Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community.
Jakarta, 19 Februari 2020. Pengalaman merupakan guru terbaik dalam kehidupan seseorang. Kalimat ini sering kita dengar ataupun kita temukan dalam bahan bacaan. Rekaman peristiwa yang ekstrim bahkan menjadikan pengetahuan seseorang yang paling dalam membentuk jalur-jalur pikiran otomatis yang tebal.
Banyak kejadian-kejadian khusus tidak hanya ditinggal kekasih, korban pemerkosaan, akibat tindakan kriminal, ataupun kecelakaan yang menelan banyak maut anggota-angota keluarganya. Terutama pada bencana alam yang sering dan tak dapat dihindari terus terjadi di negeri kita tercinta ini secara acak. Gempa bumi, banjir tsunami, likuifaksi, gunung meletus, badai, banjir bandang, longsor, dan lain-lain.
Dampak peristiwa bencana alam ini akan berbeda-beda disikapi oleh setiap induvidu korban yang menyaksikan langsung sesuai dengan ketahanan mental (mental toughness) dan kapasitas mental (mental capacity) seseorang. Bagaimana mereka merespon dan menyikapinya. Kejadiannya (event) bencana tersebut tidak dapat dirubah, sudah terjadi.
Akibat dari peristiwanya yang bisa kita minimalis, dan bisa dirubah, bahkan diperbaiki. Hal yang paling penting untuk menjadi prioritas bukan saja bantuan makanan-minuman, pakain bekas dan kebutuhan penampungan tempat tinggal sementara (shelter). Luka pun dapat diobati, tapi luka non-fiksi yang tidak kasat mata ini juga paling terpenting memperoleh penanganan secepatnya. Agar tidak mengguncang kejiwaan dan pikirannya. Berpotensi merubah connectome otaknya, merusak pola berpikir dan berperilakunya, agar tidak menjadi traumatik yang berkepanjangan.
Masih ingatkah peristiwa bencana alam yang menelan korban di Sulawasi Tengah, Jumat (28/9/2018) lalu? Daerah yang terkena gempa di antaranya: Palu, Donggala, Sigi, Parigi Muotong, Petobo, Mamuju dan daerah sekitarnya. Gempa besar dengan kekuatan 5,9 SR dan disusul 7,7 SR ini diikuti banjir tsunami dan pergerakan tanah lumpur likuifaksi.
Tidak hanya menenggelamkan manusia, bahkan ada beberapa desa yang hilang ditelan bumi seketika. Pemerintah bersama masyarakat bergerak cepat menangani bencana alam ini (natural disaster). Membaginya menjadi 3 tahapan besar yaitu; 1) tahap tanggap darurat, 2) tahap rehabilitasi, dan 3) tahap rekonstruksi, agar kota-kota dan desa-desa tersebut dapat bangkit dan segera dibangun kembali hingga beraktivitas normal.
Bangunan-bangunan fisik dan fasilitas umum yang rusak tidak sepenuhnya dapat diperbaiki. Bahkan lebih banyak yang harus dibangun baru. Demikian juga, tidak kalah pentingnya upaya-upaya yang dilakukan terkait dengan proses pemulihan manusianya. Jenazah-jenazah dikumpulkan untuk dapat segera dikebumikan.
Korban yang masih hidup dengan luka-luka, luka terbuka dan patah tulang segera ditangani, diobati dan disembuhkan. Setelah itu dipastikan lingkungan kesehatan, keamanan, kenyaman untuk dapat meneruskan hidup. Penyediaan makan-minum, tempat tinggal, fasilitas umum (seperti MCK) dan posko perawatan kesehatan harus segera tersedia dan tertangani dengan baik.
Kesehatan yang dimaksud di sini tentunya tidak hanya kesehatan fisik. Terutama masalah perkembangan kejiwaannya. Kesehatan jiwa, pikiran, perasaan, mental dan kesehatan inteligensia semuanya terkait dengan kesehatan otak yang harus perlu segera juga ditangani. Khususnya bagi anak-anak kecil; bayi dalam kandungan, bayi balita, batita dan remaja.
Trauma atas kejadian tertentu seperti bencana alam merupakan suatu bahasan tersendiri karena tidak sesederhana menanganinya (traumatic event). Lebih berbahaya lagi pada pasca kejadian, dikenal juga dengan sebutan: PTSD - post traumatic stress disorder.