Tak lama setelah itu, dia mengetuk pintu yang dibarengi dengan sahutan. "Mah, Aku pulang".
Sudah lebih dari tiga kali dia mengetuk pintu, tapi istrinya yang berada di dalam rumah tidak kunjung membuka pintu dan sempat mengundang beragam pertanyaan yang mengherankan.
Dia sempat mengernyitkan kening, mempertanyakan sedang ke mana istrinya, pintu sudah tiga kali diketuk namun tak kunjung datang membukakan pintu.
Merasa diri sudah cukup lama berdiri di depan pintu rumah miliknya sendiri, akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu, ternyata pintu rumah tidak dikunci. Tentunya membuat dia lebih heran, karena tidak seperti biasa dia mengalami kejadian seperti ini apalagi semenjak dia mulai bekerja.
Ketercengangan sempat dialami, karena dia harus membuka pintu langsung oleh dirinya. Bukan karena tidak mampu atau manja, tapi dia melakukan itu berdasarkan komitmen yang sudah dibangun dengan istrinya. Bentuk komitmen yang sudah dibangun dan disepakati secara bersama itu adalah setiap dia pulang kerja istrinya lah yang akan membukakan pintu rumah. Ini yang menjadi alasan sampai dia tidak berani langsung masuk ke dalam rumah seumpama tidak ada yang membukakan pintu.
Memang, dia adalah seoarang suami yang sangat menjunjung tinggi kepercayaan pada pendamping hidupnya dan kuat dalam menjaga komitmen bersama yang sudah disepakati.
Ketercengangan yang dialami dia tidak terlalu dihiraukannya karena di ruang tamu anak kesayangannya yang masih berusia dua tahun menyambut kedatangan dirinya dengan tangisan histeris seakan sedang merasakan kesakitan yang begitu sangat menyayat.
Dia merasa aneh, dalam hatinya sempat bertanya, "Ke mana istrinya? Anak menangis histeris dibiarkan saja."
Pertanyaan yang digerutukan dalam hati tidak membuat dia gusar, karena dia harus lebih mengutamakan anak yang sedang menangis histeris seolah ingin menyampaikan peristiwa yang bisa membuat sakit ayahnya tapi karena keadaannya bisu apa boleh buat, anaknya hanya bisa menangis histeris.
Kebisuan yang dialami anaknya memang sudah dari sejak bawaan lahir, untung anaknya termasuk anak yang bisa menerima kenyataan nasib, tidak sedikit pun tampak ketidakpercayaan diri pada raut muka anaknya dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai anak-anak kendati pun dia mengalami kebisuan yang mungkin tidak bisa disembuhkan. Berkat ayahnya juga yang selalu menanamkan makna penerimaan terhadap keadaan yang diterima diri.
Dia langsung menggendong anaknya dan mengelus rambutnya yang hitam panjang penuh kehalusan, tidak lama kemudian anaknya pun terdiam meski meninggalkan sedikit bekas suara sedu tanda dia habis menangis.