Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyempurna Dosa

21 November 2020   13:49 Diperbarui: 21 November 2020   13:50 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketakutan akan sepi, hilang. Kekhawatiran akan gelap, sirna. Kecemasan akan sunyi, lenyap. Terkalahkan oleh naluri lelaki yang menderu dan menggebu, seakan meremukkan tanah liat menjadi marmer pijakan.

"Suasana dini hari yang cukup menggoda, memancing kelelakianku untuk segera melajukan kendaraan roda dua," gumam Roni di atas pembaringan.

Sekonyong-konyong Roni bangkit dari pembaringan menuju tempat roda duanya terparkir. Seakan ada bisikan yang begitu kuat yang terngiang di telinganya, sehingga ia menyalakan roda duanya dan melaju tanpa banyak pikir panjang.

Setelah melewati jalanan Bandung yang kebetulan licin akibat diguyur hujan, Roni tiba di salah satu tempat lokalisasi, kawasan stasiun Barat. Ia berhenti dan melihat banyak wanita-waniita tengah berdiri menjajalkan tubuhnya.

Merasa cukup berada di kawasan lokalisasi tersebut, Roni kembali melajukan kendaraan dengan pikiran yang belum menemukan arah yang sesungguhnya ingin dituju dan orang yang ingin ditemui.

Setelah berputar-putar mengelilingi jalanan yang lampu kotanya redup, di pinggir jalan Perintis Kemerdekaan, sebelah kiri terlihat seorang perempuan mengenakan rok mini dengan tas warna merah sedang memegang alat komunikasi.

"Seperti sedang menghubungi seseorang yang mungkin aku kenal atau bisa juga tidak aku kenali," ucap lirih Roni di atas kendaraan roda duanya.

Roda dua yang dikendarainya dihentikan. Ditegurlah hati wanita yang tengah berdiri itu. Begitu juga lisannya turut disapa. Seketika teguran yang diarahkan ke arah hati wanita itu, mendapat balas sehingga terjadilah percakapan antara keduanya.

Tiba-tiba wanita itu mendekat dengan derap kaki yang gontai. Ia mendekat, dan memegang tangan Roni. Rayuan ia lontarkan, bahkan semakin lama rayuannya terdengar penuh rengekan. Ia merayu Roni dan meminta untuk dibawa ke sebuah warung kopi.

"Mas cakep, bisa numpang gak? Tolong antar nyari warung kopi dong mas," ucapannya begitu genit.

Mendengar ucapan yang begitu genit, seketika seolah ada kekuatan sihir yang merasuki dirinya, sehingga ia terbuai, serta memberikan ijin kepada wanita tersebut untuk duduk di roda dua miliknya. Selama di perjalanan, begitu eratnya Zeta memeluk Roni bahkan mulutnya tak henti melahirkan ketajaman kata-kata yang menjinakkan.

Keakraban yang disuguhkan, kedekatan yang disodorkan tak urung membuat perbincangan antara kedua insan yang belum saling mengenal itu terjerumus ke dalam sebuah ruang kehangatan. Saking asyiknya perbincangan yang dututurkan, keduanya tiba di salah satu warung kopi, yang menjadi tujuan.

Zeta itulah nama wanita yang merengek untuk diantar mencari warung kopi. Tanpa perkenalan, lewat percakapan di atas roda dua, Roni tahu nama wanita yang sedang dibonceng di atas roda duanya itu.

Tiba di salah satu warung kopi, Roni terperanjat karena melihat penjual kopinya merupakan sepasang kakek nenek yang terbilang sudah renta. Kulit-kulitnya sudah terlihat keriput mengering.

Selama menemani Zeta, dalam pikiran dan perasaan Roni, pertanyaan siapa aku, siapa kamu menjadi hal yang terlintas menghiasi suasana kenyatan yang tengah dialami.

Sementara Zeta sendiri terus saja berbicara tentang perempuan malam, yang tak sedikit pun Roni mengerti tentang apa yang dibicarakannya. "Aku ini wanita malam, mas cakep. Cintaku kandas dan aku sakit hati sehingga aku menjadi seperti ini," tuturnya tanpa dipinta.

Roni yang kebingungan akibat tidak memahami yang disampaikannya, dengan penuh kepolosan di wajahnya, ucap maaf pun terlontar ke hadapan Zeta. Maaf yang disodorkan berisikan mengenai ketidakmengertian Roni  atas apa yang diucap-ucapkannya.

Suara adzan subuh mengalun bahkan terngiang di telinga, sementara Zeta tak hentinya mengisi pikiran dan perasaan Roni dengan kisah realita malam yang menggugah birahi kelelakian.

Akhirnya keduanya memilih mencari tempat untuk melanjutkan percakapannya. Hal itu pun lagi-lagi Zeta yang mengajukan. Sehingga Roni terpengaruh untuk membawanya ke kontrakan yang kebetulan tidak jauh dari lokasi warung kopi tersebut.

Di dalam kontrakan, Roni tercengang, "mengapa kau seterbuka itu, kita baru ketemu dan tidak pernah berkenalan jauh sebelum ini, Zet?" Tanyanya kepada Zeta.

Sementara Zeta sendiri terus saja bercerita kepada Roni mengenai dirinya bahwa ia adalah seorang pemuas hidung belang. Bahkan dalam tuturannya ia menegaskan setiap malam keluar mencari pria hidung belang yang hendak dipuaskan dengan jasa kasih buatan yang diobral.

"Maaf ya. Aku ga ngerti bisa seterbuka ini kepada orang yang baru saja aku temui," ungkap Zeta.

Usai itu ia tiba-tiba menatap wajah Roni dengan dalam. Sehingga terlontar pernyataan yang membuat Roni tak berdaya guna menolak apapun yang dilakukan. Larut dan semakin tak berdayaguna saja Roni di hadapannya.

"Ajari aku cinta, Ron!" tegas Zeta kepadanya.

Begitu lahap Zeta melucuti pakaian yang dikenakan Roni. Pelukan hangat tak henti dihidangkannya. Bahkan dengan penuh keyakinan, kosong dari keraguan Zeta bersetubuh di pagi hari dengan Roni. Sementara di tengah peluk, cumbu yang lahap, Roni masih saja diselimuti dengan rasa ragu yang sudah bergeser menjadi setengahnya.

"Begitu tangkasnya kau memainkan tubuhku, Zet?" gumam Roni dalam lirih lahapan dekapan Zeta.

Setelah kejadian pelucutan dengan pelukan  penuh tulus itu, kini tinggallah Roni dalam sejuta penyesalan. Hati yang lara, kalbu yang sunyi, perasaan yang nestapa menjadi karib keseharian dirinya.

"Aku tak tahu, di mana kau sekarang, dan kau pun tak tahu di mana aku? Satu yang kuingat, setelah kugadaikan keperjakaan padamu, kau berucap, jangan hancurkan hidupmu dengan mengumbar birahi kelelakianmu. Zeta, maafkan aku!" Roni berdialog dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun