Mamuju dan daerah sekitarnya. Gempa besar dengan kekuatan 5,9 SR dan disusul 7,7 SR ini diikuti banjir tsunami dan pergerakan tanah lumpur likuifaksi. 

Tidak hanya menenggelamkan manusia, bahkan ada beberapa desa yang hilang ditelan bumi seketika. Pemerintah bersama masyarakat bergerak cepat menangani bencana alam ini (natural disaster). Membaginya menjadi 3 tahapan besar yaitu; 1) tahap tanggap darurat, 2) tahap rehabilitasi, dan 3) tahap rekonstruksi, agar kota-kota dan desa-desa tersebut dapat bangkit dan segera dibangun kembali hingga beraktivitas normal.

Bangunan-bangunan fisik dan fasilitas umum yang rusak tidak sepenuhnya dapat diperbaiki. Bahkan lebih banyak yang harus dibangun baru. Demikian juga, tidak kalah pentingnya upaya-upaya yang dilakukan terkait dengan proses pemulihan manusianya. Jenazah-jenazah dikumpulkan untuk dapat segera dikebumikan. 

Korban yang masih hidup dengan luka-luka, luka terbuka dan patah tulang segera ditangani, diobati dan disembuhkan. Setelah itu dipastikan lingkungan kesehatan, keamanan, kenyaman untuk dapat meneruskan hidup. Penyediaan makan-minum, tempat tinggal, fasilitas umum (seperti MCK) dan posko perawatan kesehatan harus segera tersedia dan tertangani dengan baik.

Kesehatan yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya kesehatan fisik. Terutama masalah perkembangan kejiwaannya. Kesehatan jiwa, pikiran, perasaan, mental dan kesehatan inteligensia semuanya terkait dengan kesehatan otak yang harus perlu segera juga ditangani. Khususnya bagi anak-anak kecil; bayi dalam kandungan, bayi balita, batita dan remaja. 

Trauma atas kejadian tertentu seperti bencana alam merupakan suatu bahasan tersendiri karena tidak sesederhana menanganinya (traumatic event). Lebih berbahaya lagi pada pasca kejadian, dikenal juga dengan sebutan: PTSD - post traumatic stress disorder.

Pembahasan mengenai PTSD ini menjadi sangat penting. Karena tidak hanya berdampak kepada kejiwaan, tapi juga berpengaruh kepada kesehatan fisik. Menurut Paul Erickson, MD telah banyak dilakukan penelitian terkait PTSD, yang tidak selalu membawa petunjuk memuaskan, sehingga beberapa sepertinya tidak berkaitan. 

Kebanyakan orang mengalami PTSD namun tidak berkepanjangan ("Non-Develop PTSD"). Sementara yang berbahaya dan perlu dideteksi sedini mungkin mereka yang berpotensi mengalami "Develop PTSD" yang berkepanjangan dengan perbedaan signifikansinya berdampak kepada kondisi fisiologis.

Trauma menyisakan rekaman kejadian dengan sangat kuat di ingatan jangka panjang dalam kepala mereka. Lebih berbahayanya berkepanjangan dan "berkembang" (develop). Tidak hanya terjadi perbedaan pada genetika, tetapi juga pengaruh terhadap perubahan hormonal dan neuro endocrine serta lainnya. Gejala-gejalanya (symptoms) dapat terdeteksi terutama di bulan pertama. Kemudian cek dan dimonitor sampai dengan 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya, bahkan bertahun-tahun.

Mengenali gejala PTSD

Disadur dari klikdokter.com - tulisan penjelasan PTSD yang merupakan gangguan psikis rentan dialami oleh seseorang yang mengalami peristiwa mengerikan, terjadi mendadak, dan mengancam kehidupannya. Tak hanya itu, PTSD juga bisa dialami oleh seseorang yang menyaksikan suatu kejadian mengerikan oleh orang terdekatnya. Gejala awal PTSD bisa muncul segera setelah peristiwa mengerikan tersebut terjadi. Kondisi ini secara medis lebih tepat disebut sebagai gangguan stres akut. PTSD juga bisa baru muncul beberapa bulan setelah peristiwa bencana.

Gejala-gejala yang timbul

Gejala yang timbul dapat berupa mimpi buruk terkait peristiwa yang dialami dan menyebabkan tidur menjadi tidak nyenyak. Kadang dapat timbul flashback (memori tentang peristiwa bencana diingat lagi dan merasakan sensasi bahwa hal itu terjadi lagi). Ketakutan hebat yang menyebabkan penderita PTSD menghindari pembicaraan terkait dengan peristiwa bencana, dan berusaha sebisa mungkin tidak mengingat orang-orang yang bersamanya dalam situasi tersebut. 

Susah tidur, mudah marah dan gelisah, dan terlihat cemas sepanjang hari. Sulit berkonsentrasi, menjadi mudah lupa, tidak nafsu makan, dan menjadi malas beraktivitas.

Jika gejala di atas hanya terjadi selama beberapa hari sesudah kejadian traumatis, hal itu masih wajar. Pada PTSD, gejala-gejala ini bisa berlangsung selama lebih dari satu bulan dan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan dapat mengganggu aktivitas bekerja dan bersekolah.

PTSD lebih rentan terjadi pada orang yang mengalami kehilangan orang terdekat saat bencana. Orang yang kekurangan dukungan sosial pasca kejadian. Dan orang yang mengalami masalah kesehatan serius akibat bencana tersebut.

PTSD harus ditangani dengan serius melalui pengobatan oleh psikiater. Pengobatannya berupa konseling, psikoterapi, dan obat-obatan. Jika PTSD dibiarkan atau tak ditangani dengan baik, gangguan tersebut bisa memberikan dampak jangka panjang seperti rentan menjadi pecandu narkoba atau alkohol, mengalami gangguan mental, dan sulit untuk menjalin relasi yang akrab dengan orang lain.

Sebagai catatan tambahan; perlu diketahui bahwa gejala PTSD adalah sangat normal, terutama untuk jangka pendek. Penentuannya ada di bulan pertama. Contoh kasus seperti kejadian WTC 9/11 di AS. Setelah sebulan diketahui 7,5% dari penduduk di sana dinyatakan terjangkit PTSD. Namun 6 bulan kemudian drop hingga tinggal 0,6%.

Sejarah PTSD

Rachael Yehuda, seorang psikolog meneliti PTSD pada korban yang selamat dari pembunuhan massal "Holocaust" - genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman pada musim panas tahun 1944, terhadap 6 juta penganut Yahudi Eropa selama perang dunia II. Dari 9 juta Yahudi yang tinggal di Eropa, hanya sepertiga yang selamat.

Pada tahun 1761 Leopold, dikenal dengan istilah "nostalgia tentara". Sedangkan pada perang dunia I awalnya dikenal juga dengan sebutan "soldier's heart", karena diduga sebelumnya terkait dengan keadaan kondisi jantung. Akhir abad ke 19, Inggris mengalami railway accidents. Dalam perang dunia I dikenal dengan nama "shell shock" - sakit pikiran kejiwaan karena perang atau "war neurosis". Sedangkan perang dunia II ada "battle fatigue" dengan treatment yang disebut PIE (Proximity Immediacy and Exposure).

Kemudian lebih luas lagi dikenal secara umum dengan kategorisasi gangguan mental yang akrab terdengar dengan istilah DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). DSM 1 tahun 1952, terkait dengan sindrom perang grilya Vietnam. 9% dari 20% tentara AS yang ditugaskan perang Vietnam mengalami gangguan pasca trauma.

Tahun 1980 - DSM 3, bahasan konsep PTSD menjadi lebih luas. Perang di Brussels, Irak, dan Afghanistan. Tercatat jutaan pengungsi Syria, Turki. Sepertiga dari jumlah mereka terdiagnosa mengalami PTSD.

Selanjutnya, yang paling akhir lebih mengekspos PTSD dengan kriteria DSM 5. Trauma yang nyata, hingga mengakibatkan kematian (serious injury dan sexual violence). Mengalami secara langsung, menyaksikan, terjadi dengan orang lain, mempelajari atau membayangkan bila itu terjadi dengan anggota keluarga sendiri, atau mengalaminya secara ekstrim. Definisi-definisinya meluas (dibanding DSM 3), seperti pengalaman dari seorang yang threatened death atau serious injury tadi.

Perkembangan PTSD ini juga sangat prihatin terutama pada anak muda yang mengalami memori intrusif, flashback, nightmare, reacting to cues, avoidance, numbing, hyper-vigilance, hyper arousal, irritability insomnia. Jalan pintasnya (untuk melupakan trauma) pun sangat menyedihkan, yaitu lari ke alkohol, heroin dan narkoba lainnya. Dorongannya hanya karena merasakan terus menerus anxiety, tidak dapat berkonsentrasi, merasa ingin terjun bebas, mudah terkejut atau kagetan, tidak dapat tidur, menyakiti diri sendiri, dan hingga ingin bunuh diri.

Lebih detil bahasannya, dan sangat direkomendasikan membaca buku yang ditulis oleh Judy Herman dengan judul "Trauma and Recovery." Dampak buruk PTSD seperti telah dijelaskan sebelumnya, kepada chronical illness yang menimbulkan penyakit jantung (detak jantung lebih cepat dan tekanan darah tinggi), diabetes, obesity, hypertension, dll. Dr. Frawley dan Paul Erickson, MD banyak membicarakan dampak penyakit kronis ini yang disebabkan trauma.

Neurobiologi untuk PTSD

"Develop PTSD" berdampak kepada kesehatan pasien secara menyeluruh. Walau sumber utama bahasannya ada di lingkup interkoneksi antar neuron (neurosains), khususnya di nervous system. Tapi ANS (autonomic nervous sysyem) ini juga berhubungan dengan sub sistem lainnya, seperti: cardiac system, circulatory system, respiratory system, digestive system, endocrine system - hormones, excretory system, immune system, reproductive system, skeletal system, muscular system, dan integumentary system - skin.

Salah menangani akan berdampak buruk dan fatal. Perhatikan faktor-faktor penyebab resiko. Seperti dosis trauma yang berbeda-beda, low social support, riwayat keluarga trauma, dan juga variabel-variabel fisiologis; low heart rate, low cortisol, dstnya.

Di dalam otak, rasa takut diproses di "amygdala" pusat emosi yang memainkan peranan sangat penting. Dia bisa melakukan mem-bypass "cortical circuits". Terutama dalam keadaan bahaya dan terancam. Fight, flight, dan freeze responses. Pada kasus PTSD, otak menuliskan atau mengkodekan memori secara keras ke dalam ingatan jangka panjang ini (high rate of anxiety atau autonomic response). Misal seketika tentara veteran merasakan dalam keadaan sangat was-was (hyper-vigilant, dan highly arouses distressed state) pada saat istrinya memanggang kue. Ternyata bau harum dari salah satu backing powdernya mengingatkan bau bahan peledak saat beliau perang.

Pada saat pasien menderita trauma, ingatan rasa sakit dan semua konteksnya tertuju dan terfokus pada proses trauma itu sendiri. Semua isyarat yang terkait (dari kelima panca indra) merupakan input ke amygdala, dan amygdala pun spontan meresponnya. Dan outputnya terkirim ke hypothalamus, serta diteruskan ke batang otak (brainstem) dan area otak lainnya.

Amygdala adalah bagian organ otak yang menjadi pusat pemrosesan "ancaman" tadi. Pada pasien "Develop PTSD" amygdala akan lebih hiperaktif dibanding yang "Non-Develop PTSD".

Partnernya amygdala adalah PFC (prefrontal cortex) dan ACC (anterior cingulate cortex). Bagian organ otak ini berfungsi sebagai eksekutif yang akan mengevaluasi seberapa pentingnya ancaman tersebut (sinyal dari amygdala tadi). Intinya PFC dan ACC berfungsi sebagai pengendali proses inhibitasi stress response.

ACC bekerjasama dengan amygdala untuk meredam respon panik tadi. Dengan partneship kedua organ ini, maka pasien mulai berani melakukan sesuatu yang sangat dekat dengan ingatan trauma mereka. Kondisi respon rasa takut dikurangi atau bahkan dipadamkan. Hal itu merupakan sebuah active learning process.

Sekali lagi, di dalam ilustrasi tadi yang menggambarkan "fear circuits" pasien PTSD. Amygdala yang menjadi pusatnya. Di sini lah anxiety dan fear signals diproses. Kemudian mPFC (medial prefrontal cortex), dan di bawah nya ada PFC yang ngobrol dengan amygdala. Hippocampus pun terlibat dengan fear circuit ini atau "rangkaian ketakutan", yang memainkan peranan pentingnya dalam hal kontekstual.

Hippocampus merupakan pusat ingatan. Namun memori juga disimpan di bagian lainnya. Memori terbesar ada di Hippocampus. Bagaimana hubungannya dengan PTSD? Terbukti dari hasil riset-riset neurosains yang dilakukan, rata-rata ukuran Hippocampus lebih kecil pada pasien yang mengalami Develop PTSD (dibanding yang Non-Develop PTSD). Hal tersebut diduga karena trauma volume produksi gluco corticoids bertambah, yang merusak hippocampus. Hasil penelitian terhadap 2 orang tentara kembar yang dikirim bertugas perang ke Vietnam. Di mana di sana diperlakukan berbeda; yang satu benar-benar melakukan perang, sedangkan yang satunya tidak. Ukuran hippocampusnya lebih kecil pada si kembar yang benar-benar melakukan perang dan mengalami Develop PTSD. Pengecilan hippocampus berdampak pada penurunan fungsi fleksibilitas kognitif pasien.

HPA Axis

Seperti diketahui adanya 3 sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu: hypothalamic-pituitary-adrenal axis. Atau sering disingkat HPA axis. Rangkaian sirkuit yang berbasiskan neuro dan endocrine ini berkaitan erat dengan PTSD. Memperoleh sinyal masukan dari hippocampus dan amygdala, yang dideregulasi di dalam tubuh pasien yang mengalami PTSD.

Jadi dalam keadaan normal stress response pada hypothalamus. Sedangkan pada saat memperoleh input dari amygdala yang dimodulasikan oleh rangkaian sirkuit corticocotropin-releasing hormone (CRH) yang akan meningkat. Dan meningkatnya output ACTH (andreno corticotropic hormone) yang doproduksi kelenjar pituitary sebagi sinyal masukan untuk adrenal medulla yang merilis kortisol. Sedangkan kortisol menjadi umpan balik negatif (negative feedback loop) kepada anterior pituitary dan hypothalamus. Begitulah dalam keadaan normal, sistem bekerja untuk mengatur keseimbangan hormon di otak (homeostasis). Pengaturan otomatis atau sering dikenal dengan istilah "self-regulating".

Sebaliknya, bagaimana bila dalam keadaan tidak normal yang terjadi pada pasien Develop PTSD, di mana justru mengalami kekurangan kortisol menyebabkan CRF menurun. Berbeda halnya sistem CRF pada kasus depresi yang menaikan cortisol dan menurunkan glucocorticoid. Respon balik ke hypothalamus menjadi lebih lemah (negative cortisol feedback).

Hal ini yang menyebabkan dampak pada pasien yang Develop PTSD memiliki jumlah kortisol semakin sedikit pada saat trauma (dibanding pasien yang Non-Develop PTSD). Seperti pada kasus seorang ibu yang mengalami trauma Develop PTSD akibat kejadian Twin Tower 9/11 dibanding dengan ibu yang juga memiliki bayi tapi Non-Develop PTSD. Bayi dari seorang ibu yang Develop PTSD tadi memiliki kortisol yang lebih sedikit.

Respon yang mengejutkan, respon ketakutan, hyper arousal, anxiety akan lebih tinggi pada pasien yang memiliki tingkat CRH yang juga lebih tinggi di dalam CNS-nya (central nervous system). Dengan pengobatan medis menggunakan obat yang memblok CRH pada penderita PTSD. Catecholamine dan norepinephrine pada pasien PTSD juga lebih tinggi, yang mendorong kerja automatic stress response.

Seperti hal nya PNS (periphery) dan CNS, di bagian locus coeruleus sama-sama memiliki neuron-neuron norepinephrine yang diatur. Pekerjaannya PFC ke Amygdala ke Hippocampus, dan ke Hypothalamus.

Pada saat setelah traumatic event, pasien akan banjir norepinephrine di kepalanya. Di sinilah terjadinya pengkodean ingatan-ingatan memori kejadian melekat sangat kuat. Lebih kuat terjadi pada pasien yang Develop PTSD. Dan sangat mudah ingatan ini muncul pada saat diberikan salah satu triger atau stimulus elemen panca indra, seperti: bau rasa tertentu, warna, atau gambar tertentu, bunyi-bunyian termasuk musik dan lagu yang berhubungan dengan kejadian trauma tersebut.

Pasien dengan Develop PTSD memiliki ingatan trauma yang lebih kuat. Mereka dibanjiri norephineprine pada sistem tadi. Kurangnya feedback break, yang menghasilkan glucocorticoids cortisol. Karenanya, ingatan yang menyeramkan sangat kuat dikodekan di memori si pasien. Norepinephrine yang dihasilkan tadi oleh kelenjar adrenal. Sympathetic response akan mempercepat detak jantung, dan meninggikan tekanan darah, juga membuat nafas terengah-engah, serta mempengaruhi sympathetic system secara umum.

Serotonin juga memainkan peranan penting di sirkuit otak. Terutama juga pada batang otak (brainstem) yang memberikan perintah seluruh organ tubuh yang sering tak disadari oleh kita. Ada juga neurotransmitter lainnya; yaitu reseptor GABA (gamma-aminobutyric acid) yang diregulasi pada pasien PTSD. Pada pasien yang menderita Develop PTSD akan terlihat memiliki jumlah reseptor GABA yang lebih sedikit, yang seharusnya bekerja menginhibitasikan transmisi sistem glutamat. Kelebihan glutamat akan menderita cytotoxic. Kerusakan di antaranya pada fungsi anterior cingulate, dan tentunya bagian organ lainnya.

Berikutnya "Neuropeptide Y" pada pasien veteran perang Vietnam yang Non-Develop PTSD, sirkulasi neuropeptide y-nya lebih tinggi. Sedangkan pasien yang Develop PTSD sirkulasinya lebih rendah, sehingga mengkonsumsi endogenous opioids (seperti; endorphin, enkephalin, dynorphin). Para veteran perang yang mengalami luka serius di medan perang, dan diberikan morphine untuk mengurasi rasa sakit, terbukti cenderung Non-Develop PTSD. Jadi lebih baik ternyata dampaknya pada pasca trauma.

Epigenetics

Begitu pula dampak pada genetika. Volume hippocampal (hippocampus) yang mengecil ukurannya membuat reaktif amygdala meningkat. Hal ini terjadi pada pasien yang menderita Develop PTSD. Ekspresi gen transporter serotonin yang lebih rendah, merupakan resiko pada pasien tersebut. Varian gen GCR (gluco corticoid receptor) juga beresiko pada pasien PTSD. Terjadi pada trauma kekerasan masa kecil anak yang dialami. Demikian juga pada orang dewasa varian gen C MOT berhubungan dengan resiko PTSD tadi. Hal semua ini yang menyebabkan regulasi tidak menjadi seimbang pada gangguan noreponephrine, gangguan dopamine, gangguan glucocorticoid yang terjadi pada gen-gen tadi.

Sama halnya dengan epigenetics sangat berperan penting hubungannya dengan PTSD. Suatu perubahan fenotipe atau ekspresi genetika. Menurut Paul Erickson, MD secara umum epigenetika merupakan suatu fenomena yang memainkan peranan penting di dalam mental health disorders.

Epigenetika berpengaruh memodulasi ekspresi genetika pada konsekewensi protein dan neurotransmitters yang akan dibuat. Kerja mekanisme utamanya pada ekspresi mengaktivasi methylation DNA (deoxyribonucleic acid). Demikian juga pada ekspresi gen untuk mikro RNA (ribonucleic acid) yang terlibat. Proses epigenetika ini yang sangat memerankan di dalam trauma. Terbukti pada penelitian Rachael Yehuda tadi, pada penderita pasca trauma genosida (Holocaust survivors) ditemukan gen glucocortioid receptor di dalam tubuhnya mengandung jumlah methylation yang tinggi.

Bagaimana mencegah dan menangani PTSD?

Sebenarnya tidak ada pedoman baku mengenai bagaimana cara untuk menangani trauma. Tiap orang memiliki mekanisme psikologis berbeda-beda untuk bisa membuat dirinya nyaman setelah menghadapi peristiwa traumatis.

Namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk bisa mencegah PTSD:

Menjalin komunikasi yang intensif dengan orang terdekat. Menceritakan apa yang dipikirkan dan dirasakan kepada orang terdekat. Mendekatkan diri pada Tuhan, serta berusaha menemukan hikmah dari peristiwa yang dialami. Membantu orang lain yang mengalami kondisi yang lebih berat. Meyakini bahwa peristiwa tersebut akan berlalu dan berakhir dengan baik. Terapi relaksasi dengan cara menarik napas dalam perlahan dan mengembuskannya. Lakukan berulang setidaknya selama lima menit. Melakukan aktivitas yang menyenangkan, yang dapat mendistraksi ketakutan dan rasa cemas. Mendengarkan musik yang menenangkan.

Jika kita memiliki keluarga atau rekan yang baru saja mengalami gempa Sulawesi atau peristiwa traumatis lainnya, kita juga bisa membantunya untuk terhindar dari PTSD. Tanyakan padanya atau pada korban gempa yang mengalami trauma, apa yang membuatnya nyaman saat ini, apa yang ingin atau tidak ingin dibicarakan olehnya. Dan bila perlu ajak dirinya untuk berkonsultasi atau berdiskusi dengan psikolog, psikiater, dokter dan neuroscientist.

Advis Paul, hati-hati dengan childhood maltreatment. Berikut ini diadakan penelitian dengan mengelompokan responden ke dalam 3 group: 1) responden yang terekspos trauma tanpa PTSD, 2) responden yang terekspos trauma dengan PTSD tanpa trauma masa kecil kanak-kanak, 3) responden yang terekspos dengan PTSD dengan trauma masa kecil kanak-kanak. Hasilnya; ekspresi genetika antara group 2 dan group 3: "almost completely non-over lapping". Ekpresi gen berubah di lokus yang sama, yang sepertinya dimediasi oleh DNA.

CBT atau cognitive behavioral therapy merupakan salah satu metode terapi yang paling efektif. Biasanya 8 s/d 12 pertemuan CBT dilakukan secara proper dan signifikan membantu pasien PTSD.

Metode psikoterapi lainnya yang juga efektif adalah "exposure therapy". Pasien diajak kembali ke masa trauma yang mereka alami. Mereka diminta untuk bertahan apa yang dialami sementara mengalaminya kembali. Dan diminta untuk berusaha terus memadamkannya. Seperti memindahkan respon rasa ketakutan yang sirna. Melatih dengan mengaktifkan fungsi PFC lebih banyak. Namun melalui metode ini (exposure therapy) pasien tidak banyak bertahan, karena sangat merasakan kesedihan.

EMDR (eye movement desensitization and reprocessing) juga merupakan suatu metode terapi yang dapat dilakukan. Pasien diminta untuk menceritakan kembali kisah tentang traumanya, dengan mengamati atau mengikuti ritme gerakan mata yang sangat cepat. Terapi ini terbukti efektif.

Grady Hospital menerapkan metode terapi ER (endoplasmic reticulum). Mereka menseleksi trauma pasien. Menggunakan imaginal exposure, seperti fear extinction immediately setelah trauma. Dan cara ini ternyata efektif. Pengobatan medis juga diaplikasikan dengan menggunakan obat-obatan serotonin yang beta blockers dan aplha 2 blockers.

Setelah perang, di Irak pernah dilakukan terapi kepada 696 pasien yang Develop PTSD, dengan menggunakan morphine. Membantu pasien PTSD yang mempunyai level kortisol di bawah batas ambang. Sangat efektif membantu memgurangi gejala-gejala PTSD.

Pada penelitian ditemukan juga bahwa ukuran volume ACC pasien yang PTSD. Ternyata jumlah volumenya mengecil. Hal ini berkaitan dengan studi Dcylo yang menggunakan NMDA agonis parsial. NMDA atau N-methyl-D-aspartat. Reseptor NMDA sangat penting untuk mengontrol plastisitas sinaptik dan fungsi memori.

Aktivitas di komunitas Neuronesia

Sesuai dengan visi misi komunitas ini, yaitu "Indonesia Cerdas Berahlak Mulia", persoalan trauma pasca bencana menjadi salah satu perhatian khusus. Setelah mengejar kertertinggalan pembangunan fisik infrastruktur di sana-sini, pembangunan mutu sumber daya manusia menjadi prioritas utama untuk mencapai Indonesia Maju yang masih sesuai dengan visi misi komunitas ini.

Pada saat kejadian bencana alam di Sulawesi Tengah tersebut di atas, beberapa anggota komunitas Neuronesia mendatangi lokasi bencana. Di antaranya Imang Jasmine Batik, pembatik dan fotografer yang meliput langsung dari lokasi berupa texting, gambar dan video (termasuk gambar-gambar yang diunggah di sini adalah karya beliau). Dr. Tauhid Nur Azhar, SKed., M.Kes. juga berangkat ke lokasi berkoordinasi dengan tim RS Wahidin Sudirohusodo untuk bantuan Palu. Sementara Bp. Jesse Monintja , Psy., M.A. berkoordinasi dengan Jawa Post yang juga berangkat untuk membangun Trauma Healing Center Darurat. Dr. Hj. Novita Sabjan juga telah melaporkan bahwa Jawa Tengah memberangkatkan tim beserta obat-obatan. Beberapa rumah sakit milik provinsi Jawa Tengah juga mengirimkan tenaga ahli, seperti: dokter bedah, dokter anastesi, dan para perawat ke Sulawesi. Menurut info Dr. Tauhid bahwa kemarin teman-teman dokter emergency shift di bawah koordinasi Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dan IDI juga berangkat, direct to Palu.

Kami semua berharap dan turut mendoakan agar Palu, Donggala dan daerah-daerah bencana alam lainnya dapat bangkit dan pulih kembali membangun masyarakat sehat dan sejahtera. Semoga tulisan ini juga dapat menjadi pengetahuan bersama kita. Setidaknya agar penanganan bencana alam ke depannya bisa lebih efektif, sehingga seminimalis mungkin jumlah  korban dengan trauma yang berkepanjangan dan yang merusak mental anak bangsa.  Aamiin. (BIS)

#neuronesia
#neurobiologyofptsd
#posttraumaticstressdisorder

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun