Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lenyapnya Sawit Pedesaan

11 Desember 2020   14:45 Diperbarui: 11 Desember 2020   14:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lenyapnya Sawit Pedesaan

Agustus yang gersang, tandus, dan gerah itu kini telah hilang dimakan waktu sampai tak terdengar lagi kabar tentang agustus itu. Begitu juga kabar seorang keamanan yang tewas karna mencoba melarang gerombolan pemuda untuk tidak meneguk minuman keras ditempat kegiatan pengembangan potensi kaum muda yang sedang berjalan, supaya tidak terjadi kerusuhan. Memang kerusuhan tidak terjadi, namun pembunuhanlah yang menampakkan diri hingga membuat penghuni Desa Rahayu geram, takut, dan khawatir.

Ditengah kegalauan antara cuaca panas dan kasus pembunuhan yang sangat mengejutkan hati penghuni Desa Rahayu, Ilham pun pergi ke pesawahan hijau yang keadaan pesawahan itu mengalami perubahan keadaan. Kesentosaan pesawahan saat itu, tidak terasa sepenuhnya menggambarkan keindahan alam yang rindang dedaunan hijau, gemercik air sungai, siul burung senja. Pesawahan itu benar-benar berbeda dari kondisi sebelumnya. Merengeklah wahai pesawahan.

Setelah menapaki garis-garis tanah ditengah pesawahan, Ilham pun menghentikan langkah kakinya dan duduk pada sebuah saung yang biasa dipakai petani merebahkan dan memanjakan diri setelah seharian bergelut dengan kepenatan mencangkul. Disela-sela duduknya, Ilham pun sesekali mengernyitkan keningnya yang kecoklatan itu sebab merasa aneh. Kok bisa kejadian hal diluar pikir warga desa yang selalu tentram, semacam menghilangkan nyawa seorang manusia?! Dalam hatinya bertanya, siapa yang mesti bertanggung jawab atas kejadian ini?dan apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Tak habis piker aku jadinya, keluh Ilham.

Desa Rahayu, adalah sebuah desa yang ada di bagian kecamatan Margaasih, kabupaten Bandung. Desa ini dikenal dengan basis kajian wawasan keagamaan, terbukti banyaknya mesjid yang berdiri, pesantren -- pesantren megah yang menghasilkan ahli -- ahli agama yang cukup terkenal di kawasan Cigondewah.

Aneh. . . .Aneh. . . .Aneh.

Ilham mengungkapkan isi hatinya dalam kondisi mental yang galau, namun daya tak kuasa nasib sudah menjadi gugus. Semua mesti terjadi, hanya keridhoan dan kerelaan hatilah yang dapat mencegah dari rasa sakit hati yang berkepanjangan, dendam diri yang membara dan kearoganan yang membabi buta.

Sempat juga hati Ilham teriris serasa disayat pisau tajam yang ujungnya dihiasi kain sutra tipuan, kala teringat keadaan pesawahan yang sedang dia singgahi saat ini mengalami perubahan warna, dimana sewaktu kecil Ilham tahu, pesawahan yang sedang ia singgahi itu sangatlah kaya dengan rerumputan yang kadang bergoyang kala ditebak angin, pepohonan hijau yang rindang sarat kesentosaan, sawit yang luas seluas puncak asmara pesona, semuanya lenyap, sirna saat keambisian perkotaan datang tanpa tawar harga mengubah pesawahan hijau menjadi komplek perumahan yang dihuni oleh para tamu yang datang dari sebrang, pabrik -- pabrik luas yang pegawainya khusus orang yang berpendidkan tinggi dan berwawasan luas.

Sedangkan mereka yang tak sempat mengenyam pendidkan tinggi, nasibnya tak seindah yang mempunyai pengalaman. Mereka yang nasibnya nyaris tak dapat keberpihakan, hanya menjadi pembersih tempat kotoran manusia yang bekerja di pabrik itu. Sungguh keji, ketidakadilan mulai menampakan diri seakan yang lemah tak usah kenal dan akrab dengan keadilan.

Bukanlah Ilham, kalau tidak mendendangkan syair saat suka dan duka bertamu di peraduannya. Kali ini juga ia mengalunkan sebuah kumandang kehilangan ketentraman utusan bulldozer perkotaan yang berubah warna kilauan;

Wit,

Dulu pernah kutitipkan bisik sayang

Pada sepoi angin fajar

Agar engkau siap siaga

Berlatih

Menahan hantaman kekejian

Buldozer utusan perkotaan

Tak mengenal rasa iba

Mendobrak kekekohan dalam berdiri

Wit,

Sekarang petak pesawahan

Mesti terbiasa bersama kesendirian

Mengalunkan sorak nada padi rahayu

Menentramkan telinga yang mendengar

Siang menjelang senja

Wit,

Biarlah perkotaan melenyapkanmu

Sebab

Tak mengenal arti ketiadaan

Sebagai peneman kekurangan seribu cemas. . .

( Ilham, Ruang Kosong )

Satu Jam di Atas Genting

Sssssssssst. . . . .sssssst. . . sssst, suara riuh angin terdengar menggelora

saat mendobrak batang pepadian yang mulai menghijau pertanda senyuman para petani lahir kembali setelah kian lama terpuruk dalam kekerontangan. Jiusssss. . . .jiusss. . .jiuss, suara deras air dari arah barat terbawa gelombang pembuangan sampah pabrik. Wik. . . wik. . .wik. . .wik-wik-wik-wik-wik-wikwik. . .wik, suara nyanyian burung mengalun diatas nirwana biru, ayat pekat menjemput siang berganti malam.

Terperanjatlah Ilham yang masih berada di tengah persawahan. Di atas pelapah sawit tua dia berbaring dengan kaki terangkat sebelah. Wah, nampaknya senja telah tiba hampir saja aku terlupa akan sebuah kebiasaan yang tak boleh ditinggalkan sedikt pun sebab kalau kutinggalkan kebiasaan ini berarti aku memebunuh kepekaan rasa yang selama ini aku jaga dengan penuh suasana halus biar tidak lenyap terbunuh sepi.

Bagi Ilham, kepekaan rasa adalah sesuatu yang sangat tinggi. Untuk menanamkan kepekaan rasa, Ilham mesti meninggalkan kemewahan hidup yang biasa menjadi kawannya baik dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan untuk mendapatkan kepekaan rasa, Ilham mesti singgah di suatu tempat yang penuh kekerasan kebrutalan, dan keganasan. Dimana penghuni tempat itu, selalu berpikiran siapa yang sanggup bertahan, dialah yang hidup. Ilham sengaja singgah di tempat yang boleh dikatakan nista, namun didalamnya masih terdapat butir -- butir mutiara berkilaua pesona salju keputihan. Sempat juga Ilham terjerumus kedalam dunia kekerasan, kebrutalan, dan keganasan. Namun keterjerumusannya itu, tidak sampai memakan waktu yang lama sebab seorang gadis yang anggun sarat kebeningan hati tiba di tengah keinginan mendapatkan kepekaan rasa dan tuntutan untuk melakuakan yang tak biasa dilakaukan. Gadis itu selalu menggoda, menggoda, dan menggoda di alam imajinasi Ilham. Selalu merayu-rayu, dan merayu di suasana ketidaktenangan suasana batin. Selalu mengedipkan mata, mengedipkan, dan mengedipkan kala mata Ilham hendak terpejam.

Padahal perjumpaan Ilham dan dia, tidaklah selaksa waktu berganti, tahun berubah. Hanya dalam hitungan separuh kedipan, rasa kagum akan gadis itu tumbuh dan menggerogoti sukma yang ada di kalbu. Bingung, memang bingung?! Itulah yang Ilham rasakan hingga waktu sekarang. Hanya karna sebuah senyuman menawan, ketika jumpa di terminal tenpat Ilham mencari sesuap nasi, rasa itu selalu menggoda dan menggelitik hati, seorang yang penuh rasa kekalutan karena sebuah pencarian makna. Khuh!

Di tengah seribu tanya ini, Ilham pun harus merebahkan kujur sejenak di sebuah penyimpanan mobil angkot yang mempertemukan dia dengan gadis itu. Dan akhirnya Ilham pun, pulas tertidur dalam suasana tarian bintang gemintang yang menalu -- nalu di atas udara.

Terpekurlah Ilham malam itu, bersama suasana tarian.

Dag. . .Dig. . .dug. . .

Detak jantung Ilham berdetak. Tak tersangka -- sangka, tak terduga -- duga, eh. . .eh. . .eh, gadis yang ada di pikiran Ilham itu, hadir di sebelah warung sayuran yang ada di depan warung kopi tempat Ilham menunggu giliran menaikkan penumpang. Kali ini, Ilham memutuskan untuk tidak membiarkan gadis itu hanya memberikan senyuman saja tapi harus ditambah dengan sebuah perkenalan. Dengan megnet yang tumbuh ini. Iham pun menghampiri gadis anggun itu.

Ehm, Ilham berdehem.

Gadis itu masih saja tidak mengindahkan, suara deheman yang keluar dari mulut Ilham.

Coba lagi, coba lagi, coba lagi, suara yang keluar setelah melalui peperangan batin dalam hati Ilham.

Ehm, Ilham menyela lagi dengan deheman.

Namun, masih saja gadis itu asyik dengan suasana batinnya sendiri.

Mulailah perkerutan kulit kening Ilham terlihat. Diluar dugaan, dalam deheman yang ketiga kali akhirnya gadis itu melirikan pandangan kepada Ilham sambil memuntahkan senyuman menawan yang menjadi ciri khasnya.

Hari itu juga terjadilah perkenalan yang mungkin kedua anak manusia itu tidak pernah membayangkan akan saling mengenal lewat sebuah perkenalan yang tak diundang kedatangannya..

Gena, itu nama gadis yang mengusik hati Ilham ketika menjalani pencarian kepekaan rasa dalam separuh perjalanannya. Gena hadir dalam kehidupan Ilham dengan tidak membawa sepucuk undangan pun. Tapi lewat perkenalan dengan Gena ini perubahan warna Ilham pun mulai terlihat menampakan diri dimana kehidupan yang penuh kekerasan, kebrutalan, dan keganasan itu perlahan-lahan Ilham tinggalkan. Tapi tak semudah membalikan telapak tangan.

Setelah melalui proses yang lama, kehidupan itupun Ilham tinggalkan. Namun, bagi Ilham bukan berarti melupakan! Perkenalan Ilham dengan Gena semakin dekat saja apalagi ketika Gena melihat perubahan warna dari diri Ilham layaknya insan yang berlawanan jenis lainnya, Ilham dan Gena mempunayi rasa saling memiliki satu sama lainnya. Namun tak pernah dikemas dalam sebuah status yang disebut jalinan asmara.

Rasa saling memiliki itu, setiap detik, menit, dan jam semakin bertambah, bertambah dan bertambah sampai membuahkan kata perhatian, pengharapan akan memiliki satu sama lain. Getir, sangatlah getir. Kedua insan ini belum bisa menyatu tapi jangan tanyakan alasannya! Soalnya keduanya juga tidak memahami kenapa belum bisa menyatu padahal dan padahal?! . .

Di tengah suasana yang tak jelas tapi mengesankan itu, tiba -- tiba datang masa keduanya untuk saling berjauahan. Tepatnya, Gena harus pergi ke satu tempat mencari arti sebuah perjalanan agar kematangan dan kedewasaan tumbuh menjalar dalam diri dan jiwanya. Pergilah Gena dengan kenangan yang sampai pada saat perginya itu masih belium ada arah kejelasan.

Kini. . .

Tiga silam lamanya dia pergi dan tanpa ada sepucuk surat pun yang dikirim pada Ilham baik lewat mesin berjalan atau pun binatang terbang. Namun Ilham adalah Ilham, yang dalam kesendiriannya dia masih selalu merasa tenang karena selalu merasa bahwa Gena hadir walau secara kasat mata tidak ada. Dan terbiasalah Ilham dengan kesendirian dalam separuh keramaian.

Saat terperanjat karena hampir lupa pada satu kebiasaan yang sudah terbiasa dijalankan Ilham pun mengangakat badannya, dan mulai melangkahkan kaki untuk meninggalkan pesawahan itu. Karena harus menjalankan satu kebiasaannya, yaitu duduk manis satu jam di atas genting rumah yang pembangunannya masih belum beres. Selama satu jam di atas genting, Ilham selalu mengarahkan pandangannya kea rah barat tempat pegunuingan menjulang, mempesona seakan memberikan kesegaran pada pandangannya.

Sesampainya Ilham dirumah langsung bergegas kearah tangga dan menaiki tangga itu, lalu duduk di atas genting dengan penuh ketenangan. Dan Ilham pun merenung dalam ketermenungannya dengan sorot mata yang tajam. Namun tak bisa dalam perenungannya, Ilham teringat pada Gena yang sudah tiga silam lamanya terpisah karena tuntutan kebutuhan yang berbeda. Semakin dalam rasa ingat terasa dalam perenungan Ilham, seakan memaksa Ilham untuk menyudahi kebiasaannya duduk satu jam di atas genting, dan diganti dengan sebuah pencarian. Sesak terasa di dada Ilham, saat rasa ingat berubah jadi rasa rindu yang mendalam seolah menendang Ilham untuk bangkit dan melangkahkan kaki mencari kabar tentang dia.

Akhirnya dari rasa ingat yang berubah menjadi rasa rindu, Ilham pun mulai mencari kabar tentang dia melalui orang -- orang terdekatnya, namun Ilham tak mendapatkan kabar yang diangankannya. Panik menghantui Ilham karena masih juga belum mendapatkan berita tentang dia, tapi terus saja Ilham mencoba dan mencoba dengan bentuk berusaha. Diluar perkiraan Ilham yang sedang kalut karena rasa panik, tiba -- tiba Ilham mendapatkan alamat tempat Gena tinggal dari adiknya Gena yang bernama Gea.

Lewat si Gea ini, Ilham mendapatkan alamat tempat tinggal dia. Melalui tulisan tinta hitam, diatas sehelai kertas putih, Gea menulis; Bogor, Terminal Cilebut, Jalan Kayu Manis, SDN Kencana 2, Kebon Kalapa, Tanah Sereal.

Susullah dia, kak. . . . .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun