Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelas Terbang

21 Desember 2020   13:14 Diperbarui: 21 Desember 2020   13:34 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai melaksanakan kewajiban sebagai  seorang karyawan pabrik tekstil ternama di kawasan Bandung tepatnya Cicalengka, Ikbal yang terkenal dengan perilaku sopan santun di kalangan warganya merapikan barang bawaannya. Dia ingin segera sampai di rumah, terbayang senyuman mungil anaknya yang selalu menghibur dan menenangkan batin. Selain tergoda bayangan anak kesayangan yang kelak diharapkan menjadi tunas bangsa yang tangguh dalam menghadapi persoalan kehidupan. Di tengah ingatan yang bergelayut, tak luput pula pada pandangannya, situasi langit yang sudah menampakan warna kelam pertanda hujan akan turun.

Jaket kulit berwarna hitam pemberian sahabat dekatnya semenjak masih bujangan yang disimpan di loker lemari kerjanya, dengan lekas dia kenakan dan langsung bergegas menuju tempat penyimpanan kendaraan. Riuh riang pikir dan batinnya tak henti berkumandang menggelora membuat energitas hidupnya tampak melahirkan gambaran diri yang kokoh dalam berpendirian.

Seperti biasa, raut muka riang dan sumringah seolah tanpa ada beban hidup yang dipikul selalu menghiasi wajah sewaktu pulang menuju tempat tinggalnya. Padahal di pabrik tempat kerjanya tak jarang dia dicemooh oleh sesama karyawan yang merasa diri paling tinggi jabatan dan tak jarang pula meninggikan diri, hanya gara-gara gagap yang diderita ketika sedang melakukan pembicaraan. Makanya tidak jarang sebutan gagap sering dilontarkan oleh rekan kerjanya dengan begitu ringan tanpa beban di lidah dalam melafalkannya.  

Bagi dia cemoohan sudah menjadi santapan gurih dan renyah sewaktu berada di lingkungan kerjanya. Bagaimana tidak, setiap tindak yang dilakukan olehnya dalam menunaikan kewajiban kerjanya, beragam cemoohan dengan derasnya dilemparkan ke hadapan mukanya. Tanpa berbicara kualitas kerja yang dihasilkannya layak diperhitungkan, bahkan kalau pun mau ada yang itung-itungan mungkin kinerjanya tidak dapat terhitung.

Aneh, padahal hanya gara-gara gagap dalam berkomunikasi, cemoohan begitu mudah dan ringannya dilontarkan oleh mulut rekan kerjanya. Tidak jarang cemoohannya itu langsung mengena ke arah wajahnya. Kendati demikian, tak goyah dia dalam menjalankan tugas sebagai buruh pabrik yang penghasilannya masih jauh dari mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Apalagi dia dan keluarganya hidup di tengah beragam tuntutan kemajuan zaman.

Mungkin dia tidak pernah membayangkan akan mengalami dicemooh dan diolok-olok oleh orang yang sebangsa dengannya! Tentunya, yang sama-sama mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga masing-masing. Dan tidak menutupi kemungkinan juga para pencemooh itu lebih sukar hidupnya dibanding dengan kehidupan Ikbal.

Sesampainya di tempat penyimpanan kendaraan bermotor, tak banyak pikir dia langsung menyalakan kendaraannya dan langsung melajukan kendaraan ke arah kediamannya yang terletak tidak jauh dari pabrik tempat bekerjanya. Meskipun rumahnya tidak jauh dari pabrik, tidak jarang dia bisa sampai ke rumah dengan tidak cepat, karena kondisi jalan yang kadar kerusakannya sudah layak untuk diperbaiki bahkan kecelakaan di jalan yang dia lewati itu sudah sering terjadi. Selain keadaan jalan yang rusak, volume kendaraan yang melintas jalan yang digunakan dia pulang bukan main banyak jumlahnya. Itu yang menyebabkan jarak yang dekat tidak menjamin bisa ditempuh dengan cepat.

Selama perjalanan pulang, keriangan yang bukan dibuat-buat apalagi diada-ada masih dirasakannya, karena bagi dia pantang untuk berbuat yang dibuat-buat apalagi bertingkah mengada-ngada. Maklum dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang selalu menjalankan yang sudah ada atau diadakan.

Sesekali di atas kendaraan dia melirikan pandangan ke arah kiri dan kanan, tidak tahu apa yang menjadi sebab dia berlaku seperti itu, yang jelas melirik ke arah kanan dan kiri sudah menjadi kebiasaan dia ketika berada di atas kendaraan.

Tidak terasa, dia sudah sampai di halaman rumah yang tidak begitu luas ukurannya namun masih bisa digunakan untuk bermain anak-anaknya seumapama waktu libur sekolah tiba. Tidak lama kemudian dia pun menyimpan kendaraan dan langsung menuju ke arah pintu depan yang menjadi ruang masuk utama ke dalam rumahnya.

Di depan pintu dia sempat menarik napas secara perlahan tanda pelepas letih, yang tidak membuat dirinya merasa lelah untuk terus melakukan aktivitas sebagai seorang suami yang mempunyai kewajiban untuk menghidupi anak dan istri.

Tak lama setelah itu, dia mengetuk pintu yang dibarengi dengan sahutan. "Mah, Aku pulang".

Sudah lebih dari tiga kali dia mengetuk pintu, tapi istrinya yang berada di dalam rumah tidak kunjung membuka pintu dan sempat mengundang beragam pertanyaan yang mengherankan.

Dia sempat mengernyitkan kening, mempertanyakan sedang ke mana istrinya, pintu sudah tiga kali diketuk namun tak kunjung datang membukakan pintu.

Merasa diri sudah cukup lama berdiri di depan pintu rumah miliknya sendiri, akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu, ternyata pintu rumah tidak dikunci. Tentunya membuat dia lebih heran, karena tidak seperti biasa dia mengalami kejadian seperti ini apalagi semenjak dia mulai bekerja.

Ketercengangan sempat dialami, karena dia harus membuka pintu langsung oleh dirinya. Bukan karena tidak mampu atau manja, tapi dia melakukan itu berdasarkan komitmen yang sudah dibangun dengan istrinya. Bentuk komitmen yang sudah dibangun dan disepakati secara bersama itu adalah setiap dia pulang kerja istrinya lah yang akan membukakan pintu rumah. Ini yang menjadi alasan sampai dia tidak berani langsung masuk ke dalam rumah seumpama tidak ada yang membukakan pintu.

Memang, dia adalah seoarang suami yang sangat menjunjung tinggi kepercayaan pada pendamping hidupnya dan kuat dalam menjaga komitmen bersama yang sudah disepakati.

Ketercengangan yang dialami dia tidak terlalu dihiraukannya karena di ruang tamu anak kesayangannya yang masih berusia dua tahun menyambut kedatangan dirinya dengan tangisan histeris seakan sedang merasakan kesakitan yang begitu sangat menyayat.

Dia merasa aneh, dalam hatinya sempat bertanya, "Ke mana istrinya? Anak menangis histeris dibiarkan saja."

Pertanyaan yang digerutukan dalam hati tidak membuat dia gusar, karena dia harus lebih mengutamakan anak yang sedang menangis histeris seolah ingin menyampaikan peristiwa yang bisa membuat sakit ayahnya tapi karena keadaannya bisu apa boleh buat, anaknya hanya bisa menangis histeris.

Kebisuan yang dialami anaknya memang sudah dari sejak bawaan lahir, untung anaknya termasuk anak yang bisa menerima kenyataan nasib, tidak sedikit pun tampak ketidakpercayaan diri pada raut muka anaknya dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai anak-anak kendati pun dia mengalami kebisuan yang mungkin tidak bisa disembuhkan. Berkat ayahnya juga yang selalu menanamkan makna penerimaan terhadap keadaan yang diterima diri.

Dia langsung menggendong anaknya dan mengelus rambutnya yang hitam panjang penuh kehalusan, tidak lama kemudian anaknya pun terdiam meski meninggalkan sedikit bekas suara sedu tanda dia habis menangis.

Dalam gendongan ayahnya anak itu tampak merasakan rasa aman dan nyaman yang tiada terhingga, dan begitu khidmatnya dia meninabobokan anaknya sambil membisikan kata-kata yang  mampu melahirkan energitas di dalam jiwa anaknya untuk terus berani menjalani kehidupannya meski dia adalah anak yang bisu.

Kini dia dan anaknya menuju kamar tidur dengan maksud untuk mencari ibu dari anaknya, sesampainya di depan pintu kamar tidur, dia langsung membukakan pintu tanpa mengetuk.

Pemandangan yang memilukan untuk hatinya dia nikmati.

Di luar duga, istri yang begitu dicinta dengan sangat mendalam, sedang berhubungan badan dengan adik iparnya sendiri yang bernama Farhan.

Sungguh tragis!

Terkejut dia menyaksikan pemandangan yang tidak pernah terpikir olehnya, sampai dia mengambil gelas yang berada di meja pinggir pintu kamar tidurnya, lalu dia lemparkan ke arah muka istrinya.

"Plaaak," gelas mengarah ke muka istrinya.

Begitu cepat gelas yang dilemparkan itu, terbang menuju muka istrinya yang tampak kaget melihat suami yang memperlihatkan kegeramannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun